close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi isolasi mandiri. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi isolasi mandiri. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Rabu, 19 Agustus 2020 18:06

Mereka yang berjuang 'sendirian' melawan Covid-19

Banyak pasien positif Covid-19 tidak dirawat di rumah sakit meskipun mengalami gejala-gejala yang cukup berat.
swipe

Renni Femy, 31 tahun, akhirnya bisa kembali berkumpul dengan putri semata wayangnya. Beberapa hari lalu, putrinya yang baru berusia tiga tahun itu kembali ke rumah. Lebih dari sebulan lamanya Femy memendam rindu. 

"Saya lega suami udah sembuh (dari Covid-19). Saya juga bahagia bisa ketemu anak. Sebulan engggak ketemu anak itu kayak seribu tahun rasanya," kata Femy ketika berbicang dengan Alinea.id melalui sambungan telepon, Jumat (14/8) lalu. 

Suami Femy bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu instansi pemerintah di Bekasi. Ia tertular virus Covid-19 pada akhir Juni lalu. Tak diketahui dari siapa ia tertular. 

Gejala pertama ialah diare selama tiga hari. Setelah minum obat, suami Femy kembali ke kantor seperti biasa. Namun, diare sang suami tak kunjung sembuh. Badan suami Femy rasanya pun kian tak keruan. 

Femy sempat mengira suaminya hanya menderita demam biasa. Apalagi, ia mendengar rekan sekantor suaminya banyak yang terkena demam berdarah dengue (DBD). 

"Dia bilang, 'Kok badan aku enggak enak, ya? Aku pegang, dia udah panas. Dan (suhu badannya) tinggi. Langsung tiga puluh delapan koma berapa gitu," tutur Fenny. 

Tanpa sepengetahuan suami, Femy menjalani rapid test mandiri. Hasilnya negatif. Namun, ia masih curiga suaminya terjangkit virus Covid-19. Pasalnya, demam sang suami tak juga turun. Hasil tes laboratorium juga menunjukkan sang suami tidak menderita DBD dan tifus.

Femy pun membawa sang suami untuk tes swab di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi. Karena sang suami badannya sudah sangat lemas dan khawatir malah tertular saat berada di rumah sakit, tes swab dilakukan di mobil Femy. 

Hasil tes swab akhirnya keluar pada 5 Juli 2020. Kecurigaan Femy terbukti. Sang suami positif Covid-19. Tanpa pikir panjang, Femy memindahkan putri mereka beserta babysitter-nya ke rumah mereka yang lain di kawasan Petamburan, Jakarta Barat.

"Aku enggak terlalu worry sama suami. Kenapa? Karena dia sudah dewasa. Lebih gampang diomongin. Waktunya makan, ya, lu makan. Minum, ya, lu minum. Kalau anak kan enggak bisa kita atur. Jadi, waktu itu aku benar-benar pikir ke anak. Gimana supaya anak bisa selamat dan terhindar dari Covid-19," ungkap dia.

Usai mengungsikan putrinya, perjuangan Femy pun dimulai. Femy kembali ke Bekasi setelah dokter memutuskan sang suami cukup diisolasi mandiri dan diobati di rumah lantaran tak memiliki penyakit bawaan. "Jadi, dari situ kita baru tahu ternyata enggak semua pasien dibawa ke rumah sakit atau rumah singgah," jelasnya. 

Femy menuturkan, ia juga dikirimi flyer panduan menjalankan isolasi mandiri oleh sang dokter. Untuk memastikan tak salah penanganan, Femy juga melakukan riset kecil-kecilan dan menggali informasi dari sepupunya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. 

"Gimana gejalanya, penularannya, dan penanggulanganya. Nah, so far, yang aku pikirkan kayaknya aku enggak akan ketularan deh. Kalau ketularan, ya, ketularan aja. Pasti bakal sembuh pada waktunya kok. Yang penting bukan ke anak," kata Femy.

Meski telah mempersiapkan diri sebaik mungkin, tekanan fisik dan mental dialami Femy selama merawat suaminya sendirian. Ia bahkan seringkali tidak tidur karena harus mengecek kondisi sang suami secara berkala.  

"Ketika dia demam, saya enggak tidur full. Saya tiap tiga jam bangun, cek suhu tubuh, dan pastikan dia minum obatnya. Pada saat itu yang paling parah adalah demamnya. Capek banget. Karena demam itu enggak enak banget rasanya. Kalau dia enggak kuat nahan, bisa kejang-kejang kayak gitu," tutur Femy. 

Demam berkepanjangan itu sempat membuat suaminya "putus asa". Untuk mengembalikan semangat sang suami, Femy mengikuti anjuran sepupunya, mulai dari menghidangkan makanan-makanan favorit hingga meminta koleganya untuk memberikan dukungan kepada sang suami. 

"Yang support suami juga teman-teman dia. Itu membantu proses pemulihan dia. Maksudnya ketika seseorang, yang aku lihat, ketika dia dibilang kena Covid-19, mentalnya down banget. Karena yang kita ketahui kan enggak ada obatnya, seolah-olah enggak ada harapan untuk sembuh," katanya.

Perjuangan Femmy berbuah manis. Masa-masa kritis dilalui sang suami. Pada akhir Juli lalu, hasil tes swab menunjukkan suami Femy negatif. Tak berselang lama, hasil tes swab putri dan pengasuh anaknya pun keluar. Mereka juga dinyatakan negatif. 

"Peran anak juga signifikan. Dia support ayahnya, 'Ayo ayah cepat sembuh, karena aku mau bareng-bareng. Aku mau ke Taman Safari bareng-bareng'," kata Femy menirukan percakapan putri dan suaminya.

Ilustrasi pasien positif Covid-19. /Foto Antara

Turun enam kilogram karena Covid-19

Cerita perjuangan sendiri melawan Covid-19 juga dibagikan Leony Clarissa. Perempuan berusia 27 tahun itu tertular pada awal Maret. Sehari-hari, ia bekerja sebagai frontliner di salah satu rumah sakit di Depok, Jawa Barat. 

"Gejala awal aku rasain di awal-awal Maret, sekitar tanggal tujuh atau tanggal delapan Maret. Di situ udah mulai batuk, terus tiba-tiba demam," ujar Leony kepada Alinea.id, Kamis (13/8).

Depok merupakan kota domisili pasien pertama Covid-19 di Indonesia. Leony sempat menduga ia terpapar virus mematikan itu saat bekerja di rumah sakit. Apalagi, gejala-gejala Covid-19 dirasakan Leony tak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama.  

Karena demam dan batuknya tak kunjung berhenti, Leony memutuskan berobat ke dokter spesialis paru. Ketika itu, dokter mendiagnosa Leony kemungkinan besar menderita Covid-19. Leony pun disarankan untuk menjalani isolasi mandiri. 

Pada 1 April 2019, Leony mulai mengisolasi diri. Hanya berselang beberapa hari, hasil tes swab keluar. Kecurigaan sang dokter terbukti. Leony terjangkit Covid-19. "Swab pertama pada tanggal 6 April. Swab kedua tanggal 13 April. Yang kedua pun masih positif," ujarnya.

Setelah dipastikan positif, Leony pun mulai disiplin menjalani isolasi mandiri. Selain untuk ke toilet dan berjemur di pagi hari, Leony tak berani keluar kamar. Ia khawatir keluarganya yang lain ikut ketularan jika ia tidak berhati-hati. 

"Selama bolak-balik keluar kamar, segala yang aku pegang itu, entah itu mungkin tembok atau pintu, pasti langsung disemprot pakai disinfektan. Aku pun pakai masker juga biarpun hanya di rumah," tuturnya. 

Masker dan penyanitasi tangan. Foto Pixabay

Pada masa isolasi itu, Leony juga sempat patah arang. Pasalnya, gejala dan penyakit yang dideritanya tak kunjung membaik. Karena digerogoti penyakit dan stres, berat badan Leony bahkan sempat turun hingga 6 kilogram. "Down banget saya pas itu," ucap dia. 

Salah satu momen paling menegangkan ialah ketika gejala sesak nafas mulai dirasakan Leony. Itu terjadi tak lama setelah isolasi mandiri. Saat itu, Leony bahkan sempat berpikir tak akan mampu melewati fase-fase kritis tersebut.

"Sebagai manusia, saat sesak nafas, saya mikirnya udah hidup dan mati. Karena gejala-gejala yang aku rasain seperti demam, batuk pilek, hilang penciuman dan perasa, lalu diare, sudah aku rasain. Nah, yang paling sulit saat sesak nafas," ucapnya.

Di saat-saat terburuk itu, Leony merasakan pentingnya peran keluarga yang terus menyemangatinya untuk bisa cepat pulih. Tanpa keluarga, Leony mengaku tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa melewati masa kritis. "Butuh banget pendampingan," kata dia. 

Setelah tiga pekan mengurung diri di dalam kamar, Leony pulih dan dinyatakan negatif. Meskipun telah ketat menjalankan protokol kesehatan selama isolasi mandiri, namun ibunda Leony ternyata tertular. "Padahal, udah cukup ketat. Tapi, sekarang sudah sembuh," ujarnya

Selain berjemur dan berolahraga, Leony menganjurkan sejumlah hal yang mesti dilakukan supaya bisa sembuh. Salah satunya ialah rutin mengonsumsi vitamin C dan E untuk memperkuat sistem imun. "Sama konsumsi telur rebus. Itu untuk ketahanan fisik," kata Leony.

Untuk menjaga kesehatan mental selama menjalani isolasi mandiri, Leony juga menyarankan agar pasien positif Covid-19 untuk puasa bermedia sosial. Berkaca dari pengalamannya, konten-konten media sosial malah cenderung bikin paranoid. "Daripada tambah stres," cetus dia.  

Petugas mengendarai ambulans berisi pasien memasuki RSD Covid-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (24/3/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra

Isolasi mandiri tidak bisa sembarangan 

Hingga kini, tercatat sudah ada lebih dari 144 ribu pasien positif Covid-19 di Indonesia. Sekitar 98 ribu di antaranya dinyatakan sembuh setelah dirawat di rumah sakit dan menjalani isolasi mandiri. Sebanyak 6.227 meninggal. 

Kepada Alinea.id, dokter spesialis paru Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Dewi Puspitorini mengatakan isolasi mandiri memang disarankan untuk pasien yang bergejala ringan. Namun demikian, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan. 

Pertama, kata Dewi, isolasi mandiri bisa dilakukan jika tidak ada orang tua yang punya penyakit peserta di rumah pasien. Kedua, rumah yang dijadikan tempat isolasi mandiri juga harus dipastikan bukan terletak di permukiman padat. 

"Lingkungannya harus cukup baik. Kalau lingkungannya padat tidak punya kamar sendiri, ya, dia tidak bisa isolasi mandiri. Kan dia (pasien) mesti punya kamar sendiri," jelas Dewi. 

Tak hanya itu, rumah yang dijadikan tempat isolasi mandiri juga harus bebas dari balita dan anak-anak. Apalagi, jika pasien yang positif adalah orangtua mereka. Pasalnya, anak-anak bakal sulit dilarang berdekatan dengan ayah dan ibu mereka. "Itu enggak bisa. Dia pasti akan berusaha deket-deket," ucapnya.

Menurut Dewi, isolasi mandiri di rumah pun hanya aman dilakukan bagi pasien Covid-19 yang bergejala ringan. "Kalau ada keluhan batuk, pilek dan sebagainya, itu enggak boleh di rumah. Itu harus di rumah sakit. Harus ada pemantauan dari tim dokter," ucapnya.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Berkaca pada pengalamannya menangani pasien, Dewi mengatakan, tubuh bugar bak milik seorang atlet bukan jaminan bagi seseorang terbebas dari Covid-19. Pasien berfisik prima pun bisa kritis jika mengalami gejala-gejala berat. 

Karena itu, Dewi menyarankan agar pasien bergejala berat segera "melapor" ke rumah sakit rujukan. Pasalnya, proses pengobatan dan penanganan pasien berat jauh berbeda dengan mereka yang tidak bergejala atau asimtomatik. 

"Bahkan, (pasien) mungkin perlu membutuhkan alat bantu pernapasan. Tentu tidak mungkin dikasih obat biasa juga. Kalau enggak bisa dijamin (bisa sembuh hanya dengan isolasi mandiri), mesti ke rumah sakit segera," imbuhnya.

Jika semua syarat dipenuhi, Dewi menegaskan, protokol kesehatan dan panduan isolasi mandiri harus benar-benar diterapkan di tempat isolasi. Ia pun menyarankan agar keluarga pasien menjalankan tes swab dalam rangka deteksi dini.

"Kalau ada yang positif, yang di dalam rumah itu juga harus dilakukan tracing, deteksi dari awal. Itu juga untuk mengamankan keluarga. Jangan sampai keluarga dia jadi ikut kena Covid-19," ujar Dewi. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan