Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar adanya mafia perizinan importasi bawang putih dengan nilai miliaran rupiah.
KPK telah menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan izin bawang putih tahun 2019. Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra turut terseret dalam praktik rasuah itu.
Sementara tersangka yang diduga sebagai pemberi suap terdiri tiga orang dari unsur swasta yakni Chandri Suandri, Doddy Wahyudi, serta Zulfikar. Sedangkan dua orang yang menerima suap ialah orang kepercayaan I Nyoman, Mirawati Basri, dan seorang swasta bernama Elviyanto.
Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan, praktik rasuah tersebut bermula saat Chandry Suanda yang merupakan bos PT Cahaya Sakti Argo (CSA) diduga memliki kepentingan untuk mendapatkan kuota impor bawang putih.
Kemudian, Doddy Wahyudi yang merupakan pihak dari swasta menawarkan bantuan kepada Chandry untuk mengurus izin impor bawang putih tahun 2019.
Doddy menyampaikan memiliki jalur cepat untuk mengurus Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Kendati urus izin tak kunjung selesai, Doddy berusaha mencari kenalan yang dapat menghubungkan dengan pihak-pihak yang dapat membantu pengurusan RIPH dan SPI tersebut.
"DDW (Doddy) berkenalan dengan ZFK (Zulfikar) yang memiliki kolega-kolega yang dianggap berpengaruh untuk pengurusan izin tersebut," kata Agus, saat konfrensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (8/8).
Diketahui, Zulfikar mempunyai hubungan dengan orang kepercayaan I Nyoman, Mirawati Basri dan seorang swasta Elviyanto. Keduanya disinyalir memliki kedekatan dengan Anggota DPR RI Komisi VI fraksi PDIP, I Nyoman Dharmanta.
"Setelah itu DDW (Doddy), ZFK (Zulfikar), MBS (Mirawati Basri) dan INY (I Nyoman) melakukan serangkaian pertemuan dalam rangka membahas pengurusan perizinan impor bawang putih dan kesepakatan fee," ujar Agus.
Dari pertemuan itu, muncul nilai kesepakatan yang awalnya sebesar Rp3,6 miliar, serta komitmen fee sebesar Rp1.700 hingga Rp1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.
Diduga, komitmen terasebut diperuntukan agar pengurusan izin kuota impor sebesar 20.000 ton bawang putih dapat disahkan untuk beberapa perusahaan termasuk perusahaan yang dimiliki oleh Chandry. Jika dihitung, fee yang didapat dari 20.000 ton bawang putih mencapai Rp36 miliar.
Namun demikian, Chandry belum dapat membayar kesepakatan tersebut lantaran beberapa perusahaan yang ingin membeli kuotanya belum memberikan uang. Akhirnya, Chandry berencana meminjam uang Zulfikar.
Akhirnya, Zulfikar memutuskan untuk meminjamkan uang kepada Chandry dengan syarat bunga pinjaman yang dibayar jika impor terealisasi dengan nilai sebesar Rp100 juta per bulan. Zulfikar juga mendapat jatah dari setiap kilogram bawang putih tersebut sebesar Rp50.
"Dari pinjaman Rp3,6 miliar tersebut, telah direalisasi sebesar Rp2,1 miliar," terang Agus.
Setelah menyepakati metode penyerahan, kata Agus, Zulfikar kemudian mentransfer uang sebesar Rp2,1 miliar ke Doddy. Kemudian Doddy mengirimkan yang sebesar Rp2 miliar ke rekening kasir money changer milik I Nyoman. Uang tersebut disinyalir digunakan untuk mengurus SPI.
KPK menduga uang sebesar Rp2 miliar itu digunakan untuk mengunci kuota impor yang diurus atau istilah lainnya lock kuota.
"Sedangkan Rp100 juta masih berada di rekening DDW (Doddy) yang akan digunakan untuk operasional pengurusan izin. Saat ini semua rekening dalam kondisi diblokir oleh KPK," ujar Agus.
Sebagai pihak pemberi, Chandry, Doddy, dan Zulfikar disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak penerima, I Nyoman, Mirawati, Elvitanto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.