close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siswa baru di SMA negeri. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi siswa baru di SMA negeri. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Rabu, 22 Juli 2020 12:16

Mimpi pemerataan dan dua sisi sistem zonasi DKI Jakarta

PPDB 2020 dengan sistem zonasi menyisakan beragam persoalan.
swipe

Beberapa jam sebelum penerimaan peserta didik baru (PPDB) via jalur zonasi di DKI Jakarta resmi ditutup pada 27 Juni, nama Muhammad Rafi akhirnya nongol di data PPDB digital yang dikeluarkan Dinas Pendidikan DKI. Sang pemilik nama lega. Jerih payahnya selama sepekan terbayar. 

"Saya sempat nyerah. Seminggu saya bolak-balik ke Dinas Pendidikaan DKI dan sekolah saya di Citayem, (Bogor), untuk urus penyesuaian data. Kok gini? Uang udah habis," kata Rafi saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Yayasan Taruna Pertiwi, Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Senin (20/7) malam.

Rafi diterima di SMA Negeri 28, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sekolah itu terbilang sekolah unggulan. Saat namanya muncul dalam daftar siswa baru yang dirilis Disdik DKI, Rafi tepat berusia 19 tahun 6 bulan. Usia Rafi tergolong cukup tua untuk siswa baru di kelas X. 

"Saya cita-citanya pengin jadi tentara," ujar Rafi saat mengungkapkan keputusannya untuk kembali melanjutkan sekolah di SMA negeri. 

Rafi memang sempat absen di bangku sekolah selama beberapa tahun. Saat duduk di kelas V di salah satu SD di kawasan Klender, Jakarta Timur, Rafi memutuskan kabur dari rumah dan hidup di jalanan dengan menjadi joki di jalur-jalur three in one. 

Pada 2012, ia dirazia Satuan Polisi Pamong Praja dan ditempatkan di Panti Asuhan Anak (PSA) Putra Utama di Cengkareng, Jakarta Barat. Di panti itu, Rafi sempat melanjutkan sekolahnya yang terputus dengan mengikuti Paket A di PKBM Negeri 07 Cengkareng.

Akan tetapi, Rafi memutuskan "cabut" dari panti saat ia duduk di kelas dua di sebuah SMP di kawasan Cengkareng. Ia mengaku tak betah dengan kehidupan panti. "Saya kemudian kerja di salah satu rumah makan di Senen," kata dia. 

Oleh seorang temannya, Rafi kemudian diperkenalkan dengan Amran pada 2018. Amran merupakan pengelola Yayasan Taruna Pertiwi. Seperti Rafi, Amran juga sempat merasakan kehidupan keras di jalanan. Keduanya cepat akrab. 

Khawatir akan masa depan Rafi, Amran kemudian menyarankan Rafi untuk melanjutkan kembali sekolah dengan mengikuti Paket B di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. 

Muhammad Rafi (tengah) bersama pengelola Yayasan Taruna Pertiwi Amran (kanan) saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Senin (20/7) malam. Alinea.id/Marselinus Gual

Setelah mengantongi ijazah SMP, Rafi kemudian mendaftar di PPDB 2020 dan ternyata diterima. Kini, sudah beberapa pekan Rafi merasakan kembali bangku sekolah formal. "Saya mau mengubah nasib lewat pendidikan," kata Rafi.

Rafi merupakan salah satu siswa berusia uzur yang "diselamatkan" lewat sistem zonasi PPDB 2020. Menurut catatan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, ada 169 siswa berusia 18-19 tahun dan tujuh siswa berusia 20 tahun yang diterima bersekolah di SMA negeri pada PPDB kali ini.

Sesuai Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Nomor 506 Tahun 2020 tentang Penetapan Zonasi Sekolah untuk PPDB 2020/2021, SMA negeri di Jakarta memang wajib menyediakan kuota sebesar 40% bagi calon siswa berbasis zonasi. 

Disdik DKI juga menetapkan bahwa seleksi berdasarkan usia harus dilakukan pihak sekolah jika jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung. Ketetapan itu sempat diprotes sejumlah orangtua siswa lewat serangkaian aksi unjuk rasa di depan Balai Kota, Juni lalu. 

Dalam aksi protes, para orangtua menuntut isi SK diubah sebab anak-anak mereka tidak lolos seleksi di SMA negeri hanya karena kalah tua dengan calon siswa yang lain. Namun demikian, Disdik DKI Jakarta tidak menggubris protes tersebut dan tidak mengubah isi SK. 

Perayaan hari ulang tahun SMA Negeri 8 pada 2016. SMA 8 merupakan salah satu SMA favorit di DKI Jakarta. Foto Instagram @bukitduri

Tak ada lagi sekolah favorit?

Kehadiran Rafi dan siswa-siswi seperti Rafi tak sepenuhnya bisa diterima dengan lapang dada pihak sekolah. Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 94 Jakarta Endah Sri Winasis, misalnya. Saat ditanya soal polemik batasan usia PPDB 2020, Endah langsung uring-uringan. 

"Dengan ketentuan umur ini, akhirnya (SMAN) 94 banyak mendapat yang sudah umur 19 tahun dan 18 tahun. Yang harusnya sudah lulus, tapi baru masuk. Kemarin kami sempat kaget," ujar Endah saat ditemui Alinea.id di SMAN 94, Semanan, Jakarta Barat, Senin (20/7).

Meski menerima keputusan Disdik DKI Jakarta, Endah mengaku sedikit kecewa lantaran kebanyakan siswa berusia tua yang masuk ke SMAN 94 merupakan siswa-siswa yang jeblok nilai akademiknya saat bersekolah di SMA swasta. Setelah berulangkali tinggal kelas, mereka mencoba peruntungan di SMA negeri pada PPDB 2020. 

"Karena banyak yang dari swasta itu enggak naik-naik kelas. Akhirnya, mereka masuk ke sini. Bahkan, mungkin enggak naik kelas beberapa kali kalau (usianya mereka) sampai 19 tahun. Masak 19 tahun baru kelas 10? Itu kan otomatis harus aktif gurunya nanti," kata Endah. 

Diakui Endah, persyaratan usia itu juga sempat dikeluhkan sejumlah orangtua yang mendaftarkan anaknya ke SMAN 94. Pasalnya, anak-anak mereka harus tereliminasi karena kalah tua dengan calon siswa lainnya. 

"Sempat ada (orangtua) yang sebenarnya anaknya berprestasi gitu. Tapi, karena umurnya belum nyampe, enggak bisa. Jadi, anak yang berprestasi itu akhirnya masuk sekolah swasta," jelas perempuan berusia 58 tahun tersebut. 

Persyaratan usia merupakan salah satu "inovasi" Disdik DKI Jakarta dalam pemberlakukan sistem zonasi kali ini. Diberlakukan sejak tahun ajaran 2017/2018, terhitung sudah tiga tahun sistem zonasi digunakan dalam PPDB.

Menurut Endah, pemberlakuan sistem zonasi sebenarnya sudah mulai bertuah. Dengan ketentuan mengharuskan sekolah menerima calon siswa yang jarak rumahnya dekat, kata Endah, status sekolah-sekolah favorit mulai terkikis. 

"Jadi, tidak ada sekolah yang favorit. Yang awalnya sekolah favorit sekarang akhirnya harus menerima yang umurnya 19-an dan harus menerima juga yang nilainya kurang," ucap perempuan lulusan Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Diakui Endah, sekolahnya juga turut "kecipratan" siswa-siswa berkualitas. Namun, karena penyuplainya dari SMP-SMP di zona yang relatif sama, jumlah siswa berprestasi yang masuk ke SMAN 94 tak banyak. "Ya, kami dapet. Namanya 94 kan? Dari dulu itu siswanya dari SMP 187, dari 205, 176," ujar dia.

Kepada Alinea.id, Kepala Sekolah SMA Negeri 8 Jakarta, Rita Hastuti mengakui persyaratan batasan usia dalam PPDB 2020 di DKI Jakarta tahun ini banyak dikeluhkan orangtua siswa. Namun demikian, Rita menyatakan sistem zonasi membuat murid yang diterima di sekolahnya kian beragam. 

"Tapi, yang sekarang itu terjadi heterogenitas di kelas. Ada yang dari zonasi, afirmasi, KJP (Kartu Jakarta Pintar), prestasi, dan sebagainya," kata Rita di SMA 8 Jakarta, Jalan Taman Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.

SMA 8 Jakarta tercatat sebagai salah satu sekolah unggulan di DKI Jakarta. Dalam PPDB 2020, jumlah siswa yang diterima sebanyak 360 orang. Sebanyak 134 di antaranya merupakan siswa yang masuk lewat mekanisme zonasi. 

Diakui dia, tak mudah untuk mengelola sekolah yang heterogen. "Nanti yang kita perlukan adalah keterampilan guru dalam mengelola kelas. Harapannya, kita masih tetap favorit. Yang pasti dengan inovasilah," ujar dia.

Kesulitan mengelola kelas yang muridnya heterogen diamini salah satu guru SMAN 8 yang tak mau disebut namanya. Menurut dia, tenaga pengajar harus bekerja ekstra keras lantaran tak semua murid punya tingkat pemahaman yang sama terhadap satu materi pelajaran. 

"Memang karena jalur masuknya beda. Itu berpengaruh pada tangkapan materinya. Karena (SMAN 8) sudah sekolah favorit, ini jadi tantangan. Apalagi, standar isinya (siswanya) masih di atas grade rata-rata," kata dia. 

Seorang peserta didik didampingi orang tuanya berkonsultasi terkait dengan pendaftaran secara daring di Posko Pengaduan PPDB di SMA 1 Negeri Kudus, Jawa Tengah, Rabu (17/6). /Foto Antara

Sistem zonasi perlu dievaluasi

Anggota Komisi Nasional Pendidikan Andreas Tambah menilai perkara PPDB 2020 DKI Jakarta berpangkal dari cara Pemprov DKI Jakarta menafsirkan Permen 44 tahun 2019 yang cenderung menjadikan syarat usia sebagai prioritas. Padahal, urusan usia menjadi ketentuan paling terakhir setelah jarak tempat tinggal dan prestasi di Permen itu.

"Hanya DKI yang beda menafsirkannya. Semua daerah prioritas utama adalah zonasi wilayah tempat tinggal, prioritas kedua prestasi dan terakhir usia. Nah, di DKI, prioritas utama adalah usia, barulah zonasi wilayah dan prestasi," kata dia kepada Alinea.id, Minggu (19/7).

Andreas menilai inovasi yang dilakukan Disdik DKI justru diskriminatif. Menurut dia, sistem itu dimanfaatkan peserta didik yang sudah naik ke kelas 11 di SMA swasta atau negeri yang kurang bagus mutunya untuk pindah dan kembali mendaftar ke sekolah negeri.

"Jumlahnya cukup banyak sehingga banyak peserta didik yang usianya relatif lebih muda tergusur dari sekolah pilihannya. Ini sangat merugikan calon peserta didik yang baru mau masuk SMA. Ini adalah kebijakan yang buruk," kata dia. 

Meski mengakui sistem zonasi punya nilai positif, Andreas mengatakan, sistem itu tidak bisa berjalan maksimal. Menurut dia, pemerataan kualitas sekolah bakal sulit terjadi karena suplai murid berkualitas berbasis zonasi cenderung mengikuti karakteristik kawasan. 

"Tetap ada sekolah yang dianggap unggul. Mengapa? Karena zonasi itu sendiri. Penyebaran penduduk DKI itu sendiri tidak merata secara ekonomi. Ada daerah kumuh, ada daerah elite. Nah, sekolah yang berada di daerah elite cenderung mutunya bagus, sementara sekolah yang berada di daerah ekonomi rendah atau kumuh, biasanya prestasi anaknya juga kurang baik," jelas Andreas. 

Infografis Alinea.id/Dwi Setiawan

Berbeda, pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Chrismiadji menilai polemik PPDB 2020 di DKI Jakarta merupakan penggiringan opini. Pasalnya, jumlah calon siswa tua yang diterima relatif sedikit.

"Usia yang di atas 20 cuma 7 orang, yang usianya 14-15 tahun itu yang SMP hanya 1,32%. Jadi, angkanya masih kecil dan tidak siginifikan. Bila dikatakan yang muda tersisih, enggak juga. Soalnya angkanya kecil," ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (19/7).

Indra menilai mekanisme zonasi yang mengutamakan usia justru positif lantaran memberikan kesempatan kepada calon siswa dari keluarga yang kurang mampu. Ia mencontohhkan kian beragamnya siswa di SMAN-SMAN favorit di DKI Jakarta. 

"Semisal kayak SMAN 8 Jakarta. Kami lihat kurvanya sudah normal banget. Jadi, enggak jomplang. Enggak isinya anak pinter semua, tetapi ada anak yang biasa aja. Ada anak yang kurang dan ada yang anak yang pinter. Jadi, nanti kinerja pendidikan bisa diukur dengan baik karena semua punya beban yang sama," jelas dia. 

Dari sisi tahapan seleksi, Indra menilai, sistem zonasi yang diberlakukan di DKI Jakarta sudah cukup baik. Namun, ia menyayangkan terbatasnya kuota dalam sistem zonasi. Walhasil, banyak siswa kurang mampu yang tidak bisa diakomodasi. 

Sebagai solusi, Indra menyarankan dibentuknya sekolah piagam. Sekolah piagam merupakan sekolah yang dikelola swasta namun dana operasionalnya berasal dari pemerintah. Di sekolah semacam itu, peserta didik tidak dipungut biaya sama sekali. "Tapi, agak longgar dan tidak seketat yang negeri," kata dia. 

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani meminta agar Pemprov DKI Jakarta mencarikan jalan keluar bagi calon peserta didik yang tereleminasi lantaran usia. Menurut dia, ada banyak calon peserta didik yang tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran tak punya duit jika harus bersekolah di swasta.

"Saya dan masyarakat menunggu janji Dinas Pendidikan waktu rapat di Komisi E, akan bantu anak yang masuk swasta, dipermudah kendala finansialnya. Kami dari dewan sudah sepakat untuk itu. Kalau masih tidak ada kebijakan yang membantu, biarkan masyarakat yang menilai," kata dia. 

Lebih jauh, ia meminta Disdik DKI Jakarta mengevaluasi PPDB berbasis zonasi. Ia menilai ada banyak faktor yang harus dibenahi sehingga PPDB berikutnya tidak kembali menimbulkan polemik berkepanjangan. 

"Penetapan zonasi dan tahapan seleksinya itu harus lebih matang dalam mengkaji dan sosialisasinya. Ini kan banyak yang tidak terima karena kaget juga. Mereka cuma tahu anaknya tidak lolos zonasi karena umurnya masih muda," ucapnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan