close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7)./ Antarafoto
icon caption
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7)./ Antarafoto
Nasional
Kamis, 19 Juli 2018 17:00

Misrepresentasi aset Sjamsul dalam pusaran kasus BLBI

Boediono bersaksi, Syafruddin Arsyad Temenggung tidak pernah melaporkan misrepresentasi aset yang dilakukan pemilik Bank Dagang Negara.
swipe

Mantan Wakil Presiden (Wapres) Boediono, hari ini dimintai keterangannya oleh Jaksa KPK dan Hakim Pengadilan Tipikor. Ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam kasus perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Adapun terdakwa kasus tersebut, yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syaifuddin Arsyad Temenggung, kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.

Pemanggilan Boediono sendiri menindaklanjuti pernyataan Kwik Kian Gie di persidangan sebelumnya (5/7), yang menyatakan keterlibatannya dalam penerbitan SKL BLBI saat masih menjabat Menteri Keuangan. Kala itu, Boediono juga menjadi anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), lembaga yang membidani lahirnya konsep SKL BLBI untuk diberikan ke para obligor penerima BLBI.

Dalam persidangan, eks Menteri Keuangan era Presiden Megawati ini, dimintai keterangannya soal keterlibatan dalam penerbitan SKL BLBI ke beberapa obligor besar seperti Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Boediono mengenang, ini bermula dari rapat terbatas di Istana Negara pada Februari 2004. Dalam rapat tersebut dibahas permasalahan utang yang membelit Sjamsul Nursalim.

"Pada waktu itu memang disampaikan mengenai pengurangan beban para petambak sebagai imbas utang dari BDNI, karena memang ini fokusnya pengurangan beban. Saya kira (pembahasan) ini (tujuannya) baik. Sisanya, kalau tidak salah ingat, apakah itu dimunculkan atau tidak," paparnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Senen, Jakarta, Kamis (19/7).

Saat itu, ia mengamini usulan penghapusan utang Sjamsul Nursalim sebesar Rp 2.8 triliun, saat rapat terbatas di Istana Negara. Namun, Boediono mengatakan tak tahu persis alias lupa besaran penghapusan utang tersebut.

Perkara penghapusan ini muncul justru saat evaluasi, dimana KKSK mengintruksikan Syafruddin yang waktu itu menjabat sebagai Kepala BPPN, untuk menerbitkan SKL BLBI.

"Saya menerbitkan SKL atas perintah KKSK. Setelah KKSK mengakaji semua, menerima masukan dari segala pihak melalui check and balance, dan menyatakan semuanya sudah selesai, karena saya pejabat publik, ya saya terbitkan itu atas perintah KKSA dan BUMN pada 17 Maret 2004. Walaupun, awalnya tak segera saya terbitkan," papar Syafruddin Arshad usai persidangan.

Lebih lanjut, Boediono dan Syafruddin sepakat, terdapat misrepresentasi terkait hal kasus BLBI yang menyeret nama mantan Kepala BPPN tersebut.

"Ini ada misrepresentasi, dan saksi ini adalah saksi fakta dan bicara sesuai fakta dan Insyaallah lah masalah ini akan terang," ujarnya berharap.

Syafruddin sendiri telah didakwa merugikan negara sekira Rp 4,5 triliun karena telah menerbitkan SKL BLBI untuk obligator BDNI. Penerbitan SKL BLBI tersebut dianggap telah memperkaya pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim.

Tak hanya itu, ia juga dianggap telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak dan dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM), yang merupakan aset milik Sjamsul Nursalim.

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan