MK gelar sidang uji materi peleburan lembaga iptek ke BRIN
Mahkamah Konstitusi mengagendakan sidang pertama pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) terhadap UUD 1945, Selasa (21/9) hari ini. Sidang nomor perkara 46/PUU-XIX/2021 ini dinilai memiliki arti penting bagi perjalanan ekosistem iptek dan inovasi di Indonesia ke depan.
Uji materi diajukan oleh Eko Noer Kristiyanto dan Heru Susetyo. Eko adalah peneliti madya di Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan Heru adalah anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta dan peneliti di Lembaga Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Keduanya menguji frasa 'terintegrasi' dan 'antara lain' yang tertuang di Pasal 48 (ayat 1) UU 11/2019 berikut penjelasannya. Pasal 48 (1) berbunyi: "(1) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional."
Penjelasan Pasal 48 (1): "Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Perrerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional."
Menurut kuasa hukum keduanya, Wasis Susetio, pemohon ingin mendapatkan kepastian tafsir 'terintegrasi' dan 'antara lain' yang multitafsir. Oleh pemerintah, kedua frasa dimaknai sebagai pembubaran yang diikuti peleburan lembaga-lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek (Batan, Lapan, LIPI, dan BPPT) juga litbang di 48 kementerian/lembaga ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Wasis mengakui, peleburan yang berarti pembubaran itu menimbulkan keresahan peneliti/perekayasa di banyak lembaga riset dan litbang. Bukan hanya di 4 LPNK dan balitbang K/L, tapi juga di yudikatif. "Kami meyakini langkah ini bertentangan dengan pengaturan kelembagaan di UU Sisnas Iptek," kata Wasis kepada Alinea.id, Senin (20/9).
Langkah peleburan
Pemerintah lewat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) bersama BRIN telah membubarkan empat LPNK bidang iptek. Per 1 September 2021, empat LPNK itu turun kelas menjadi organisasi riset penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (OR litbangjirap) di bawah naungan BRIN.
Langkah ini merupakan amanah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33/2021 tentang BRIN (terbit 28 April 2021) yang kemudian direvisi jadi Perpres No. 78/2021 (terbit 24 Agustus 2021). Perpres ini terbit sebagai amanah Pasal 48 (ayat 1) UU Sisnas Iptek.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengaku optimistis peleburan lembaga riset ke dalam BRIN bisa bikin iklim riset dan inovasi lebih kondusif. Menurut dia, perkembangan dunia riset selama ini terhambat karena sumber daya riset yang terpecah di berbagai lembaga.
"Nah, dengan sekarang kita gabung jadi satu, resources-nya sudah terkumpul besar kan? Kita bisa lakukan apa saja. Mau riset apa saja bisa,” tutur Handoko dalam wawancara khusus dengan Alinea.id, Rabu (8/9).
Riset dan penelitian, kata Handoko, membutuhkan biaya yang sangat besar. Tanpa ditunjang fasilitas, infrastuktur, dan anggaran yang memadai, ia pesimistis produk-produk yang dihasilkan para periset di Indonesia bisa berkualitas.
"Ya, perisetnya sampai kapan pun tidak akan bisa ngapa-ngapain. Dan mereka (periset) juga tidak akan menjadi periset bagus karena tidak terlatih, ya," ujar eks Kepala LIPI itu.
Permintaan tafsir
Wasis Susetio menjelaskan, multitafsir muncul lantaran ada kata 'antara lain' dalam penjelasan Pasal 48 (ayat 1). "Adanya kata 'antara lain' itu bisa memperluas pengertian atau dikembangkan ke yang lain, bukan hanya yang ditulis di pasal," kata dia.
Lembaga iptek, kata Wasis, itu bersifat jejaring. Itu diatur di Pasal 42 juncto Pasal 1 (ayat 19) UU Sisnas Iptek bahwa lembaga iptek dirajut lewat koordinasi, bukan dileburkan. Selain itu, jika UU Sisnas Iptek mengamanatkan pembentukan lembaga baru sudah pasti ada pasal-pasal peralihan. Karena lembaga baru perlu berproses.
"Sederhana saja, apakah ada pasal-pasal peralihan? Karena tidak ada, makanya UU Sisnas Iptek jelas bukan untuk membubarkan lembaga sebelumnya. Sebaliknya, lembaga itu malah diperkuat," kata dia.
Untuk memperkuat argumentasinya itu, Wasis melengkapi permohonan uji materi dengan segepok dokumen pendukung. Mulai dari naskah akademik RUU Sisnas Iptek, risalah rapat, daftar inventarisasi masalah, saksi hingga pernyataan pelbagai pihak. "Dari original intent tidak ditemukan ihwal peleburan lembaga," kata Wasis.
Wasis membandingkan lembaga iptek di negara yang sentralistik seperti di China dan Rusia. Di dua negara itu ia tidak menemukan wadah tunggal bidang sains dan iptek seperti yang hendak dibangun pemerintah lewat BRIN. "BRIN itu sebuah lembaga besar yang bersifat supra-birokratis dalam mengelola iptek," jelas Wasis.
Kondisi itu diyakini bertentangan dengan kultur para peneliti dan perekayasa yang memerlukan ruang kebebasan dan kemandirian dalam meneliti. Saat ini, kata Wasis, dibutuhkan organisasi yang lincah dan otonom, bukan lembaga hirarkis yang sudah ketinggalan zalam. BRIN justru mendorong ke arah sentralisasi lembaga.
Agar ada jaminan kepastian hukum, Eko-Heru meminta majelis hakim MK menetapkan frasa 'teringrasi' di Pasal 48 (ayat 1) dan frasa 'antara lain' di penjelasan tidak bertentangan dengan Pasal 28D (ayat 1) UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai BRIN adalah badan yang hanya melakukan koordinasi menyusun, merencanakan, membuat program dan anggaran, Sumber Daya Iptek bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan.
Atau frasa 'antara lain' dalam penjelasan Pasal 48 (ayat 1) UU Sisnas Iptek bertentangan dengan Pasal 28D (ayat 1) UUD 1945 dan tidak memunyai kekuatan hukum mengikat. "Konstruksi yang kita bangun hanya meluruskan, membangun koridor untuk menghindari penyimpangan tafsir karena ada frasa multitafsir," kata Wasis.
"Kami meyakini, majelis hakim MK akan bekerja dengan sifat kenegarawannya yang akan melihat persoalan uji materi UU Sisnas Iptek ini dengan objektif, kejujuran hati nurani, rasa keadilan serta pandangan profesional selaku penjaga konstitusi yang memiliki marwah kemuliaan seorang hakim konstitusi," kata Wasis.