Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) terkait uji materi Undang-undang No.2 Tahun 2018 tentang MD3, wabilkhusus tentang kewenangan DPR yang bisa memanggil paksa seseorang apabila dianggap mencederai martabat DPR.
Pasal-pasal yang dikabulkan gugatannya oleh MK antara lain Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), yang menjelaskan tentang mekanisme pemanggilan paksa pihak yang mangkir dari panggilan DPR, dan Pasal 122 huruf I yang mengatur langkah hukum yang dilalui MKD terhadap penghinaan kehormatan anggota dan kelembagaan DPR, dan yang terakhir adalah pasal 245 ayat (1) yang mengatur tentang hal ihwal pemeriksaan wakil rakyat yang mesti didahului pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR, sebelum disetujui secara tertulis dari Presiden.
Menurut MK, Pasal-pasal tersebut dapat menciptakan rasa takut masyarakat sehingga harus dibatalkan.
"Menurut hakim, permohonan pemohon mengenai inkontitusional Pasal 73 ayat 3, 4, 5, 6 beralasan menurut hukum," papar Hakim Sahartoyo saat membacakan pertimbangannya di Kantor MK Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (28/6).
Tak hanya itu, Hakim Saldi Isra juga menyatakan MKD tak bisa mengambil langkah hukum lain terhadap pihak eksternal, karena kewenangannya yang hanya terbatas pada mengajukan etika dan perilaku anggota DPR.
"Dengan demikian pihak eksternal tidak dapat dituntut oleh lembaga penegak etika internal seperti MKD," jelasnya.
Terkait Pasal 245 ayat (1), MK menghilangkan peran MKD untuk memberi pertimbangan memeriksa anggota DPR sebelum disetujui Presiden. Ketentuan ini dianggap tak sesuai dengan tugas MKD yang hanya bertugas untuk mengawasi internal anggotanya yang terdiri dari pencegahan, pengawasan, dan juga pelanggaran etika.
Meskipun demikian, MK tidak sekonyong-konyong menghapus norma tersebut. Karenanya MK memilih untuk mengubah pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang kini, dengan frasa, "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tak sesuai tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden,".
Keputusan MK ini disambut gembira oleh para pemohon. Sebab menurut mereka, terdapat beberapa pasal kontroversial yang justru dapat memberangus sikap kritis dari masyarakat.
Kuasa hukum para pemohon, Irmanputra Sidin, menyatakan apresiasi setinggi-tingginya kepada MK. Menurutnya, putusan MK telah turut serta menjaga rakyat dari aksi sepihak DPR. Jika tidak dibatalkan, kata dia, akan mengancam perkembangan demokrasi dan konstitusi NKRI.
"Ini kita tunggu sejak lama, sehingga kita amat bersyukur dengan hasil ini karena imunitas DPR tak lagi bisa memberangus kritik dari masyarakat," paparnya.
Sekadar informasi, sebelumya masyarakat banyak yang mengajukan Judicial Review ke MK untuk tidak mengesahkan keinginan DPR memperkuat imunitasnya secara hukum.
"Apa dasarnya membedakan mana kritik mana hinaan, apa parameternya," ujar Mahasiswa PMII saat menggelar Aksi di MK pada bulan April 2018.