close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Aswanto (kiri) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang uji materi Undang-Undang No 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi./AntaraFoto
icon caption
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Aswanto (kiri) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang uji materi Undang-Undang No 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi./AntaraFoto
Nasional
Selasa, 15 Mei 2018 09:26

MK lanjutkan sidang uji UU MD3

Agenda sidang hari Selasa ini, panel perbaikan pengujian Undang-Undang MD3
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji UU MD3 yang diajukan beberapa organisasi buruh, dengan agenda perbaikan permohonan.

"Agenda sidang hari Selasa ini, panel perbaikan pengujian Undang-Undang MD3," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (15/5).

Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 34/PUU-XVI/2018 ini diajukan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang diwakili Nining Elitos dan Sunarno, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI) diwakili Eduard Parsaulian Marpaung, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) oleh Ilhamyah dan Damar Panca Mulya, dan SINDIKASI oleh Ellena Ekarahendy dan Nur Aini.

Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 73, Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pemanggilan paksa oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan, para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 73 UU MD3 mengakibatkan DPR dapat memanggil paksa seseorang dengan menggunakan kekuatan lembaga kepolisian, padahal DPR bukanlah lembaga yudikatif yang mempunyai wewenang untuk memanggil, memeriksa, dan bahkan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian.

Selain itu, pemohon menganggap tidak ada kejelasan untuk perkara apa warga negara dapat dipanggil paksa dan dilakukan penyanderaan.

Para pemohon berpendapat pemanggilan yang tidak jelas tersebut berpotensi melanggar hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut pemohon, segala tindakan yang dikategorikan upaya paksa harus diatur tata cara dan hukum acaranya melalui undang-undang.

Sedangkan pada UU MD3 pemohon tidak menemukan tata cara dan hukum acara untuk upaya paksa tersebut.

Sementara Pasal 122 huruf l, dinilai oleh pemohon tidak memiliki definisi yang jelas mengenai apa yang dianggap dengan merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Selain itu prosedur untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR pada Pasal 245 UU MD3, menurut pemohon bertentangan dengan prinsip independensi peradilan.

Diberlakukan pasal-pasal ini, menurut para pemohon berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di muka hukum yang dijamin UUD 1945.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan