Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) berlanjut hari ini, Kamis (4/4), dengan agenda pemeriksaan perkara, khususnya pembuktian pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selaku pihak terkait.
Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan, pihaknya membawa 8 ahli dan 6 saksi ke sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hari ini. Salah satunya adalah pendiri lembaga survei Cyrus Network, Hasan Nasbi.
Dalam perjalanannya, hakim Arief Hidayat sempat menegur Hasan yang dinilai menodai kesakralan sidang MK. Pangkalnya, memasukkan tangannya ke dalam saku celana ketika akan diambil sumpah.
Mulanya, 8 ahli yang dihadirkan Prabowo-Gibran dipersilakan maju untuk diambil sumpah. Mereka adalah Hasan; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pakuan, Andi Muhannad Asrun; pakar hukum Abdul Khair Ramadhan dan Amirudin Ilmar; pakar hukum tata negara Margarito Kamis; dan Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN, Khalilul khairi; bekas Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej; dan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari.
"Agamanya semua muslim? Muslim, ya? Pak Margarito muslim juga?" kata Suhartoyo sebelum diambil sumpah.
Hakim Arif lantas menegur Hasan lantaran berlaku tidak sepatutnya. "Sebentar, Yang Mulia."
"Itu yang pojok tangannya yang benar, jangan model kaya koboi, ya! Terima kasih," imbuhnya.
Hasan secara spontan lantas mengeluarkan kedua tangannya dari saku celananya. Para ahli kemudian diambil sumpahnya di bawah Al-Qur'an.
Urgensi pengambilan sumpah
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memaklumi jika Hasan ditegur. Pangkalnya, pengambilan sumpah dalam sebuah persidangan adalah sesuatu yang sakral mengingat setiap pernyataannya mempunyai konsekuensi yuridis: terancam pidana apabila kesaksiannya memuat kebohongan.
Ia melanjutkan, pengambilan sumpah menjadi penting karena menjadi langkah awal menguji objektivitas keterangan saksi yang dihadirkan. Sebab, kehadiran saksi pada dasarnya bersifat netral dan menjadi partisan ketika dihadirkan salah satu pihak.
"Untuk menguji objektivitas keterangannya, seorang saksi harus disumpah. Artinya, setiap pernyataannya mempunyai konsekuensi yuridis yang jika dikemukakan saksi sebuah kebohongan, maka hukum pidana telah menanti untuk memproses dan menghukumnya," tuturnya kepada Alinea.id, Kamis (4/4).
Apabila saksi atau ahli yang dihadirkan adalah bagian dari tim sukses (timses) salah satu calon, menurut Fickar, tidak menjamin keterangannya objektif. "Sedikit banyak pasti akan dipengaruhi oleh keberpihakannya."
Ia pun menyarankan saksi yang menjadi timses kandidat tertentu tidak diberi ruang. Namun, ketika tetap hadir dan keterangannya diminta, majelis hakim harus menjaga netralitas dengan ada pada penilaian yang objektif.
"Jika objektivitas terganggu, maka pengadilan akan terjebak nenjadi peradilan sandiwara," tegasnya.