Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Robert Tantular yang menguji Pasal 272 KUHAP serta Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP terkait penjatuhan pidana dalam tindak pidana gabungan atau tindak pidana berlanjut. Dengan penolakan ini, terpidana kasus Century itu harus tetap menjalani total hukuman 21 tahun penjara yang dijatuhkan terhadapnya.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (15/4).
Penolakan disebabkan penilaian Mahkamah terhadap seluruh pasal yang digugat oleh Robert, tidak memiliki persoalan konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945. Karena itu, dalil yang diajukan Robert dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Gugatan sejumlah pasal yang diajukan oleh Robert, dilakukan karena penyidik Bareskrim Polri dengan sengaja memisah perkara Robert menjadi enam laporan. Penyidik juga mengajukan berkas perkara tersebut secara bertahap, sehingga Robert harus menjalani serangkaian persidangan berbeda.
Robert divonis dalam empat putusan pengadilan, dengan total hukuman 21 tahun penjara. Berikut adalah empat kasus yang menjerat Robert Tantular:
1. Perkara Nomor 1059/Pid.B/2009/PN.Jkt.Pst dihukum 9 tahun penjara.
2. Perkara Nomor 666/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst dihukum 10 tahun penjara.
3. Perkara Nomor 1631/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst dihukum 1 tahun penjara.
4. Perkara Nomor 210/Pid.B/2013/PN.JKT.PST dihukum 1 tahun penjara.
Saat mengajukan permohonan gugatan ke MK pada Oktober 2018 lalu, pihak Robert Tantular menyatakan mantan Direktur Utama Bank Century itu harusnya mendapat total hukuman 13 tahun dan empat bulan penjara.
Namun penolakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ini membuatnya harus tetap menjalani hukuman sesuai putusan persidangan.
Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan Mahkamah mengatakan, norma Pasal 272 KUHAP adalah norma yang mengatur pelaksanaan putusan pengadilan. Seorang terpidana, tidak boleh menjalani hukuman pidananya dengan mendahulukan putusan pengadilan yang dijatuhkan setelah putusan pengadilan sebelumnya.
"Ketika seseorang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan dan belum menjalani pidana akan tetapi kemudian dijatuhi pidana lagi, maka terpidana menjalani pidana secara berturut-turut, dimulai dengan pidana yang terlebih dahulu telah dijatuhkan," ujar Aswanto.
Dia juga mengatakan, Pasal 272 KUHAP yang mengatur tindak pidana perbarengan tidak berhubungan dengan pengajuan berkas perkara yang dilakukan secara terpisah. Dalam Pasal 63 KUHP, tindak pidana perbarengan adalah peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, namun tindakan itu melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus.
"Meskipun penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim dalam tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) tidak diajukan secara serentak atau diajukan secara terpisah (splitsing) tidak berakibat penuntutan dan penjatuhan pidana menjadi batal demi hukum," jelas Aswanto.
Oleh sebab itu Mahkamah menilai dalil pemohon yang menyatakan norma pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. (Ant)