close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Majelis Hakim MK saat menutup sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/06)/Foto Antara.
icon caption
Ketua Majelis Hakim MK saat menutup sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/06)/Foto Antara.
Nasional
Selasa, 04 Mei 2021 15:57

MK tolak uji formil revisi UU KPK

Majelis Hakim MK menilai proses pembentukan UU KPK sesuai prosedur.
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (4/5). Gugatan tersebut diajukan eks pimpinan KPK era Agus Rahardjo, yakni Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang, dan 11 pemohon lainnya.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Amar putusan mengadili; dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok permohonan, menolak permohonan pokok para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).

Dalam pertimbangannya, dalil pemohon yang menyebut UU KPK tidak melalui prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum dinilai hakim tidak beralasan menurut hukum. Lalu, dalil pemohon yang menyatakan draf revisi UU KPK fiktif, juga tidak beralasan menurut hukum.

Majelis hakim menilai proses pembentukan UU KPK disebut telah sesuai prosedur dan menganggap geliat penolakan terhadap UU KPK dalam aksi demonstrasi hanyalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Bahkan, majelis hakim membuktikannya dengan mencontohkan adanya aksi demonstrasi tandingan pendukung revisi UU KPK.

Terhadap putusan MK a quo, seorang hakim konstitusi Wahiduddin Adams memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Ia mengatakan, beberapa perubahan UU KPK baru telah secara nyata mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi lembaga antirasuah itu.

Secara jelas, lanjutnya, perubahan tersebut dilakukan dalam jangka waktu sangat singkat dan dalam momentum yang spesifik, yaitu hasil pemilihan umum presiden (Pilpres) dan pemilihan umum legislatif (Pileg).

Proses pembentukan UU yang singkat itu, jelas Wahiduddin, berpengaruh secara signifikan terhadap minimnya partisipasi masyarakat. Juga minimnya kajian dampak UU tersebut terhadap institusi terkait (KPK).

Selain itu, ia menilai ada yang tak sinkron antara naskah akademik dengan rancangan undang-undang (RUU) KPK tersebut. “Akumulasi dari berbagai kondisi tersebut di atas, menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konsitusionalitas pembentukan undang-undang a quo,” ucapnya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan