close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Foto suaramuhammadiyah.id
icon caption
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Foto suaramuhammadiyah.id
Nasional
Rabu, 30 Desember 2020 15:25

Haedar Nashir: Moderasi sudah melekat dalam sejarah Islam dan Indonesia

Dalam praktiknya, proses transisi tersebut terjadi secara damai dan tidak menimbulkan kegaduhan yang besar.
swipe

Apabila dirujuk dari segi konteks agama, Indonesia terbentuk dari suatu proses yang moderat. Mengingat dahulu mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah Hindu. Kemudian, masuklah agama Islam ke Indonesia melalui pedagang Arab yang pada klimaksnya terjadi sebuah proses transisi demografi keagamaan dari Hindu menjadi Islam.

Dalam praktiknya, proses transisi tersebut terjadi secara damai dan tidak menimbulkan kegaduhan yang besar.

“Ini salah satu contoh dari apa yang disebut dengan istilah moderasi secara historis dalam konteks relasi agama. Baru nanti di belakang hari itu ada konflik-konflik. Bukan hanya antaragama. Di dalam tubuh Islam sendiri juga ada konflik sebenarnya, tetapi itu merupakan bagian dari hal-hal atau dinamika yang menyeluruh,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam Webinar Refleksi Akhir Tahun bertajuk “Moderasi Keislaman dan Keindonesiaan”, Rabu (30/12).

Bila merujuk dari segi konteks relasi antaretnik yang ada di dalam sisi historis Indonesia, kenyatannya juga terjadi moderasi. Misalkan saja etnis kecil yang bernama Melayu, bahasanya bisa digunakan menjadi embrio cikal bahasa nasional. Padahal etnis Jawa, merupakan etnis yang cukup besar pada masa itu.

Hal ini jelas menjadi sebuah bukti nyata, bahwa proses moderasi di Indonesia terjadi secara luar biasa, yang kemudian membentuk dan mempersatukan Indonesia.

“Ketika terjadi penjajahan, sebenarnya Indonesia tidak mengalami fragmentasi yang membuat kita sibuk di dalam tubuh sendiri. Justru semuanya bersatu melawan penjajah, bahwa kita selalu kalah dalam perang, mungkin waktu itu belum punya alat hebat dan strategi perang yang tidak canggih seperti mereka,” imbuh Haedar.

Karenanya, nama Indonesia itu dipilih dengan melewati sebuah proses yang panjang yang kemudian terjadi kompromi lalu dipilihlah nama Indonesia, bukan Melayunesia, Nusantara, atau nama lainnya. 

“Nama Nusantara itu cenderung lebih kepada budaya. Dan kita bisa lihat ketika para pemuda Indonesia bersatu untuk menjadikan kata Indonesia sebagai tempat, entitas berbangsa, berbahasa, atau bertanah air namanya adalah Indonesia. Dan ketika merdeka sampai memproklamirkan kemerdekaan, namanya proklamasi Indonesia, bukan proklamasi Nusantara, Melayunesia, atau Insulinda,” pungkas Ketum PP Muhammadiyah tersebut. 

img
Andi Adam Faturahman
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan