close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kejahatan siber./Foto NoName_13/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi kejahatan siber./Foto NoName_13/Pixabay.com
Nasional
Kamis, 13 Juni 2024 06:34

Modus baru penipuan berkedok sekstorsi

Seorang ibu berinisial R dan AK menjadi korban penipuan sekstorsi di media sosial.
swipe

Pada Minggu (2/6), seorang ibu berinisial R, 22 tahun, menyerahkan diri ke Polres Metro Tangerang Selatan, Banten usai video pelecehan terhadap anaknya sendiri yang berusia 3 tahun, viral di media sosial. Diketahui, aksi pencabulan itu terjadi pada 30 Juli 2023.

Tak lama kemudian, seorang ibu di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat berinisial AK, 26 tahun, ditangkap polisi lantaran video pelecehan terhadap anak kandungnya yang berusia 10 tahun tersebar. Setelah diselidiki, pencabulan itu terjado pada Desember 2023 di Cileungsi, Bogor.

Dua kasus serupa di tempat berbeda itu mengarah pada satu nama pemilik akun Facebook Icha Shakila atau IS. Ia diduga memerintahkan pelaku untuk membuat video asusila, dengan dijanjikan sejumlah uang.

Belakangan diketahui, Polda Metro Jaya mengungkap, akun Facebook IS pada dua kasus video asusila ibu dan anak itu telah diretas orang lain. Dikutip dari Antara, IS sudah diperiksa di rumahnya di Cileungsi, Bogor pada Minggu (9/6) oleh penyidik Subdirektorat Siber Polda Metro Jaya.

Kepada Antara, Senin (10/6), Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Hendri Umar mengatakan, sebelum akun Facebook-nya diretas, IS sempat ditawari oleh akun lain berinisial M untuk membuat foto setengah badan dengan KTP. Lalu, IS tak menyanggupi ketika diminta M membuat video pornografi berhubungan badan dengan laki-laki.

Dua kasus video asusila itu dikenal dengan sekstorsi. Sekstorsi merupakan suatu bentuk pemerasan online, saat pelaku memaksa atau menipu seseorang agar mengirimkan foto atau video seksual dirinya. Kemudian mengancam untuk membagikan gambar tersebut, kecuali jika tuntutannya berupa uang, layanan seksual, atau gambar yang lebih vulgar dipenuhi.

Dua orang peneliti, Nicola Henry dari RMIT University di Melbourne dan Rebecca Umbach dari Google dalam penelitiannya di jurnal Computers in Human Behavior (2024) mengungkap, prevalensi sekstorsi di kalangan pria dan perempuan dewasa lebih umum terjadi dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Para peneliti mensurvei 16.693 orang berusia di atas 18 tahun dari 10 negara, antara lain Australia, Belgia, Denmark, Prancis, Meksiko, Belanda, Polandia, Korea Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat. Para peneliti menemukan, 14,5% peserta mengalami setidaknya satu ancaman foto intim mereka disebarluaskan. Sekitar 4,8% melaporkan menjadi pelaku pemerasan seksual.

Lebih banyak laki-laki, yakni 15,7%, dibandingkan perempuan, sebesar 13,4%, yang dilaporkan menjadi korban pemerasan seks. Sekitar 7,0% laki-laki dan 4,9% perempuan dilaporkan sebagai pelaku. Peserta penelitian berusia 18 hingga 24 tahun punya kemungkinan 1,95 kali lebih besar dibandingkan kelompok usia 35 hingga 49 tahun dan 3,07 kali lebih mungkin dibandingkan kelompok usia 50 hingga 64 tahun.

Menurut pakar telematika Abimanyu Wachijoewidajat, agar tak menjadi korban sekstoris, ia menyarankan tak perlu menghiraukan bila ada pendekatan dari orang yang tidak dikenal. Bukan soal uang, namun seseorang harus menjaga harga dirinya. Sebab, seseorang yang terjebak dalam situasi ini bakal dipermalukan.

Semua orang, katanya, bisa menjadi target pelaku, baik secara sengaja merekam maupun karena data dalam gawai tersebar atau bocor. “Meski berdasarkan laporan polisi, tidak banyak orang yang melaporkan kasus seperti ini ke aparat,” kata Abimanyu kepada Alinea.id, Selasa (11/6).

Sementara itu, pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan, sekstorsi awalnya dipakai dalam praktik korupsi dengan seks sebagai alat suap. Pemberi suap kemudian merekam aksi asusila secara diam-diam. Lalu, rekaman itu akan dipakai sebagai alat pemerasan.

Sedangkan dalam kasus yang menjerat ibu berinisial R dan AK, disebut Firman sebagai kondisi baru. Karena R dan AK diiming-imingi sejumlah uang sebagai modusnya oleh pelaku penipuan. Ia yakin, dua kasus itu hanya sebagian kecil, selayaknya gunung es, masih banyak kasus lain.

Ibu-ibu maupun remaja perempuan kerap dijadikan target. Mayoritas korban adalah kelompok rentan ekonomi, yang terpengaruh kehidupan hedonis maupun terbentur kebutuhan hidup.

“Jadi, ini modus baru dalam membuat konten yang tidak bisa dipisahkan dari konten porno sebelumnya,” kata pendiri Literos—lembaga yang menggerakkan literasi publik terkait perkembangan teknologi informasi digital—itu, Rabu (12/6).

Menurut Firman, kaitan dengan pornografi dan produksinya semakin nyata. Semisal, kasus rumah produksi film porno di daerah Jakarta Selatan yang dibongkar polisi pada September 2023 lalu. Lebih lanjut, kata Firman, produsen video asusila membutuhkan beragam konten baru agar semakin diburu warga.

“Karena akan langka orang yang mau melakukan itu, ibu melakukan (tindak asusila) dengan anaknya kan enggak masuk akal,” ucap Firman.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor
Bagikan :
×
cari
bagikan