Momok kebakaran dari tabunan sampah di DKI
Sejak tiga bulan terakhir, Inan, 55 tahun, punya kebiasaan baru. Saban malam, sebelum berangkat tidur, Inan selalu menyempatkan diri memastikan seluruh sudut rumahnya aman dari ancaman api. Ia selalu tak tenang jika masih ada tabunan sampah yang masih mengepulkan asap di dekat rumahnya.
"Namanya orang. Barangkali, lupa dia abis bakar sampah atau apa, terus dia tinggal. Enggak tahunya, belum mati apinya. Paling enggak, kita jaga diri sendiri aja," tutur Inan saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Jalan H Alimin, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, Senin (12/12).
Rutinitas baru itu dijalani Inan usai menyaksikan kebakaran besar yang terjadi tak jauh dari rumahnya pada 18 September 2022. Bermula dari percikan sisa pembakaran sampah, ketika itu api melahap hingga 13 ruko dan rumah kontrakan. Kerugian ditaksir hingga Rp500 juta.
"Akibat dari bakar sisa kayu atau mebel dari salah satu yang punya usaha mebel di sini. Terus, api merembet rumah warga. Awalnya kecil. Tetapi, ditinggal sedikit aja, apinya bisa gede dan kebakaran," ucap Inan.
Menurut Inan, warga setempat sebenarnya sudah meninggalkan kebiasaan membakar sampah. Pasalnya, sampah rumah tangga rutin diangkut petugas kebersihan. Namun, masih ada pelaku industri kecil yang terbiasa memusnahkan sampah hasil produksi dengan dibakar.
"Sisa sampah industri rumahan itu terkadang tidak terbuang semua. Sisanya dibakar biar enggak numpuk. Bahayanya di situ. Apalagi, untuk daerah pemukiman padat penduduk," ujar Inan.
Perasaan cemas serupa juga sering hinggap di benak Isnaini, 48 tahun. Selama lima tahun terakhir, warga Jalan Manunggal V, Kedoya Selatan, Jakarta Barat, itu sudah tiga kali menyaksikan langsung kebakaran di sekitar lingkungan rumahnya.
Peristiwa kebakaran teranyar disaksikan Isnaini, Selasa (14/12) lalu. Lapak barang rongsok yang lokasinya hanya selemparan batu di belakang rumah Isnaini habis dilapap si jago merah. Kala itu, ia sempat ketar-ketir saat melihat api terus membesar.
"Saya takut merembet ke rumah. Soalnya, anginnya ke rumah saya," kata Isnaini saat berbincang dengan Alinea.id.
Isnaini tidak tahu sebab utama kebakaran terjadi. Namun, jika berkaca pada peristiwa serupa yang terjadi pada 2018 di lokasi yang sama, ia menduga kebakaran dipicu aktivitas membakar sampah oleh salah satu penghuni lapak.
"Jadi, kadang sisa barang rongsok yang enggak laku dijual dia bakar. Di situ banyak barang rongsokan yang mudah terbakar. Dulu juga gara-gara bakar sampah. Terus, jadi gede," kata Isnaini.
Isnaini berujar warga setempat sebenarnya kerap diingatkan untuk tak membakar sampah sembarangan. Apalagi, permukiman tempat tinggal Isnaini tergolong padat penduduk. "Orangnya iya-iya aja," cetus dia.
Enang, 59 tahun, mengakui bahwa warga di sekitar lapak pemulung tersebut memang kerap membakar sampah. Ia pun sering melakukan itu di pekarangan rumahnya.
Namun, ia menegaskan hanya berani membakar sampah dedaunan kering. "Udah, itu saja saya. Kalau bakar juga, biasanya saya tungguin," kata Enang.
Lurah Kedoya Selatan, Aryan Syafari membebarkan lapak pengepul rongsok di Jalan Manunggal V sudah beberapa kali mengalami kebakaran. Ia menduga kebakaran teranyat disebabkan warga membuang puntung rokok sembarangan. "Hingga akhirnya kebakaran," kata Aryan kepada Alinea.id.
Lapak itu, kata Aryan, sebenarnya tak berpenghuni. Namun, ada sejumlah warga yang memiliki lapak tinggal berdekatan dengan lokasi kebakaran. "Jadi, lapak ini untuk pengumpulan barang bekas saja," kata dia.
Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Kadis Gulkarmat) DKI Jakarta, Satriadi membenarkan bila kebakaran akibat pembakaran sampah masih menjadi salah satu penyebab utama kebakaran di DKI Jakarta.
"Untuk tahun ini, (persentasenya) sama. Enggak beda jauh dengan tahun kemarin. Penyumbang paling terbesar itu adalah korsleting listrik. Bakar sampah ada diperingkat tiga atau empat," ucap Satriadi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Merujuk data Pemprov DKI Jakarta, sepanjang Januari sampai September 2021, tercatat ada sebanyak 1.132 kasus kebakaran di DKI. Pembakaran sampah merupakan penyebab kebakaran terbesar ketiga atau sebesar 5,9%. Korsleting listrik berada di peringkat pertama (61,4%), diikuti kebocoran atau ledakan tabung gas (9,5%).
Pada 2021, peristiwa kebakaran paling banyak melanda Jakarta Selatan. Tahun ini, kebakaran paling banyak terjadi di Jakarta Barat dan Jakarta Timur.
"Daerah barat dan timur itu kan memang banyak permukiman padat. Kayak Tambora itu memang daerah-daerah yang padat hunian yang semi permanen. Masing-masing wilayah kota pasti punya itu. Itu pasti punya potensi untuk rawan kebakaran," ucap Satriadi.
Pemprov DKI, kata Satriadi, sudah berulang kali menggelar sosialisasi untuk mengingatkan masyarakat agar tidak menganggap remeh perilaku sehari-hari yang potensial memicu kebakaran. Namun, upaya itu belum sepenuhnya berhasil.
"Seperti lupa mematikan kompor atau memasang colokan terlalu banyak. Itu kita lakukan sosialisasi. Namun, buat bakar sampah kami agak susah karena itu ranah penindakan Dinas Lingkungan Hidup," kata Satriadi.
Dorong perbaikan tata kelola
Kepala Seksi Humas Dinas LHK DKI Jakarta, Yogi Ikhwan mengklaim kasus kebakaran akibat pembakaran sampah sudah berkurang di Jakarta. Ia menegaskan petugas dari Pemprov DKI juga sudah rutin diturunkan untuk mengawasi warga yang membandel.
"Implementasi perda itu, kita melakukan penegakan hukum. Itu (pengawasan) kita lakukan secara rutin. Kami sering lakukan penegakan hukum," kata Yogi kepada Alinea.id, Senin (13/13).
Sesuai isi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, membakar sampah merupakan perbuatan yang dilarang. Ada sanksi berupa denda bagi warga yang melanggar aturan itu.
"Kami kasih tahu bahwa perilaku itu enggak boleh dilakukan karena itu bagian dari pelanggaran dan ada dendanya. Kami juga melakukan OTT (operasi tangkap tangan) dan kami ekspose agar ada efek jeranya," jelas Yogi.
Tak hanya karena ketatnya pengawasan, menurut Yogi, kebiasaan membakar sampah oleh warga sudah jauh berkurang lantaran sistem pengelolaan sampah di DKI Jakarta sudah cukup mumpuni.
"Kalau bakar sebagai perilaku harian itu enggak ada. Enggak kami temukan karena sistem pengangkutan sampah kami sudah menjangkau wilayah Jakarta. Kalau pun enggak, dia bakar tetapi dia taruh aja di pinggir jalan. Enggak sampai 24 jam, itu sudah kami angkut," ucap Yogi.
Menurut Yogi, kebanyakan warga membakar sampah lantaran iseng. Warga, misalnya, membakar sampah ketika ronda untuk menghalau udara dingin dan nyamuk.
"Temuan berikutnya dilakukan oleh pemulung atau lapak karena dia mau ambil bagian sampah yang mengandung nilai jual. Biasanya, kabel segala macam, dia bakar bagian karetnya biar dia ambil bagian tembaganya," ucap Yogi.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga menilai kebiasaan membakar sampah masih jamak ditemui di sejumlah permukiman di Jakarta lantaran minimnya tempat pembuangan sampah (TPS) terpadu. Warga kerap memilih jalan pintas membakar sampah lantaran kesulitan membuang sampah rumah tangga.
"Pemprov DKI Jakarta dan Dinas KLH DKI wajib menyediakan TPS terpadu di setiap permukiman (padat) dan memastikan sampah terolah di TPS dan hanya residu yang diangkut ke TPA (tempat pembuangan akhir)," ucap Nirwono kepada Alinea.id, belum lama ini.
Sejalan dengan itu, menurut Nirwono, masyarakat juga perlu diedukasi untuk tak membakar sampah sembarangan. Jika perlu, Pemprov DKI mengembangkan bank sampah di setiap TPS terpadu dan memberdayakan warga untuk mengelola sampah sehingga bernilai ekonomi.
"Dengan demikian, penerapan larangan membakar sampah dapat diterapkan dan tetap dilakukan pendampingan pemberdayaan masyarakat dalam mengolah sampah. Itu difokuskan di permukiman padat, dengan melibatkan CSR maupun komunitas peduli sampah, untuk mengolah sampah menjadi berkah," ucap Nirwono.