Moratorium eksekusi mati sejak 2016 ternyata tak serta merta menyebabkan penurunan jumlah vonis mati yang dikeluarkan hakim. Menurut catatan organisasi hak asasi manusia (HAM) Reprieve, jumlah vonis mati justru cenderung meningkat.
"Berdasarkan pemantauan Reprieve, jumlah vonis mati di Indonesia di 2016 setidaknya mencapai 27 vonis, meningkat ke 2017 menjadi 33 vonis, 45 vonis pada tahun 2018, dan 43 vonis pada tahun 2019," ujar peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (10/10).
Merujuk data Reprieve, hingga September 2019, masih terdapat 341 orang terpidana mati yang menanti eksekusi. Sebagian besar masih dalam proses upaya hukum banding dan kasasi.
Rinciannya, 219 terpidana kasus narkotika, 118 terpidana kasus pembunuhan berencana, 1 terpidana kasus kejahatan seksual terhadap anak, dan 3 terpidana kasus terorisme.
Kendati demikian, Maidina mengapresiasi substansi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengubah status terpidana mati menjadi status pidana khusus.
Secara filosofis, Maidina melihat ada upaya komitmen pemerintah dan DPR RI untuk sedikit mengarah pada penghapusan hukuman mati dengan memperkenalkan mekanisme komutasi hukuman mati jika eksekusi tidak dilakukan dalam waktu 10 tahun.
"Namun sayangnya komitmen ini belum sepenuhnya tergambar secara mendetail dalam rumusan RKUHP. Pasal 100 RKUHP (versi paling akhir September 2019), masih menyatakan hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun," ungkapnya.
Maidinia mengatakan, ia dan rekan-rekan aktivis HAM masih berharap vonis mati dan eksekusi dihapuskan. Apalagi, pemerintah juga punya kepentingan untuk menyelamatkan pekerja migran di luar negeri yang terancam hukuman mati.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri per September 2019, dalam waktu kurun lima tahun terakhir, setidaknya ada 297 WNI berhasil dibebaskan dari hukuman mati.
"Di tataran internasional, Indonesia juga mengambil sikap abstain dalam hal resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengenai moratorium hukuman mati di dua tahun terakhir setelah di tahun-tahun sebelumnya menolak resolusi tersebut," jelas dia.
Unfair trial masih marak
Senada, Deputi Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Kanesia mengatakan pemerintah perlu serius menghapuskan hukuman mati dari sistem pidana Indonesia. Pasalnya, masih banyak vonis mati dikeluarkan hakim dilatarbelakangi peradilan yang tidak adil (unfair trial).
Putri mencontohkan masih adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka yang akhirnya divonis mati oleh hakim. Hal itu diketahui KontraS saat mendampingi terhadap para terpidana mati.
"KontraS masih kerap menemui tindakan-tindakan penyiksaan bahkan sejak dilakukan penangkapan. Mereka, para terpidana mati masih dipaksa untuk mengaku melakukan tindakan sebagaimana yang aparat kepolisian tuduhkan ke mereka," ujar dia.
Ketika ditahan, menurut Putri, hak-hak para tersangka dan terpidana mati pun kerap tidak dipenuhi penegak hukum. "Hak-hak terpidana mati tidak dipenuhi, misalnya satu hak atas penerjemah, hak atas kuasa hukum, bahkan sampai melakukan pembelaan. Banyak terpidana mati yang juga memang sejak awal tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan atau menghadirkan saksi-saksi yang meringankan," tuturnya.
Menurut Putri, KontraS pernah memberikan catatan dan data terkait hal itu kepada pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) pada era eksekusi mati jilid III. Namun, hingga kini pemerintah tampaknya belum memperhatikan saran dan kritik dari KontraS.
"Kalau memang negara merasa penting untuk mengakan hukum, bagi kami salah satu upaya untuk mengakkan hukum adalah melakukan evaluasi terhadap vonis-vonis hukuman mati," kata dia.