Indonesia sedang alami krisis transportasi umum dan krisis keselamatan lalu lintas. Saat ini, transportasi umum di perkotaan dan di pedesaan tidak lebih dari 1 persen yang beroperasi. Pesatnya perkembangan industri sepeda motor telah mengalihkan pengguna dari angkutan umum ke sepeda motor. Dampaknya 80 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan sepeda motor, lantaran tidak disertai edukasi menggunakan sepeda motor dengan benar. Belum lagi subsidi BBM yang menggerus APBN.
Pemerintah menggulirkan program insentif kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) pada Maret 2023. Dalihnya, sebagaimana isi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019, meningkatkan efisiensi dan ketahanan energi; konservasi energi sektor transportasi; terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan; serta menekan ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM).
Melalui program ini, pemerintah mengklaim bakal menghemat kompensasi BBM Pertalite Rp32,7 miliar per tahun. Sementara itu, bagi masyarakat, disebut akan menghemat pengeluaran sekitar Rp2,77 juta per tahun.
Adapun program ditujukan kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Seberapa efektif program insentif kendaraan listrik?
Menurut Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, program tersebut tidak efektif. Ada beberapa alasannya.
Pertama, UMKM lebih membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usaha, akses pasar, dan pelatihan SDM daripada sepeda motor listrik. Pangkalnya, mereka umumnya sudah memiliki kendaraan.
"Saat ini, setiap pelaku UMKM sudah memiliki sepeda motor bahkan lebih dari satu motor dalam rumah tangganya. Bahkan, orang yang hidup di kolong jembatan pun sudah memiliki sepeda motor. Jelas tidak tepat sasaran," katanya dalam keterangannya, Minggu (28/5).
Kedua, berbagai negara di Eropa sudah terlebih dahulu mengembangkan industri kendaraan listrik. Namun, di sana tak mengembangkan industri motor listrik lantaran lebih berisiko mengalami kecelakaan dibandingkan mobil serta lebih mengutamakan pengembangan transportasi umum.
"Di mancanegara, transportasi umum sudah bagus, baru kebijakan mobil listrik dibenahi dan bukan target motor listrik. Tidak ada kebijakan sepeda motor seperti di Indonesia," tuturnya.
Ketiga, masyarakat yang bisa membeli kendaraan bermotor adalah kelompok mampu. Dengan demikian, mestinya subsidi ataupun insentif tersebut mestinya tak dikucurkan.
Keempat, insentif pembelian sepeda motor listrik bakal meningkatkan kecelakaan lalu lintas. Sekitar 80% kecelakaan melibatkan sepeda motor.
"Pemerintah harus mampu mengurangi penggunaan sepeda motor yang berlebihan. Jika tidak, dampaknya sudah seperti sekarang," ujarnya.
Menurut Djoko, insentif kendaraan listrik lebih menolong pengusaha daripada masyarakat. Sebab, investor sudah kadung mengucurkan dana besar untuk membangun usahanya hingga berproduksi, tetapi pangsa pasarnya masih kecil.
"Insentif itu jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan. Selain akan menambah kemacetan, juga akan menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat," paparnya.
Bagi dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata ini, tujuan menekan konsumsi BBM dan emisi karbon juga alamat gagal tercapai. Sebab, yang berpotensi terjadi adalah bertambahnya kendaraan pribadi di jalan.
Jika pemerintah ingin tetap mengucurkan program insentif kendaraan listrik, Djoko memberikan beberapa rekomendasi. Misalnya, program menyasar daerah terluar, tertinggal, terdepan, dan pedalaman (3TP).
Dicontohkannya dengan Kabupaten Asmt, Papua Selatan. Dia mengungkapkan, kehadiran kendaraan listrik sejak 2007 membantu mobilitas dan perekonomian setempat karena kesulitan mendapatkan BBM.
"Di daerah 3TP, umumnya jumlah sepeda motor masih sedikit, pasokan BBM juga masih sulit dan minim sehingga harga BBM cenderung mahal. Sementara, energi listrik masih bisa didapatkan dengan lebih murah dan diupayakan dari energi baru," urainya.
Djoko pun menyarankan insentif mobil listrik tak diujukan untuk kendaraan pribadi, tetapi kendaraan dinas pemerintah pusat dan daerah (pemda) agar distribusinya lebih merata. Pun dikucurkan untuk perusahaan angkutan umum.
"Di samping akan mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga dapat memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi kemacetan," tandasnya.