Murahnya nyawa manusia di perlintasan sebidang jalur kereta
Sore itu, delapan pemuda bergantian menutup palang pintu di bagian utara dan selatan perlintasan sebidang—perpotongan antara jalur kereta api dengan jalan—tak jauh dari Stasiun Tanah Tinggi, Tangerang, Banten.
“Sabar. Keretanya udah dekat. Situ mau ketabrak,” kata salah seorang pemuda yang kesal terhadap sopir taksi yang memaksa mau masuk perlintasan.
Lalu lintas perjalanan kereta dari Stasiun Tanah Tinggi termasuk jalur sibuk. Sebab, perlintasan itu adalah rute kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek dan kereta Bandara Soekarno-Hatta.
“Jalur sini sekitar lima menit sekali ada kereta (melintas),” kata seorang pemuda, Randy kepada Alinea.id, Senin (7/3).
Tak heran, perlintasan sebidang sepanjang Stasiun Tanah Tinggi dan Batuceper kerap memakan korban jiwa warga yang tersambar kereta.
“Rata-rata di sini yang kecelakaan motor, biasanya nerobos,” ujar Randy.
Perlintasan sebidang yang ada di antara Stasiun Tanah Tinggi dan Batuceper kebanyakan dibuka tanpa izin oleh warga, sebagai akses jalan antarkampung. Celakanya, perlintasan sebidang itu tak dilengkapi rambu lalu lintas dan pintu perlintasan.
“Paling modal bambu aja buat palang,” tutur Randy.
Waswas menyeberang di perlintasan
Menurut Randy, yang sudah delapan tahun menjaga palang perlintasan, pada 2018 pihak PT KAI pernah ingin menutup perlintasan itu karena dianggap tak layak. Namun, hal itu ditolak warga karena alasan mobilitas. Selain itu, Rendy mengakui, banyak warga setempat yang menjadikan perlintasan itu sebagai sumber penghidupan.
“Ngarep (pemberian uang jasa melintas) dari yang lewat,” kata Randy.
“Yang jagain di sini ganti-gantian, masing-masing dapat jatah dua jam untuk jaga.”
Di beberapa titik perlintasan kereta dari Stasiun Batuceper hingga Tanah Tinggi juga ada yang tanpa penjagaan orang dan rambu petunjuk. Seorang warga Batuceper, Wati, mengaku cuma mengandalkan intuisi dan indera pendengaran bila hendak melintas rel kereta tanpa penjagaan.
“Karena dikasih tembok, kita enggak bisa lihat kereta dari kanan-kiri,” ucap pedagang sayur di Pasar Induk Tanah Tinggi itu, Senin (7/3).
Perlintasan sebidang ilegal juga bisa dijumpai sepanjang perlintasan kereta antara Stasiun Kalideres dan Poris, Tangerang. Idup, seorang penjaga perlintasan sebidang di Kampung Gaga, Kalideres, Jakarta Barat mengaku secara swadaya menjaga perlintasan kereta di lingkungannya.
“Kalau ditutup, warga jauh mau nyeberang,” ujar Idup, Senin (7/3).
“Soalnya warga dari Kampung Asem biasanya sekolah di Kampung Gaga, kasihan bakal muter.”
Ia mengatakan, perlintasan akan dijaga orang dari pukul 05.00 WIB hingga 00.00 WIB. Idup menyebut, sekitar 500 meter dari Stasiun Kalideres ke Poris ada perlintasan sebidang yang dibuka warga, tanpa penjagaan.
Situasi tak kalah semrawut bisa dilihat pula di sepanjang perlintasan kereta dari Stasiun Jakarta Kota ke Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di sini, banyak “pintu” hasil menjebol pagar pembatas, yang dijadikan warga sebagai akses untuk menyeberang rel.
“Karena jauh (kalau jalan), jadi warga pada bobol pagar,” ucap salah seorang warga Kampung Bandan, Jakarta Utara, Pipit, Selasa (8/3).
Menurut Pipit, yang sehari-hari berdagang di sekitar Stasiun Kampung Bandan, pintu-pintu jebolan pagar pembatas itu sudah berulang kali ditutup PT KAI. Sebab, kerap memakan korban. Akan tetapi, warga membukanya lagi.
“Setiap ada kampung-kampung liar berderet, ya di situ banyak gang liar buat nyeberang motor atau pejalan kaki,” kata perempuan asal Solo, Jawa Tengah itu.
Awal 2019, kata Pipit, warga pernah bersitegang dengan pihak PT KAI yang ingin menutup kembali pintu-pintu ilegal. Menurutnya, penutupan tak akan bisa dilakukan selama ada warga yang tinggal di sekitar rel kereta.
“Soalnya kalau ditutup, nyusahin orang yang mau kerja ke ITC Mangga Dua atau tempat lain,” ucapnya.
Kepala Humas PT KAI Daop 1 Jakarta Eva Chairunisa menjelaskan, perlintasan sebidang ilegal bertentangan dengan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Dalam Pasal 91 ayat 1 UU tentang Perkeretaapian disebut, perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang. Sedangkan pasal 91 ayat 2 undang-undang yang sama menyebut, pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan. Eva mengakui, persoalan itu sangat pelik dan belum bisa dituntaskan.
“Bila mengacu undang-undang (Nomor 23 Tahun 2007) itu, perlintasan sebidang tidak boleh ada,” kata Eva, Selasa (8/3).
“Harus dibuatkan flyover, underpass, atau JPO (jembatan penyeberangan orang) oleh pemerintah daerah.”
Sepanjang 2021, Eva menyebut, PT KAI Daop 1 Jakarta sudah menutup sekitar 40 perlintasan sebidang, yang legal maupun ilegal, karena dinilai sudah tak diperlukan.
Sementara pada Januari-Februari 2022, PT KAI bersama Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan pemerintah daerah menutup enam perlintasan sebidang. Selama tahun ini, PT KAI Daop 1 Jakarta merencanakan menutup 67 perlintasan sebidang liar.
Dalam catatan Eva, ada 204 kecelakaan di perlintasan sebidang selama 2021. Sedangkan sepanjang Januari-Februari 2022, ada 27 kecelakaan.
Eva menjelaskan, pembukaan perlintasan sebidang dimungkinkan jika dianggap perlu karena kondisi tertentu. Namun, harus seizin DJKA Kemenhub. Pihak yang menentukan kondisi tertentu di suatu area, jelas Eva, adalah pemerintah daerah.
"Pemda yang tahu masyarakatnya butuh apa untuk beraktivitas,” katanya.
“Jika sewaktu-waktu sudah dibuatkan flyover, pemda harus menutup secara otomatis (perlintasan sebidang)."
Lebih lanjut, Eva mengatakan, bukan perkara gampang menutup perlintasan sebidang ilegal. Alasannya, setelah dilakukan penutupan, selalu muncul perlintasan sebidang baru yang dibuat warga.
“Warga di pinggiran rel kereta api itu kadang meski sudah diberi pagar tinggi, potensi untuk dibukanya perlintasan liar sangat tinggi,” tuturnya.
Peran penting pemda
Sementara itu, Humas DJKA Kemenhub Regina Gultom mengatakan, pihaknya sudah berupaya menutup perlintasan sebidang di seluruh Indonesia. Namun, pekerjaan itu belum sepenuhnya bisa diatasi karena perlu peran aktif pemda.
Regina menyebut, sebenarnya DJKA Kemenhub sudah tak mengeluarkan izin lagi untuk membuka perlintasan sebidang sejak 2013. Meski begitu, pihaknya kewalahan menertibkan perlintasan ilegal yang dibuat warga.
“Tahun 2020 sampai saat ini, sudah cukup banyak (yang ditutup), terutama di kawasan Jabodetabek dan yang sudah dibangun flyover maupun underpass,” kata dia, Senin (7/3).
Menurut Regina, pihaknya pun sudah menyusun program untuk menutup perlintasan sebidang yang ada di jalan nasional, cikal-bakal perlintasan liar (kurang dari dua meter), di jalur lintas double track, dan jalan-jalan wilayah Jabodetabek.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno melihat, kecelakaan bus Harapan Jaya yang disambar kereta Rapih Dhoho di perlintasan sebidang tanpa palang di Desa Kelanon, Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur, Minggu (27/2) merupakan cermin persoalan itu masih dianggap sepele pemda.
Djoko mencatat, saat ini ada 5.051 perlintasan sebidang yang belum ditutup. Sebesar 74% di antaranya tak dijaga, dan kerap menimbulkan kecelakaan yang menyebabkan nyawa melayang.
"Sebesar 85% kecelakaan terjadi pada perlintasan yang tidak dijaga,” katanya, Senin (7/3).
“Rasio kecelakaan fatal 40,47 per 1.000 perlintasan sebidang. Rasio kematian 14,96 per 1.000 perlintasan sebidang.”
Perlintasan sebidang, kata Djoko, terutama menimbulkan korban jiwa warga yang tak tahu seluk-beluk bahaya di daerah tertentu. Ia membeberkan syarat perlintasan sebidang yang bisa dibuat.
Pertama, dibikin jika tak membahayakan dan mengganggu kelancaran kereta api, serta lalu lintas. Kedua, di jalur tunggal dengan frekuensi dan kecepatan kereta api rendah.
Djoko mengatakan, semestinya kepala daerah tanggap melihat potensi kecelakaan di perlintasan sebidang. Menurutnya, pemda cenderung lepas tangan mengatasi problem perlintasan sebidang karena menganggap hal itu tanggung jawab PT KAI dan pemerintah pusat.
“Padahal sesuai kewenangannya, (pemda) melakukan evaluasi secara berkala terhadap perpotongan sebidang,” ucap Djoko.
“(Pemda) dapat menutup perpotongan sebidang tanpa izin yang mengganggu keselamatan, perjalanan kereta api, dan lalu lintas jalan.”
Kemudian, pemda harus menata ulang keberadaan perlintasan sebidang yang dianggap dibutuhkan warga karena kondisi tertentu. Sehingga aman dilintasi.
Ia mendorong pemda, Kemenhub, dan PT KAI memonitoring perlintasan sebidang di berbagai daerah. Berdasarkan pantauannya, banyak pemda tak acuh terhadap bahaya yang mengintai di perlintasan sebidang. Celakanya, ada pula yang membiarkan perlintasan itu tanpa penjagaan.
“Seperti tidak ada yang berinisiatif mengamankan jalur kereta api,” ucapnya.
“(Contohnya) muncul ratusan perlintasan sebidang ilegal baru di Sumatera Barat.”
Djoko mengingatkan, bila pemda, Kemenhub, dan PT KAI tak bekerja sama secara serius, bakal banyak lagi nyawa yang melayang. Terutama di perlintasan yang sedikit perhatian.
"Seperti di Pemkab Tulungagung itu. Daerah itu termasuk parah,” kata dia.