close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seseorang membuat grafiti. Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi seseorang membuat grafiti. Alinea.id/Firgie Saputra.
Nasional
Sabtu, 28 Agustus 2021 16:45

Mural dan grafiti: Keresahan yang dibungkam

Berbagai mural dan grafiti yang menyinggung penanganan pandemi di beberapa tempat, belakangan dihapus oleh aparat.
swipe

Mantan pegiat grafiti, Riyadijoko Prastiyo punya pengalaman pahit kala menggambar di dinding kawasan Senayan, Jakarta pada 2013. Ia tertangkap basah sekuriti.

“Mereka langsung datang. Gue dilingkarin sekitar sebelas satpam. Lalu diajak ke kantor. Tapi, dilepasin di jalan,” ucap Riyadijoko saat dihubungi Alinea.id, Kamis (26/8).

Meski sudah mengalami kejadian itu, ia tak berhenti mengekspresikan seni dengan medium dinding. Ia merasa, mural dan grafiti telah menjadi gaya hidup pegiat seni jalanan.

“Kalau (pegiat seni) underground banget. Tiap malam vandal atau boombing tuh. Di situ hiburannya, dikejar-kejar (aparat),” ucapnya.

Mural dan grafiti jalan terus

Walau sekarang sudah banting setir ke dunia tulis-menulis, Riyadijoko mengikuti isu penghapusan mural dan grafiti di ruang publik oleh aparat, yang belakangan tengah diperbincangkan. Ia jengkel usai membaca rentetan cuit staf khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Faldo Maldini di Twitter.

Pada Jumat (13/8), Faldo menuliskan pendapatnya di Twitter terkait keberadaan mural dan grafiti di ruang publik. Menurut Faldo, mural tak salah kalau ada izin. Jika tak ada izin, berarti melawan hukum.

“Makanya, kami keras. Ada hak orang lain yang diciderai, bayangkan itu kalau tembok kita, yang tanpa izin kita. Orang yang mendukung kesewenang-wenangan harus diingatkan,” tulis Faldo di akun Twitter-nya.

Mural dan grafiti kritik terhadap PPKM di bilangan Ciageg, Cigombong, Bogor, Senin (19/7/2021)./Foto Instagram mural_is_me.

Selain itu, Faldo pun menulis, kritik dan hinaan seperti apa pun tak akan mengurangi motivasi untuk menjawab persoalan pandemi.

Mural “Jokowi 404: Not Found” adalah salah satu yang ditimpa dengan cat hitam oleh aparat pada Jumat (13/8). Mural ini berwujud sebuah gambar wajah Presiden Jokowi, yang matanya tertutup tulisan “404: Not Found” di bawah jembatan layang Jalan Pembangunan 1, Kelurahan Batujaya, Batuceper, Tangerang, Banten.

Di samping “Jokowi 404: Not Found”, beberapa mural dan grafiti di ruang publik yang mengkritik penanganan pandemi juga dihapus atau dicat ulang, seperti “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit” di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur; “Dipenjara karena Lapar” di Kota Tangerang, Banten; “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan” di Ciledug, Tangerang; dan “Tuhan Aku Lapar” di kawasan Tigaraksa, Tangerang.

Paling anyar, pada Rabu (25/8) aparat menghapus mural sosok mirip Presiden Jokowi yang tengah menelepon dan matanya tertutup masker di tembok Jembatan Pasupati, Kota Bandung, Jawa Barat. Polisi juga mencari si pembuat mural.

Bagi Riyadijoko, Faldo menafsirkan seni jalanan secara sempit. Penilaian negatif terhadap kritik melalui seni jalanan yang dilakukan Faldo, dinilai Riyadijoko berlebihan.

“Kami dilabeli sewenang-wenang,” ucap mantan anggota Font Jakarta Culture (FJC) dan Junior Art Squad (JAS) ini.

Riyadijoko mengatakan, mural dan grafiti bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan medium merespons sikap serampangan pemangku kepentingan. Ia menilai, tindakan vandal yang terkesan ilegal justru merupakan akibat dari bakat dan apresiasi yang diabaikan keluarga, lingkungan, institusi pendidikan, serta negara.

“Diberi wadah pun, kalau korupsi dan ketidakadilan masih ada, mural dan grafiti akan terus bertahan dan membesar,” kata dia.

Menurut Riyadijoko, sentimen negatif dan tindakan represif aparat dengan menghapus mural dan grafiti, justru menjadi semangat para pegiat seni jalanan.

“Apalagi kalau anak-anak grafiti yang benar-benar vandal. Ya mereka emang melawan aturan itu,” tutur Riyadijoko.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, saat ini ekosistem bisnis seni jalanan pun sudah terbentuk, seperti munculnya berbagai produk alat untuk gambar. “Setiap graffiti writer atau graffiti artist itu punya brand pakaian,” ujarnya.

“(Ekositem bisnis) bukan satu atau dua tahun sebelum ada kasus ini, tetapi sudah dari awal 2000-an kalau di Jakarta.”

Beberapa waktu lalu, Gejayan Memanggil dan Gejolak Art malah mengadakan lomba bertajuk “Lomba Mural Dibungkam”, sebagai respons penghapusan mural dan grafiti di sejumlah tempat. Salah satu kriteria juri pun terkesan nyeleneh, yakni aparat merespons cepat untuk menghapus hasil karya mural peserta.

Kriteria ini sebagai sindiran dan merespons aparat, yang kerap menghapus mural atau grafiti bernuansa kritik terhadap pemerintah.

“Karena sering dihapus oleh aparat, maka kita memberikan wadah untuk mereka mem-posting karya yang terhapus, agar masyarakat mengetahui,” tutur humas Gejolak Art, Mimin Muralis—nama samaran, Rabu (25/8).

Mimin mengatakan, para pegiat seni jalanan sangat antusias mengikuti lomba yang berlangsung pada 23 hingga 31 Agustus 2021 ini. Ia berharap, lewat lomba ini para pelaku seni jalanan berani mengemukakan ekspresi dalam merespons kondisi sosial-politik.

Grafiti di bilangan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat./Foto Instagram tembokperlawanan_

Tak perlu direspons berlebihan

Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah mengatakan, jika sesuai norma, tak sensitif, dan tak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), mural atau grafiti di wilayahnya tak akan dihapus. Pasalnya, ia menilai hal itu menjadi bagian dari ungkapan ekspresi warga.

Namun, ia menyarankan agar pelaku seni jalanan dapat berkarya dengan nada positif. “Mengingat bangsa ini masih terpuruk karena pandemi Covid-19,” ujarnya, Sabtu (28/8),

Ia pun menyoroti salah satu grafiti yang ada di wilayahnya, yakni “Tuhan aku lapar” di kawasan Tigaraksa, Tangerang. Menurut dia, grafiti itu adalah bentuk munajat warga kepada Tuhan. Akan tetapi, ia menyarankan agar ekspresi itu disampaikan kepada pemerintah.

“Kalau memang enggak punya makanan, kita pemerintah kota siap kok bantu,” tutur Arief.

Ia berharap, warga dapat bersabar dan bijaksana dalam menyiasati kondisi negara di tengah pandemi. Ia menilai, mural motivasi jauh hidup lebih baik dalam merespons situasi pandemi.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto memandang, seni jalanan merupakan bentuk alternatif aspirasi warga yang tak terserap wakil rakyat. Oleh karenanya, penghapusan mural dan grafiti menggambarkan ketidakpekaan terhadap keresahan warga.

“Kita cuma mau protes dan ingin sampaikan rasa putus asa kita, kok juga enggak boleh,”ujarnya, Sabtu (25/8).

“Jadinya itu bukan hanya perkara antikritik, tetapi juga tidak sensitif terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat.”

Bagi Damar, karya seni jalanan juga merupakan ekspresi. Meski begitu, menurutnya, kebebasan berekspresi bisa dibatasi, jika karya tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional.

“Misalnya mengajak orang untuk berperang, mengajarkan kebencian, atau mengganggu keamanan nasional,” ucapnya.

“Di luar itu, sebetulnya tidak perlu dilakukan pembatasan yang berlebihan.”

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra.

Tindakan aparat dalam merespons karya seni jalanan, kata Damar, perlu dikoreksi. Jika tidak, akan tumbuh kesan pemerintah melarang kritik dan mengekang kebebasan berekspresi warga.

“Karena yang melarang itu dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah, akhirnya pemerintah dicap antikritik,” tutur dia.

Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa mengatakan, esensi karya seni jalanan itu memang sebagai bentuk simbol perlawasan terhadap kemapanan. Dengan demikian, menurutnya wajar bila medium berkarya mereka adalah tempat yang merepresentasikan kekuasaan, yakni ruang publik.

Sebagai bentuk penyampaian pesan visual, ujar Igak, baik mural, grafiti, maupun baliho politikus memang melanggar aspek etis dan yuridis. Karena ruang publik harus dirawat semua pihak.

“Jadi, kalau misalnya teman-teman birokrasi, politisi, atau pemerintah berkata itu ruang publik, oh ya benar. Dimensi etis, yuridis, dan legal mereka salah. Itulah konsepsi perlawanan dan yang justru digaungkan,” ucap Igak, Kamis (26/8).

Lebih lanjut, Igak mengatakan, pemerintah tak perlu merespons karya seni jalanan secara berlebihan. Penghapusan dan pencarian pembuat grafiti atau mural, dinilai Igak malah akan menyulut kemarahan publik dan menjadi celah bagi oposisi memanfaatkan momen membentuk citra.

“Itu kan lebih bahaya,” ujar Igak.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan