close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Selasa, 02 November 2021 17:19

Ataturk di antara Sukarno dan Natsir

Sukarno dan Mohammad Natsir pernah berdebat keras soal warisan Mustafa Kemal Ataturk bagi Turki dan dunia Islam.
swipe

Rencana pemerintah Indonesia menamai jalan di depan Kedutaan Besar Turki di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dengan nama Mustafa Kemal Ataturk banjir kritik. Selain dari sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam, protes keras juga diutarakan sejumlah politikus di Senayan. 

Menurut Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas rencana mengabadikan tokoh pembaharu Turki itu sebagai nama jalan bisa memicu keresahan umat Islam di Indonesia. Ia menyebut Ataturk sebagai tokoh yang merugikan dunia Islam. 

"Jadi, Mustafa Kemal Ataturk ini adalah seorang tokoh, yang kalau dilihat dari fatwa MUI, yang pemikirannya sesat dan menyesatkan," ujar Anwar Abbas dalam keterangan pers kepada media di Jakarta, Minggu (17/10).

Ataturk adalah pendiri dan presiden pertama Republik Turki. Saat berkuasa pada periode 1923-1938, Ataturk dikenal sebagai pemimpin yang pro modernisasi dan sekularisasi. Ia, misalnya, mengeluarkan kebijakan mewajibkan pria-pria di Turki mengenakan pakaian Eropa dan melegalkan minuman keras. 

Bagi sebagian besar warga negara Turki, prestasi Ataturk membangun Turki dari puing-puing Kekaisaran Otoman adalah sebuah pencapaian yang sakral. Namun, bagi yang lain, Kemalisme--sebutan untuk nasionalisme versi Ataturk--ialah pembunuh tradisi Islam yang telah berurat-berakar di Turki. 

Niat pemerintah Indonesia mengabadikan Ataturk sebagai nama jalan merupakan bagian dari barter diplomasi. Sebelumnya, pemerintah Turki telah mengizinkan agar nama jalan di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ankara, Turki diberi nama Jalan Ahmet Sukarno.

"Turki setuju memenuhi permintaan kita untuk memberikan nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama bapak proklamasi kita, Ahmet Sukarno. Sesuai tata krama diplomatik, kita akan memberikan nama jalan di Jakarta dengan nama jalan bapak bangsa Turki," kata Dubes RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal. 

Menurut Lalu, pemerintah Turki yang memilih lokasi untuk dan nama jalan yang diinginkan negara tersebut. "Jadi, bukan pemerintah Indonesia dan juga bukan Pemda DKI. Kita masih menunggu usulan namanya," ujar Lalu.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid berharap agar pemerintah Turki tidak memilih Ataturk sebagai nama jalan di Jakarta. Ia menyebut Ataturk sebagai tokoh kontroversial yang bakal memicu kegaduhan jika namanya diabadikan menjadi nama jalan di ibu kota. 

"Karena pastilah pemerintah Turki di bawah (Presiden) Erdogan menghormati Indonesia dan sejarah perjuangan Indonesia yang tidak sekuleristik liberal. Apalagi, anti agama Islam sebagaimana ditampilkan oleh Ataturk," ujar Hidayat. 

Tak semua pihak menolak rencana tukar guling nama jalan itu. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Sunanto menyebut pengabadian Ataturk sebagai nama jalan tak perlu dipersoalkan. Meskipun banyak kebijakannya yang tak disukai, menurut dia, Ataturk merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan Islam di dunia.

"Itu kan bagian dari diplomasi hubungan antarnegara yang memiliki banyak kesamaan dan saling bantu. Apalagi, di Turki ada nama pendiri bangsa kita Bung Karno. Saya kira enggak ada masalah," kata Cak Nanto, sapaan akrab Sunanto, seperti dikutip dari CNN. 

Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk (memegang topi) diabadikan dalam sebuah foto pada 1925. /Foto Wikimedia Commons

Debat Sukarno dan Natsir

Kegaduhan yang muncul karena Ataturk bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Pro dan kontra mengenai "warisan" pemikiran dan jasa Ataturk di dunia Islam bahkan telah berlangsung sebelum Indonesia merdeka. 

Pemicunya adalah serangkaian artikel yang ditulis Sukarno dalam surat kabar mingguan Pandji Islam pada 1940. Dalam artikel-artikel itu, Sukarno memuji gebrakan-gebrakan yang dikeluarkan Ataturk saat memodernisasi Turki. 

“Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau mengatakan bahwa Turki adalah antiagama, anti-Islam,” tulis Sukarno dalam sebuah artikel yang dimuat di salah satu edisi Pandji Islam. 

Pada bagian lain, Sukarno tampak setuju dengan pemisahan antara agama dan negara yang dijalankan Ataturk di Turki. Menurut dia, Islam justru potensial kehilangan pengaruhnya dan tidak akan berkembang jika diurus oleh negara. 

"Umat Islam terikat kaki tangannya dengan rantai kepada politiknya  pemerintah  itu. Hal ini adalah satu halangan yang  besar sekali buat kesuburan Islam di Turki. Dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana. Saat pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ ia menjadi satu halangan," tulis Sukarno.

Menurut Sukarno, pemisahan antara negara dan agama tidak perlu dipersoalkan di suatu negara demokrasi yang mayoritas anggota parlemennya adalah politikus bernafaskan Islam. Ia meyakini produk-produk politik di negara tersebut tidak akan melenceng dari ajaran agama. 

"Maka semua putusan-putusan parlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu produk yang tidak bersifat Islam," tulis sang proklamator. 

Pemikiran-pemikiran Sukarno itu didebat tokoh-tokoh Islam pada era perjuangan kemerdekaan. Salah satu yang paling vokal adalah Mohammad Natsir, tokoh Partai Islam Indonesia yang kelak mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). 

Dalam salah satu artikel di Capita Selekta 1, Natsir menekankan pentingnya penyatuan agama dan negara. Menurut dia, agama tidak bisa sekadar 'dimasukkan di sana-sini ke dalam negara.' Negara, bagi Natsir, bukan tujuan, tapi alat. 

"Yang menjadi tujuan ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu) atau pun sebagai anggota dari masyarakat," tulis Natsir. 

Soal "parlemen yang diisi politikus Islam", Natsir menyebut pemikiran Sukarno itu cenderung menyederhanakan persoalan. Jika ternyata tak diisi politikus-politikus yang salah, ia menyebut, Islam bisa berada dalam bahaya. 

"Kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen itu Islam-nya seperti Kemal Pasya, yakni yang tidak menghargai peraturan-peraturan agama sepeserpun. Apakah yang akan terjadi?" Bagaimana pula kalau sebagian besar atau 100% anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam?" cetus Natsir. 

Perdebatan antara Sukarno dan Natsir terus melebar. Dalam salah satu "sesi", Sukarno menjustifikasi argumentasinya dengan berbasis pada sejarah dunia Islam. Ia berkata, "Tidak ada ijma' ulama yang tentang negara dan agama harus bersatu."

Soal itu, Natsir berkomentar pendapat Sukarno tak objektif. Dengan lihai, Natsir mengatakan ketiadaan kesepakatan-kesepakatan ulama di masa lalu juga bisa diartikan tidak ada larangan untuk menyatukan agama dan negara. 

"Kalau andaikata kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Sukarno akan menerima keputusan ijma ulama itu atau tidak? Atau nanti beliau akan berkata, 'Ya, itu cuma satu ijma ulama, satu gedachte traditie dan bukankah saya bilang semua gedachte traditie itu harus dilempar jauh-jauh'," tutur Natsir. 

Berbeda dengan Sukarno, Natsir juga tak memandang Turki di bawah kuasa Ataturk sebagai sebuah negara demokrasi. Ia bahkan mengibaratkan Ataturk sebagai seorang fuhrer, sebutan yang akrab melekat pada diktator Jerman, Adolf Hitler. 

"Tidak ada kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat...Bahkan, (sastrawan besar Turki) Halida Edib yang sering dikutip Sukarno juga harus kabur dari Turki supaya tidak ditangkap pemerintahan Kemal yang otoriter," kata Natsir. 

Presiden Sukarno (tengah) berfoto didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta (kanan), Mohammad Natsir (kiri), dan para menteri dari Kabinet Natsir. /Foto Wikimedia Commons

Tetap berkarib

Perdebatan panas itu tak bikin persahabatan antara Sukarno dan Natsir retak. Meskipun berbeda pandangan secara tajam, Sukarno dan Natsir sepakat mengutamakan keutuhan Indonesia. Saat menyusun struktur pemerintahan, Sukarno juga kerap melibatkan Natsir. 

Kedekatan antara keduanya terutama terlihat saat Sukarno menunjuk Natsir sebagai formatur kabinet baru pada 22 Agustus 1950. Sekitar sepekan sebelumnya, Sukarno baru saja mengumumkan pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengembalikan Indonesia sebagai negara kesatuan. 

Natsir menerima tugas dari Sukarno itu. Bersama dua pimpinan Masyumi, Sjafrudin Prawiranegara dan K.H Abdul Wahid Hasyim, Natsir berencana yang bikin kabinet yang merepresentasikan semua partai yang ada di parlemen. Itu supaya kabinet mencerminkan persatuan Indonesia. 

Namun, upaya itu terganjal sikap Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai bentukan Sukarno pada 1927 itu selalu berseberangan dengan Natsir cs, mulai dari meminta jatah menteri sebanyak Masyumi hingga menolak bentuk sistem pemerintahan presidensial yang ditawarkan Natsir. 

Putus asa, Natsir kemudian menghadap Sukarno untuk mengembalikan mandat sebagai formatur kabinet. Sukarno menolak keinginan Natsir untuk mundur. Kepada Natsir, ia berjanji ikut turun tangan membujuk para pimpinan PNI untuk berkompromi. 

Meskipun dirayu Sukarno, PNI kukuh tak mau bergabung dengan kabinet yang dibentuk Natsir. Dihadapkan pada dua opsi, Sukarno akhirnya memilih "meninggalkan" PNI dan memberikan dukungan penuh kepada Natsir untuk membentuk kabinet. Pada 6 September 1950, kabinet Natsir diumumkan. 

"Pada masa itu, Saudara Natsir masih tetap jadi favorit Bung Karno," kata Wapres pertama RI Mohamad Hatta dalam "Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan" yang kali pertama terbit pada 1978.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Hubungan keduanya mulai renggang pada akhir 1950-an. Di tengah gejolak politik, Natsir dicap pembangkang setelah menyokong PRRI/Permesta pimpinan Sjafrudin Prawiranegara. PRRI/Permesta mulanya dimaksudkan sebagai gerakan moral untuk menekan Sukarno yang dianggap kian otoriter. 

Karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan itu, Masyumi lantas dibubarkan Sukarno pada 1959. Tiga tahun berselang, Natsir ditangkap. Ia dibui di Malang, Jawa Timur, sebelum akhirnya dibebaskan pada permulaan era Orde Baru pada 26 Juli 1966.

Saat Natsir telah menghirup udara bebas, giliran Sukarno yang jadi "pesakitan". Setelah tragedi berdarah pada 30 September 1965, kekuasaan Sukarno luntur. Pada 1967, ia dilengserkan MPR sebelum akhirnya dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. 

Sama-sama pernah jadi tahanan politik, Natsir mengaku tak pernah menyimpan dendam. Dalam sebuah wawancara yang tayang di Majalah Editor pada 20 Februari 1993, Natsir mengatakan ia dan Sukarno tetap berkarib.

“Kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat," ujar pria kelahiran Solok, Sumatera Barat itu. 

Jika masih hidup, Natsir kemungkinan besar bakal ikut memprotes rencana mengabadikan Ataturk sebagai nama jalan di ibu kota. Di lain sisi, Sukarno bakal dengan senang hati menyambut rencana itu. Keduanya pasti bakal berdebat sengit lagi. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan