close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pekerja lepas industri kreatif kerap mendapatkan perlakuan tak adil dari klien. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Pekerja lepas industri kreatif kerap mendapatkan perlakuan tak adil dari klien. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Rabu, 01 Mei 2019 12:44

Nasib pekerja lepas industri kreatif: Minta cepat, bayar telat

Pekerja industri kreatif freelance kerap diabaikan hak-haknya oleh klien.
swipe

Alfa Gumilang merupakan seorang pekerja lepas (freelancer), yang tinggal di Jakarta Selatan. Pada 2010, ia menanggalkan statusnya sebagai pekerja kantoran. Kini, ia fokus menjadi freelancer, melayani permintaan pembuatan konten media sosial beberapa kliennya, sekaligus sebagai pencatat hasil rapat.

Alfa punya pengalaman pahit terkait keterlambatan honorarium dari perusahaan yang memakai jasanya sebagai notulis. Misalnya, pada Mei 2018, salah satu instansi pemerintah tak segera membayar honorariumnya, meski tugasnya sebagai notulis sudah selesai. Penderitaan Alfa semakin pahit, karena ada jeda masa libur hari raya Idulfitri.

“Akhirnya setelah saya hubungi lagi, honor saya baru dibayarkan dua bulan setelah pekerjaan selesai,” kata Alfa, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (30/4).

Ia lantas berkisah pengalaman pahit lainnya sebagai pekerja lepas. Alfa pernah mengalami keterlambatan menerima bayaran dari agensi periklanan yang menggunakan jasanya sebagai pembuat konten iklan.

“Honor untuk pekerja belum dibayarkan karena si perantara (agensi) belum mendapat uang dari pihak pertama yang memberi pekerjaan (perusahaan),” ujarnya.

Hak-hak terabaikan

Aksi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi. /twitter.com/sindikasi_

Hak-hak buruh dalam sektor industri kreatif, seperti pekerja macam Alfa, memang terbentur segala persoalan yang belum pernah tuntas. Selain aturan kontrak kerja, hak jaminan kesehatan bagi pekerja nihil.

Problem seperti itu cukup sering dialami oleh kebanyakan pekerja lepas di bidang industri kreatif. Ada yang honornya disunat, juga tak dibayarkan sama sekali.

Alfa lantas bergabung dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), sebagai staf divisi komunikasi. Serikat ini mewadahi gerakan advokasi dalam upaya perlindungan hak-hak para pekerja media dan industri kreatif. Alfa menuturkan, masih banyak para pekerja di bidang industri kreatif yang belum memahami hak-hak dasarnya.

Begitu pula terkait sanksi terkait keterlambatan pembayaran upah. Bila telah melewati batas waktu sebulan, bukti pembayaran honor (invoice) tidak disampaikan kepada penerima pekerjaan, perusahaan akan dikenai denda 5% dari nominal honor.

“Hal-hal seperti itu jarang diketahui oleh mereka (pekerja). Regulasi ini tidak diberitahukan. Pengetahuan ini tidak pernah diajarkan atau diberitahukan saat sekolah atau kuliah,” ucapnya.

Alfa mengungkapkan, Sindikasi lantas berupaya menyampaikan informasi mengenai hal itu melalui beragam forum dan program kegiatan mereka, antara lain diskusi antaranggota sebulan sekali, produksi dan publikasi konten informatif terkait hak-hak pekerja melalui media sosial, dan menggelar seminar atau diskusi.

Sementara itu, Fani Farhana, yang bergabung dalam Sindikasi pada Agustus 2017 melihat kecenderungan pola kerja di industri kreatif yang dituntut cepat, tapi kerap membebankan dua atau lebih tanggung jawab pada satu posisi pekerjaan.

“Batasan job description-nya semakin blur. Selain bisa membuat materi iklan, seorang content editor juga dituntut bisa megang posisi content writer dan social media strategist,” kata Fani. “Pekerjaannya jadi rangkap. Ini sudah jadi tren di bidang industri kreatif.”

Selain itu, pengaturan jam kerja di perusahaan industri kreatif kerap melenceng dari jam kerja fleksibel. Menurut Fani, hal ini dipengaruhi struktur dan alur kerja yang tidak sehat. Akibatnya, alih-alih diselesaikan melalui pola jam kerja fleksibel, suatu pekerjaan dikerjakan sampai lembur.

Tekanan pekerjaan seperti waktu tenggat (deadline) yang menuntut kerja lembur itu sesungguhnya berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental.

Alfa Gumilang merupakan seorang pekerja lepas (freelancer), yang tinggal di Jakarta Selatan. Pada 2010, ia menanggalkan statusnya sebagai pekerja kantoran. Kini, ia fokus menjadi freelancer, melayani permintaan pembuatan konten media sosial beberapa kliennya, sekaligus sebagai pencatat hasil rapat.

Alfa punya pengalaman pahit terkait keterlambatan honorarium dari perusahaan yang memakai jasanya sebagai notulis. Misalnya, pada Mei 2018, salah satu instansi pemerintah tak segera membayar honorariumnya, meski tugasnya sebagai notulis sudah selesai. Penderitaan Alfa semakin pahit, karena ada jeda masa libur hari raya Idulfitri.

“Akhirnya setelah saya hubungi lagi, honor saya baru dibayarkan dua bulan setelah pekerjaan selesai,” kata Alfa, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (30/4).

Ia lantas berkisah pengalaman pahit lainnya sebagai pekerja lepas. Alfa pernah mengalami keterlambatan menerima bayaran dari agensi periklanan yang menggunakan jasanya sebagai pembuat konten iklan.

“Honor untuk pekerja belum dibayarkan karena si perantara (agensi) belum mendapat uang dari pihak pertama yang memberi pekerjaan (perusahaan),” ujarnya.

Hak-hak terabaikan

Aksi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi. /twitter.com/sindikasi_

Hak-hak buruh dalam sektor industri kreatif, seperti pekerja macam Alfa, memang terbentur segala persoalan yang belum pernah tuntas. Selain aturan kontrak kerja, hak jaminan kesehatan bagi pekerja nihil.

Problem seperti itu cukup sering dialami oleh kebanyakan pekerja lepas di bidang industri kreatif. Ada yang honornya disunat, juga tak dibayarkan sama sekali.

Alfa lantas bergabung dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), sebagai staf divisi komunikasi. Serikat ini mewadahi gerakan advokasi dalam upaya perlindungan hak-hak para pekerja media dan industri kreatif. Alfa menuturkan, masih banyak para pekerja di bidang industri kreatif yang belum memahami hak-hak dasarnya.

Begitu pula terkait sanksi terkait keterlambatan pembayaran upah. Bila telah melewati batas waktu sebulan, bukti pembayaran honor (invoice) tidak disampaikan kepada penerima pekerjaan, perusahaan akan dikenai denda 5% dari nominal honor.

“Hal-hal seperti itu jarang diketahui oleh mereka (pekerja). Regulasi ini tidak diberitahukan. Pengetahuan ini tidak pernah diajarkan atau diberitahukan saat sekolah atau kuliah,” ucapnya.

Alfa mengungkapkan, Sindikasi lantas berupaya menyampaikan informasi mengenai hal itu melalui beragam forum dan program kegiatan mereka, antara lain diskusi antaranggota sebulan sekali, produksi dan publikasi konten informatif terkait hak-hak pekerja melalui media sosial, dan menggelar seminar atau diskusi.

Sementara itu, Fani Farhana, yang bergabung dalam Sindikasi pada Agustus 2017 melihat kecenderungan pola kerja di industri kreatif yang dituntut cepat, tapi kerap membebankan dua atau lebih tanggung jawab pada satu posisi pekerjaan.

“Batasan job description-nya semakin blur. Selain bisa membuat materi iklan, seorang content editor juga dituntut bisa megang posisi content writer dan social media strategist,” kata Fani. “Pekerjaannya jadi rangkap. Ini sudah jadi tren di bidang industri kreatif.”

Selain itu, pengaturan jam kerja di perusahaan industri kreatif kerap melenceng dari jam kerja fleksibel. Menurut Fani, hal ini dipengaruhi struktur dan alur kerja yang tidak sehat. Akibatnya, alih-alih diselesaikan melalui pola jam kerja fleksibel, suatu pekerjaan dikerjakan sampai lembur.

Tekanan pekerjaan seperti waktu tenggat (deadline) yang menuntut kerja lembur itu sesungguhnya berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental.

Pekerja lepas juga buruh

Terkait hak-hak pekerja kreatif, Fani mengatakan, Sindikasi telah menginisiasi sebuah dengar pendapat dengan perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Aliansi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Sekitar awal April 2019, Sindikasi mengajukan beberapa persoalan untuk memperjuangkan perlindungan pekerja di bidang industri kreatif. Audiensi ini secara khusus mengusulkan kepada Apindo agar lebih memperhatikan hak-hak pekerja di samping kepentingan perusahaan.

“Kami ingin Apindo memikirkan kondisi pekerja di bidang kebudayaan. Apindo kami harapkan mengerti ada masalah-masalah upah, invoice, hak bagi pekerja yang bekerja lembur,” tutur Fani.

Selain itu, audiensi itu pun dilakukan untuk memberi masukan perbaikan aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. UU Pemajuan Kebudayaan, dalam catatan Sindikasi, masih sebatas mengatur urusan makro dalam pemajuan kebudayaan, dan seperti infrastruktur penunjang industri kreatif.

“Tapi undang-undang ini tidak melindungi perlindungan pekerja di industri kreatif,” ujarnya.

Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2019, Sindikasi ingin lebih memperjuangkan kepentingan pekerja lepas. Mengangkat persoalan pekerja di industri kreatif, terutama yang berstatus freelance dipandang urgen, seiring kemajuan industri yang lekat dengan penerapan teknologi digital.

Sekjen Sindikasi Ikhsan Raharjo mengatakan, pesatnya perkembangan penerapan teknologi digital telah membuat lanskap industri kreatif dan media semakin meluas. Tak terkecuali, mekarnya freelancers.

“Ada pekerja freelance yang lebih karena pilihan dia pribadi, tidak mau terikat pada satu perusahaan. Atau klien-klien yang lebih banyak membutuhkan tenaga seperti mereka. Ada tantangan dan kesulitan pekerja freelance yang jarang diungkap. Kami ingin menjadikan isu ini sebagai perubahan konkret. Maka kami advokasi,” tutur Ikhsan, saat dihubungi, Selasa (30/4).

Persoalan lain yang mendera pekerja freelance, sebut Ikhsan, adalah ketiadaan kontrak kerja tertulis. Hal ini rentan memunculkan sengketa di kemudian hari.

Menurut dia, bagi kebanyakan pelaku kerja lepas kontrak kerja dianggap tidak begitu penting. Padahal, dalam bidang industri kreatif, banyak menyertakan persyaratan mengenai hak cipta dan hak kekayaan intelektual.

“Belum ada tradisi atau kesadaran dari para pekerja freelance atas kontrak kerja tertulis setiap mereka memulai sebuah hubungan kerja. Secara regulasi, ini sedang kami kaji, sejauh mana pula negara punya aturan untuk melindungi rekan-rekan freelancers dan hak-haknya,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (30/4).

Sementara itu, Ketua Harian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi menilai, sudah semestinya pemerintah memberi jaminan perlindungan bagi terpenuhinya hak pekerja lepas. Seiring dengan digitalisasi dalam ranah ekonomi dan teknologi, menurut Rusdi, pemerintah harus lebih terbuka untuk juga mengakui status freelancers sebagai buruh.

“Maka mereka harus diberi perlindungan. Misalnya, ada sanksi dan aturan bagi perusahaan yang berelasi dengan para freelancers ini, bagaimana pola kemitraannya dan hubungan kerjanya,” ujarnya.

Selain itu, Rusdi mengharapkan pemerintah memberikan jaminan sosial bagi pekerja freelance, sekurang-kurangnya jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan ini, kata dia, penting lantaran pekerja lepas di bidang industri kreatif tidak terikat pekerjaan setiap hari—sebagaimana pekerja di sektor konvensional lainnya.

Persoalan dan keadilan

Menanggapi segala persoalan hak pekerja kreatif, pengajar advokasi sosial di Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta mengatakan, setidaknya ada dua hal utama yang menjadi perkara.

Pertama, pengupahan yang layak dan adil. Menurut Widyanta, perangkat hukum dan pelayanan birokrasi bagi pemenuhan hak pekerja di sektor industri kreatif masih belum diakomodasi pemerintah secara tegas. Hal ini, kata dia, seharusnya bisa diantisipasi seiring dengan pergerakan zaman, terkait penerapan teknologi digital dalam dunia kerja.

“Pemerintah absen dan kurang mengantisipasi kebijakan terkait undang-undang yang berkekuatan hukum dalam bidang kreatif. Mestinya, ketika pemerintah sudah mencanangkan Industri 4.0, sudah dipikirkan menginisiasi perubahan hak-hak dasar buruh,” kata Widyanta ketika dihubungi, Selasa (30/4).

Kedua, persoalan lain yang tak kalah penting ialah penentuan aturan kontrak kerja dalam sektor industri kreatif secara detail dan teridentifikasi. Alasannya, kata dia, cakupan bidang kerja dalam sektor industri kreatif sangat beragam.

“Perlu ada proses identifikasi dan kategorisasi, dengan kapasitas berpikir besar dan tingkat kecepatan yang baik,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah perlu bersikap tanggap untuk menelurkan kebijakan terkait regulasi penggunaan media teknologi informasi dalam industri, termasuk industri kreatif. Adanya perubahan moda produksi yang sangat cepat karena dukungan teknologi informasi, katanya, harus diikuti intervensi kebijakan pemerintah yang memadai.

“Jika pemerintah masih absen dalam menerapkan kebijakan di sektor itu, jelas membuat korporasi media atau industri kreatif bisa bertindak sewenang-wenang terhadap buruh,” kata dia.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan