Nasib mereka yang disingkirkan BRIN dan penempatan pegawai yang serampangan
Sejak tak lagi bekerja di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), imbas integrasi BPPT ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hasyim—bukan nama sebenarnya—kelimpungan menafkahi keluarganya. Terhitung 1 Januari 2022, ia diberhentikan karena statusnya sebagai pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNPN) alias tenaga honorer.
Bayang-bayang tak dapat membiayai persalinan istrinya yang tengah hamil anak kedua menghantui Hasyim. “Sedih juga kalau kondisinya begini,” ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Senin (24/1).
Pria berusia 32 tahun itu tertekan pula karena ia harus membayar cicilan kredit perumahan rakyat (KPR), yang baru diambil tiga tahun lalu. Dari perhitungannya, uang tabungan yang ada hanya cukup memenuhi kebutuhan harian rumah tangga selama dua bulan ke depan.
“Saya yakin Allah tidak tidur,” ucapnya. “Sampai sekarang tetap usaha, nyari lowongan, bantu orang yang butuh benerin instalasi listrik.”
Berharap direkrut kembali
Beberapa waktu lalu, ketika BRIN membuka lowongan pekerjaan operator alat laboratorium, Hasyim pun melamar ke lembaga yang sudah memecatnya itu. Namun, ia pesimis bakal diterima karena ada syarat pendidikan minimal S1.
“Berat banget buat saya yang lulusan SMA,” tutur Hasyim.
Dari informasi lowongan pekerjaan BRIN, hanya ada enam dari 19 lowongan operator laboratorium yang memberi syarat pendidikan minimal SMA/SMK.
Enam lowongan tersebut, antara lain operator alat laboratorium karakteristik lanjut, laboratorium teknologi polimer, laboratorium teknologi bahan bakar dan rekayasa desain, laboratorium teknologi konversi energi, serta laboratorium teknologi termodinamika motor dan propulsi, yang semuanya ada di Serpong, Tangerang. Satu lagi adalah laboratorium radiasi di Bandung.
Hasyim merasa tak dihargai pengabdiannya. Padahal, ia sudah bekerja di B2TKS BPPT selama sembilan tahun dan memegang sertifikat keahlian, seperti mengoprasikan hidrolik dan analisa kerusakan.
“Dunia kerja di B2TKS, khususnya di (laboratorium) hidrolik itu bahaya,” katanya. “Kalau orang baru, dia enggak tahu (teknis kerjanya), risiko kerjanya lebih tinggi.”
Meski begitu, ia tetap menaruh harapan pada BRIN agar dapat dipekerjakan kembali. Ia mengaku siap ditempatkan di unit kerja lain.
Hermanto—yang sebelumnya bekerja sebagai awak Kapal Riset Baruna Jaya BPPT—menuturkan BRIN telah sewenang-wenang memecat tenaga honorer. Ia merasa, pengabdiannya selama 14 tahun tak dihargai.
“Kalau (saya) pribadi, ngerasa banget dizalimi,” ujarnya, Rabu (26/1).
Hermanto kini masih menganggur. Ia tetap berusaha mengirim lamaran pekerjaan sesuai pengalamannya. Akan tetapi, usianya yang sudah 48 tahun dan hanya berijazah STM membuatnya pesimis.
“Dampaknya memang berat banget buat memenuhi biaya sehari-hari. Diberhentikan dadakan (dari BRIN), enggak ada solusinya untuk PPNPN,” ucap dia.
Hermanto pusing tujuh keliling memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya. Ia punya tiga orang anak, dengan istri yang mengandung anak keempat. Anak pertamanya tengah menempuh pendidikan tinggi di universitas swasta. Di samping itu, ia mesti membayar sewa rumah per bulan.
“Saya kepala keluarga,” tuturnya. “Punya tanggungan.”
Dihubungi terpisah, juru bicara paguyuban PPNPN BPPT, Andika, meminta BRIN untuk mempekerjakan kembali tenaga honorer yang dipecat pada awal 2022. Sebagian besar PPNPN yang dipecat, menurutnya, kesulitan mendapat pekerjaan baru lantaran terkendala usia dan pendidikan.
Andika sedih ketika mengetahui BRIN membuka lowongan pekerjaan dengan syarat pendidikan tinggi. Menurut dia, sebagai representasi pemerintah, seharusnya BRIN menjamin kesejahteraan warga.
“Kenapa di saat (pandemi) Covid-19 seperti ini, dia (BRIN) malah buka lowongan baru, sedangkan pegawai lama disingkirkan,” kata Andika, Rabu (26/1).
Senada dengan Andika, komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyarankan BRIN merekrut tenaga riset honorer yang kadung dipecat.
“Saya belum tahu mekanisme open call (lowongan pekerjaan BRIN) itu posisinya seperti apa,” katanya, Kamis (27/1).
“Tetapi saya berharap, teman-teman (PPNPN) itu jadi prioritas.”
Baginya, prioritas perekrutan mantan PPNPN itu merupakan bentuk tanggung jawab dan penghargaan BRIN atas pengabdian mereka. “Agar ada kesinambungan dan jaminan terhadap masa depan mereka yang sudah mengabdi lama,” tuturnya.
Penempatan pegawai acakadut
Sementara itu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengaku tak punya kewenangan merekrut mantan PPNPN yang terdepak dari lembaga pemerintahan non-kementerian (LPNK).
“Untuk para honorer di (Lembaga) Eijkman, sesuai peraturan kontraknya hanya satu tahun dan itu akan selesai 31 Desember. Seluruh PPNPN seperti itu,” ujar Laksana dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR secara daring, Senin (24/1).
“Seperti kita ketahui bahwa kami (BRIN) memang sudah tidak diizinkan untuk merekrut honorer dengan skema PPNPN.”
Walau demikian, Laksana mengatakan, BRIN tetap membuka diri mempekerjakan tenaga honorer riset dan umum melalui program manajemen talenta nasional. Program ini berlaku bagi mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana.
“Di lain sisi, (program) ini memberi kesempatan kepada mereka (periset honorer) untuk meningkatkan kualifikasinya, sehingga nanti bisa ikut jalur PNS atau P3K (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja), atau skema post-doctoral,” ujarnya.
Di samping nasib tenaga honorer yang tak menentu, penempatan tugas periset berstatus PNS juga ternyata tak keruan. Sumber Alinea.id yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, penetapan tugas pegawai dari pemetaan tahap pertama, tak sesuai aturan yang ada.
Aturan yang dimaksud adalah Keputusan Kepala BRIN No. 59/HK/2021 tentang Pedoman Manajemen Kinerja Pegawai di Lingkungan BRIN. Aturan tersebut menjadi pedoman penilaian kerja pegawai guna menjamin objektivitas pembinaan.
Hanya saja, penempatan tugas pegawai dari hasil pemetaan tahap pertama, diduga tak sesuai dengan aturan pedoman manajemen. Salah satu penugasan yang terindikasi serampangan adalah penempatan tugas koordinator.
Hal itu tercermin dari Keputusan Kepala BRIN No. 437/KP/2021 tentang Penempatan Tahap I Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan BRIN. Berlandaskan keputusan yang diteken Laksana pada 4 Oktober 2021 itu, setidaknya ada 39 dari 4.764 pegawai yang tak memenuhi kualifikasi penugasan berdasarkan pedoman manajemen kinerja.
Sebanyak 39 pegawai berpangkat III/A hingga III/C yang mendapat tugas sebagai koordinator dan subkoordinator tersebar di berbagai biro, di antaranya biro hukum dan kerja sama, biro organisasi dan sumber daya manusia, biro barang milik negara dan pengadaan, direktorat pembinaan jabatan fungsional dan pengembangan profesi, dan direktorat pengelola armada kapal riset.
Sedangkan jika merujuk lampiran pedoman bagian D tentang definisi pada poin 21 dalam Keputusan Kepala BRIN No. 437/KP/2021 tertulis koordinator adalah seseorang yang menduduki jabatan fungsional tingkat ahli madya. Jabatan fungsional tingkat ahli madya itu merupakan golongan IV/A hingga IV/C.
“Sudah pasti melanggar aturan,” ucap sumber Alinea.id, Senin (24/1).
“Orang-orang ini tidak memiliki pengalaman dan kemampuan karena hanya dinilai dari sisi kalau misal itu setingkat dengan eselon III atau jabatan struktural, tidak memiliki kemampuan.”
Dalam dokumen Keputusan Kepala BRIN No. 437/KP/2021 yang didapat Alinea.id, salah satu dari 39 nama yang ada di daftar diketahui kelahiran 1996, baru diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) pada 2019.
Ia berpangkat III/A, dengan penugasan sebagai koordinator layanan kerja sama kawasan multi unit kerja di Pontianak, Bali, Mataram, Biak, Ambon, Kupang, dan Parepare.
“Sekarang, orang-orang yang akan menjadi pimpinan Anda, baru dua tahun saja (bekerja) dan fresh graduate,” ucapnya.
“Anggap dia punya kemampuan memimpin, tetapi apakah enak dipimpin oleh orang yang tidak memiliki pengalaman?”
Menurut sumber Alinea.id, pegawai yang mendapat tugas sebagai koordinator perlu memiliki kemampuan manajerial, budaya sosial, dan kompetensi kerja. Segala kemampuan itu dapat terbentuk dari pengalaman. Ia menilai, kemampuan pegawai golongan III/A hingga III/C sulit terbentuk lantaran minim pengalaman.
“Bila hasilnya (pemetaan pegawai tahap pertama) seperti ini, saya yakin akan ada benturan-benturan,” kata dia.
“Orang yang sangat kapabel, golongan S2, sudah punya pengalaman, tetapi kalah sama orang yang baru masuk.”
Alinea.id sudah berusaha menghubungi pihak BRIN untuk konfirmasi temuan tata kelola pegawai hasil pemetaan tahap pertama. Namun, hingga tulisan ini terbit, tak ada respons untuk melakukan wawancara.