Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, menyebut pemerintah tak bisa melabeli Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok separatis dan teroris (KST).
Label KST tersebut diberikan kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) usai terjadi penembakan yang menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Mayjen anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada Minggu (25/4).
Pasalnya, kata Natalius, Tentara Pembebasan Nasional atau Operasi Papua Merdeka (TPN/OPM) merupakan pejuang pembebasan( freedom fighter) yang ditopang Konvensi Jenewa dan Hukum Humaniter sebagai kombatan dan organisasi yang pernah hadir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Saat ini pun, jelas Natalius, mereka sering hadir di berbagai forum PBB sebagai penentang kejahatan koloni atau dekolonisasi. "Keinginan pemerintah untuk memberi label TPN/OPM sebagai organisasi teroris tidak bisa," kata Natalius kepada Alinea.id, Senin (26/4).
Lebih lanjut Natalius menerangkan, TPN/OPM adalah organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembebasan yang memiliki simbol-simbol negara bangsa (nation state symbols). Pertama, kata Natalius, bendera Bintang Kejora melambangkan cahaya dan sinar kedamaian. Kedua, lambang burung Mambruk sebagai tanda kedamaian.
Kemudian, ketiga, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, merupakan bentuk pemujaan tanah dan air nasionalisme Papua. Keempat, wilayah kartografi Sorong sampai Merauke.
"Kelima, rakyat Papua bangsa Melanesia berkulit hitam. Karena itu TPN/OPM tidak menganut ideologi maut tetapi ideologi kebebasan (freedom fighter)," jelas aktivis HAM asal Papua ini.
Menurut dia, TPN/OPM dari sejarahnya sudah lahir sebelum Indonesia. Bahkan, Bintang Kejora dan persiapan kemerdekaan Papua, katanya, sudah ada sebelum negara Indonesia didirikan pada 1942. Sedangkan Indonesia sendiri, lanjutnya, baru diakui Belanda pada 1948.
"Landasan filosofis maupun tujuan TPN/OPM adalah ideologi pembebasan, bukan menganut ideologi maut. Lahir lebih dahulu dari Republik Indonesia. Bendera Merah Putih lahir (pada) 1944, (sedangkan) Bintang Kejora lahir 1942," terangnya.
Dia menambahkan, TPN/OPM diakui di dunia secara perjuangan dan pembebasan bangsa atau tujuan dekolonisasi, maka legitimasi di dunia pasti tidak dapat. "Saya melihat pelabelan (KST) ini hanya untuk menjustifikasi rasisme dan operasi militer yang kuat yaitu DOM (daerah operasi militer) sebagai jalan cepat genosida terhadap bangsa kulit hitam Papua," pungkasnya.