close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas Trasjakarta memasang pagar beton usai banjir yang melanda sejumlah ruas jalan di Ibu Kota. Foto Antara/Rivan Awal Lingga
icon caption
Petugas Trasjakarta memasang pagar beton usai banjir yang melanda sejumlah ruas jalan di Ibu Kota. Foto Antara/Rivan Awal Lingga
Nasional
Minggu, 05 Januari 2020 17:46

Anggota TGUPP ungkap naturalisasi sungai terkendala mindset normalisasi

Sebagian sistem birokrasi baik di pemerintah daerah dan pusat masih menganut program normalisasi yang pernah diusung oleh Ahok.
swipe

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki pandangan yang berbeda terkait penyebab banjir di Ibu Kota. Basuki mendorong cara normalisasi, sebaliknya Anies menghendaki langkah naturalisasi sungai.

Terkait hal ini, anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Muslim Muin menganggap, salah satu kendala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencegah terjadinya banjir di Jakarta ialah tidak adanya sinkronisasi para pihak untuk menjalankan program naturalisasi sungai.

Menurutnya, sebagian sistem birokrasi baik di pemerintah daerah dan pusat masih menganut program normalisasi yang pernah diusung oleh Basuki Purnama Tjahaja atau Ahok, gubernur sebelum Anies.

"Kendalanya (atasi banjir), bikin waduk masalahnya pembebasan lahan. Terus, birokrasinya sendiri kan mewarisi mindset normalisasi. Jadi, masalahnya di birokrasi. Karena kita diwariskan sistem normalisasi," kata Muslim, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (5/1).

Pakar hidrodinamika Institut Teknologi Bandung itu menyontohkan sikap kurang tanggap pemerintah pusat dalam merawat sejumlah sungai besar yang ada di Jakarta. Sunga-sungai seperti Ciliwung, Cipinang, dan Pesanggrahan di bawah kewenangan pemerintah pusat.

"Wewenang dan kewajibannya ada di pemerintah pusat di Kementrian PUPR. Kalau DKI mau keruk, minta izin dulu ke balai. Balainya mungkin wah manti dulu, kita programnya bukan mengeruk tapi memperlebar," sambungnya.
.
Kendati terkendala birokrasi, Muslim memastikan pihaknya akan terus mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk menjalankan program naturalisasi sungai. Tujuannya untuk menghindari peristiwa bencana banjir seperti Rabu, 1 Januari 2020, lalu.

"Jadi, setelah kejadian ini saya akan tekan birokrasi itu. Pekerja fokus ke naturalisasi," tutur dia.

Tak hanya menggenjot program naturalisasi, Muslim mengatakan, pihaknya tetap mengadopsi sebagian cara normalisasi sungai. Salah satunya, dengan memanfaatkan pompa air untuk mengalirkan air ke laut.

"Jadi kalau di zaman Anies (Baswedan) ini, naturalisasi itu keharusan, normalisasi keterpaksaan. Jadi, tidak semua normalisasi ditolak Pak Anies," ungkap dia.

Melalui naturalisasi, Muslim memprediksi program tersebut sebagai cara efektif untuk menangkal banjir di Ibu Kota. Sebab, naturalisasi sungai akan mengembalikan fungsi air secara alami.

Bahkan naturalisasi, menurut Muslim, akan mengembalikan sifat natural air. 

"Itu kan naturalnya ada yang terperangkap, ditangkap oleh hutan, ada yang digunakan juga oleh penduduk, terus ada yang diresapkan. Yang digunakan kalau airnya di waduk-waduk, kan gitu naturalnya. Itu kita kembalikan seperti itu," urainya.

Saat disinggung peristiwa banjir pada 1 Januari lalu, Muslim mengganggapnya sebagai bencana yang mustahil untuk ditangkal. Pasalnya, curah hujan yang terjadi menunjukan integsitas tertinggi dalam 200 tahun terakhir.

"Ini hujan 200 tahunan, ini bencana. Jadi, negara manapun kalau dikasih hujan seperti ini, kolaps. Karena enggak ada sistem yang dirancang aman untuk hujan 200 tahunan itu, enggak ada. Kalau ada yang seperti itu, artinya kita membuang air besar sekali," katanya.

Menurutnya, salah satu langkah yang harus diperhatikan untuk menghadapi curah hujan seperti itu dengan membuat mitigasi bencana. Dia mengklaim, langkah yang dilakukan oleh DKI Jakarta sudah baik dibanding dua wilayah di pinggir Jakarta, seperti Bekasi dan Tangerang.

"Coba bandingkan dengan Banten, dengan Bekasi. Jangan (yang) dihajar Anies saja," ujar dia.

Adapun cara lain untuk memitigasi dan mencegah bencana banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selain naturalisasi yakni dengan membuat drainase di sejumlah titik. Selanjutnya sistem pompa di masing-masing wilayah administrasi di Jakarta juga harus berfungsi dengan baik.

"Langkah mencegah banjir DKI itu kan drainasenya harus benar, saluran penghubungnya kan harus benar. Pompanya itu harus jalan. Ya pokoknya sistem yang ada di pemda," tandasnya.

Penanganan sampah akibat banjir

Sejak banjir melanda Jakarta, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Andono Warih, memastikan dirinya telah menyiagakan personel untuk menangani sampah pasca banjir. Setidaknya, terdapat 4.000 petugas dari UPK Badan Air dikerahkan untuk mengatasi persoalan sampah.

"Yang disiagakan dalam satgas penanganan sampah di musim penghujan berkekuatan sebanyak 4.000 orang dari UPK Badan Air," kata Andono.

Tak hanya personel, Andono juga menyiagakan sarana untuk mengatasi sampah akibat banjir. Adapun rinciannya, 44 unit mobil pikap angkut sampah, 50 unit truk sampah, 5 unit excavator jenis spider, 6 unit excavator long arm, 20 unit excavator jenis biasa, serta 1 unit excavator liebher.

Hingga kini, pihaknya masih merekap total sampah akibat banjir yang telah ditangani. "Keseluruhan sampah banjir di Jakarta lagi kita rekap ya. Karena kan ini harus menentukan titiknya dari mana," ungkapnya.

Dikabarkan sebelumnya, hujan deras telah mengguyur wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sejak 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020.

Alhasil, sebagian daerah ibukota terendam banjir, dan membuat ribuan warga harys mengungsi. Untuk menanggulangi bencana ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerjunkan 120.000 petugas.

 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Syamsul Anwar Kh
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan