Nestapa honorer yang didepak BRIN: Kerja serabutan, terlilit utang
Saepudin, 43 tahun, tak pernah menyangka eksistensi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bakal membawa malapetaka bagi hidupnya. Tak lagi bekerja karena disingkirkan BRIN sejak akhir tahun lalu, Saepudin saban hari gelisah memikirkan utang dan biaya hidup sehari-hari keluarganya.
“Enggak tahu lagi harus gimana. Kirain enggak bakal (dipecat) begini kalau ada BRIN. Saya merasa salah. Masalahnya, pinjaman ke bank baru kebayar setahun, malah agunannya sertifikat rumah,” ucap pria yang akrab disapa Udin itu saat dihubungi Alinea.id, Kamis (3/2).
Saepudin sebelumnya bekerja sebagai petugas kebersihan di Pusat Teknologi Radiostop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) selama sembilan tahun. Namun, sejak BATAN resmi bergabung dengan BRIN, kontraknya sebagai tenaga honorer tak lagi diperpanjang.
Hilangnya mata pencaharian bikin warga Tangerang Selatan ini was-was. Udin parno rumah petak yang ia miliki disita bank karena utang yang ia pinjam tiga tahun lalu tak bisa dilunasi.
Udin juga pusing tujuh keliling memikirkan pendidikan ketiga anaknya. Sudah dua bulan uang sekolah anak-anaknya--yang tertua duduk di bangku sekolah menengah atas--belum dibayar. “Total bayarannya semua Rp350 ribu per bulan," kata dia.
Sebagai kepala rumah tangga, Udin merasa gagal lantaran hingga kini masih menganggur. Meski ada puluhan lowongan pekerjaan yang tersedia, Udin tak berani melamar. Ia mengaku sudah terlampau tua.
Satu-satunya pekerjaan "tetap" yang sempat ia lamar dibuka oleh BRIN. Bertajuk 'open call' BRIN, mayoritas lowongan pekerjaan mensyaratkan ijazah S-1. Udin yang hanya punya ijazah program pendidikan kesetaraan Paket B atau setara SMP hanya bisa pasrah.
“Saya coba cari tahu lowongan di pabrik-pabrik dekat rumah, tetapi saya enggak lamar. Syarat umurnya itu rata-rata 35 tahun, sedangkan umur saya saja sudah kepala empat,” tutur Udin.
Udin kini bekerja serabutan. Sepanjang Januari, ia dua kali ikut jadi kuli proyek renovasi rumah. Supaya dapur tetap ngebul, istri Udin juga kini ikut berusaha membantu mencari duit dengan jadi asisten rumah tangga panggilan.
“Kalau sudah keadaan kepepet, enggak ada jalan lain (untuk utang). Saya juga bingung. Intinya, saya sudah pasrah saja. Saya serahkan aja sama Allah,” ucap dia.
Nasib serupa dialami Amsar Riyadi, 43 tahun. Sebelum "ditendang" BRIN, ia sudah 27 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Amsar juga kini bekerja serabutan. Teranyar, ia jadi kuli bangunan untuk proyek pembangunan rumah di Tangerang Selatan. Tak pernah bekerja berat, Amsyar mengaku badannya sampai "rontok" saat jadi kuli proyek.
"Ya, mau bagaimana lagi? (Kerja jadi kuli) ini kan untuk sambung hidup juga. Daripada saya di rumah saja, enggak betah. Yang tadinya kerja, sekarang harus nganggur,” ucap Amsar kepada Alinea.id, Kamis (3/2).
Seperti Udin, Amsar juga tak pernah menyangka eksistensi BRIN membawa bencana bagi hidupnya. Saat wacana integrasi BRIN dan lembaga riset bergaung, Amsar malah sempat berharap ia kian sejahtera. Ia sempat bermimpi naik gaji dan bisa menabung untuk menghadapi masa tua.
"Eh, malah dipecat. Padahal, saya sudah punya target kalau kerja di BRIN. Targetnya mau nabung untuk keperluan sekolah, uang masa tua. Eh, ternyata bukan milik, bukan rezekinya. Ya, namanya juga ujian kali, ya. Mungkin bukan milik saya,” imbuh Amsar.
Menurut Amsar, duit honor jadi kuli bangunan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Meski tak punya pekerjaan tetap, Amsar masih bersyukur ia masih bisa menghasilkan duit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saya yakin Allah tidak tidur. Intinya kerja keras. Mau kerja apa juga, saya jalanin. Yang penting kalau anak minta jajan, saya ada (pegangan uang),” tutur dia.
Imbas reorganisasi
BATAN satu dari empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) yang dimandatkan bergabung dengan BRIN sesuai bunyi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2021 tentang BRIN. Selain BATAN, LPNK yang telah "diakuisisi" ialah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Sejak akhir tahun lalu, BRIN tak lagi memperpanjang kontrak pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNPN) alias tenaga honorer yang selama ini bekerja di LPNK riset. Selain pegawai kecil, peneliti dan perekayasa berstatus kontrak pun diberhentikan per Januari 2022.
"Kami (BRIN) memang sudah tidak diizinkan untuk merekrut pegawai honorer dengan skema PPNPN," ujar Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (24/1).
BRIN tetap membuka peluang mempekerjakan kembali tenaga honorer riset dan umum melalui program manajemen talenta nasional. Namun, program ini utamanya dibuka bagi mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana strata 1 (S-1).
Dalam info lowongan kerja teranyar BRIN, misalnya, tercatat hanya 6 dari 19 lowongan operator laboratorium bersyarat pendidikan minimal SMA/SMK, yakni untuk operator alat laboratorium karakteristik lanjut, laboratorium teknologi polimer, laboratorium teknologi bahan bakar dan rekayasa desain, laboratorium teknologi konversi energi, serta laboratorium teknologi termodinamika motor dan propulsi.
Terbatasnya lowongan pekerjaan yang dibuka BRIN dikeluhkan Wawan, eks anak buah kapal (ABK) di salah satu kapal riset Baruna Jaya. Baruna Jaya ialah nama kapal-kapal riset yang sebelumnya dikelola oleh Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT dan LIPI.
“Saya sudah tarik nafas lihatnya (lowongan BRIN). Untuk BRIN, karena kita orang lama yang tahu seluk-beluk kapal, kalau bisa dipekerjakan kembali, kita sangat berharap itu,” ujar Wawan saat dihubungi Alinea.id, Senin (31/1).
Wawan ialah satu dari 33 eks ABK Baruna Jaya yang tak diperpanjang kontraknya oleh BRIN per 1 Januari 2022. Wawan kini menganggur. Ia mengaku masih berharap bisa kembali jadi ABK di kapal riset yang kini dikelola BRIN itu.
“Kemarin sempat dibilangin akan ditarik lagi (oleh BRIN). Katanya, masih nunggu pihak swasta. Ada kemungkinan bakal ditarik jadi outsourcing. Makanya, saya siap-siap saja. Enggak nyari pekerjaan lain, takut ditarik lagi,” tutur Wawan,
Saat dipecat, Wawan dan kawan-kawan tak dapat pesangon lantaran berstatus honorer. Wawan kini tak punya pemasukan sama sekali. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, ia mengandalkan sisa gaji yang tersimpan di tabungan.
“Kebetulan saya tinggal dekat kakak saya. Kadang kakak saya bantu. Keluarga di kampung juga nawarin bantuan uang sedikit untuk makan. Tetapi, saya enggak mau karena masih ada sisa gaji kemarin. Ke depan, enggak tahu. Masalahnya sisa gaji juga tinggal sedikit," ujar pria berusia 41 tahun itu.
Wawan berharap BRIN segera membuka lowongan pekerjaan untuk awak kapal Baruna Jaya. Pria yang sudah 17 tahun jadi pelaut itu khawatir peralatan dan fasilitas di kapal Baruna Jaya rusak karena tidak ada petugas yang merawat.
“Ya, saya dengar info sih sekarang sudah enggak terawat (kapal). Kalau ada kita, pulang berlayar itu selalu kita bersihin, cat, cuci. Sekarang, saya yakin pasti banyak (bagian kapal) yang karatan,” terangnya.
Minta direkrut kembali
Ardiansyah, eks petugas administrasi BATAN berusia 28 tahun, berharap BRIN kembali merekrut tenaga honorer yang sebelumnya diberhentikan. Ia terutama bersimpati pada nasib sebagian rekan kerjanya yang sudah tak lagi tergolong muda.
“Kalau bisa, ditarik kembali kita-kita (PPNPN) karena kan mencari pekerjaan di umur tua itu susah banget ya. Kita saja yang muda susah,” ujar pria yang akrab disapa Ardi itu saat dihubungi Alinea.id, Senin (31/1).
Ardi sudah empat tahun jadi pegawai honorer di BATAN. Selama bekerja, ia mengklaim tak pernah punya persoalan terkait kinerja. Karena itu, Ardi kaget saat tiba-tiba diberhentikan. Namun, ia pasrah menerima nasib.
“Kalau menyalahkan, kita siapa sih? Didengar juga enggak. Akhirnya, jadi kesel doang. Kalau kecewa sih, sudah pasti. Kita sudah lumayan lama kerja di sini (BATAN), dan tidak ada masalah juga, tetapi tiba-tiba di-cut,” ujarnya.
Meski kecewa, ia berharap BRIN masih membuka pintu bagi eks honorer LPNK riset yang kini telah dilebur ke lembaga tersebut. Di luar alasan kemanusiaan, Ardi meyakini mayoritas eks PPNK di LPNK juga berkinerja baik.
“Mereka harusnya bisa mengerti sekarang kondisinya Covid-19, ekonomi juga lagi susah. Mereka (BRIN) malah menciptakan pengangguran, bukan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran,” tuturnya.
Pernyataan serupa diungkap Hisyam, nama samaran salah satu eks tenaga honorer di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT. Menurut dia, BRIN bakal lebih untuk jika memanggil tenaga honorer yang sebelumnya bekerja di LPNK ketimbang merekrut wajah-wajah baru.
“Jadi, kenapa enggak dipertahankan saja yang lama? Kenapa harus manggil (buka rekrutmen) pegawai baru? Sedangkan yang baru, setahu saya itu harus ikut pelatihan lagi,” ucap Hisyam saat dihubungi Alinea.id, Senin (24/1).
Sebelum diberhentikan, Hisyam sudah sembilan tahun bekerja di B2TKS BPPT. Meski hanya berijazah SMA, Hisyam memegang sejumlah sertifikat keahlian, semisal mengoperasikan hidrolik dan analisis kerusakan peralatan.
“Saat (pandemi) begini, usia sudah mentok, pendidikan terakhir juga SMA, masa abdi kerja juga sudah di atas lima tahun. Saya enggak nuntut macam-macam, cuma inginnya dipekerjakan kembali,” ujar pria berusia 32 tahun itu.