close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pekerja migran Indonesia. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi pekerja migran Indonesia. Alinea.id/Aisya Kurnia
Nasional
Minggu, 27 Agustus 2023 06:09

Nestapa pekerja migran yang tercekik biaya penempatan

Pekerja migran Indonesia, terutama di Taiwan dan Hong Kong, harus menanggung biaya penempatan kerja yang tak sedikit.
swipe

Sejak kehilangan pekerjaan, Ratih—bukan nama sebenarnya—yang sudah berhari-hari tinggal di penampungan pekerja migran Indonesia di Taiwan merasa tak bergairah lagi menjalani hidup. Nasib buruk menimpanya karena ada ancaman dari agen dan majikan. Hal itu membuatnya sejenak mengasingkan diri ke tempat penampungan.

“Sejak bulan enam (Juni) saya sudah tidak bekerja karena kabur dari (rumah) majikan. Saya juga masih ada utang tiga bulan lagi setoran biaya penempatan,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (21/8).

Ratih masih mencari tempat kerja baru. Ia punya kewajiban melunasi biaya penempatan yang dibebani oleh perusahaan penyalur tenaga kerja.

Malang-melintang terlilit utang

Perempuan asal Tangerang, Banten itu datang ke Taiwan pada 27 November 2022, berniat memperbaiki keadaan ekonominya yang morat-marit. Karena tak punya cukup dana bekerja ke Taiwan, Ratih memutuskan menggunakan jasa perusahaan penyalur tenaga kerja yang ada di Bekasi.

Perusahaan tersebut mematok biaya penempatan kerja Rp4,6 juta, yang bisa dibayar tunai atau dicicil selama delapan bulan. Lantaran tak punya uang, ia memilih skema pemotongan gaji. Di Taiwan, ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang mengurus manula.

“Saya bayar ke PT (perusahaan penyalur tenaga kerja) 9.274 NT$ (new Taiwan dollar/mata uang Taiwan), setara dengan Rp4.637.00 selama delapan bulan. Jadi, total Rp37.096.000,” ucap Ratih.

Sejumlah pekerja migran Indonesia dari Malaysia yang dideportasi menerapkan jaga jarak dengan duduk berbaris untuk menjalani pendataan di PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (23/4/2020)./Foto Antara/Agus Alfian

“Saya juga masih harus bayar agensi setiap bulannya NT$1.800 atau setara Rp900.000 setiap bulan, selama kerja di Taiwan. Sementara gaji saya NT$20.000, setara Rp9.500.000. Jadi, saya menerima gaji sedikit sekali.”

Potongan yang tak sepadan membuat Ratih serba kekurangan. Bahkan, ia sering kehabisan uang sebelum menerima gaji. Selain pemotongan gaji setiap bulan, dokumen penting, seperti akte kelahiran, kartu keluarga, ijazah, dan KTP ditahan pihak penyalur tenaga kerja sebagai jaminan.

Ratih pun mengaku, sering kali bekerja melampaui tanggung jawab yang ia emban. Misalnya, membersihkan rumah enam lantai dan memberi makan anjing. Ia kerap bekerja melebihi batas waktu yang sudah disepakati dengan majikan.

“Saya bekerja dari jam 06.30 sampai jam 11 malam. Saya istirahat hanya makan. Selesai makan, langsung kerja kembali, sampai saya kelelahan dan terjatuh dari tangga. Akhirnya, majikan tidak mau mempekerjakan saya lagi,” ucap Ratih.

Tatkala tulang belakangnya bermasalah akibat beban kerja berlebih, ia dilarikan ke rumah sakit. Celakanya, tak ada jaminan asuransi kesehatan dari majikan, sehingga harus menanggung biaya pengobatan sendiri.

“Agen yang membawa saya berobat, tetapi (saya) dimarahin majikan, agensi, dan pihak PT. Majikan memulangkan saya ke agen dengan keadaan sakit,” katanya.

“Sebelum saya sampai di penampungan ini, saya harus kabur dari agen saya yang kejam. Akhirnya, ada yang menolong saya di tempat penampungan.”

Ratih masih “diburu” agensi untuk melunasi biaya penempatan kerja. Sedangkan ia kehabisan uang dan kondisi tulang belakangnya tak kunjung membaik.

Sepengetahuannya, sangat banyak pekerja migran Indonesia yang juga terlilit biaya penempatan kerja di Taiwan. Namun, tak bisa protes lantaran takut dipulangkan dan dikenai denda yang tak sedikit.

“Bisa sampai Rp50 juta atau lebih dendanya, tergantung agen dan majikannya,” ucap dia.

Belakangan, ia baru sadar. Semestinya, ia tak harus menerima nasib terlilit utang biaya penempatan kerja, bila aturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 09 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia, benar-benar diterapkan. Dalam beleid itu, tak ada biaya penempatan kerja.

“Pada faktanya, tetap saja kami harus membayar biaya penempatan kerja. Kenyataannya, aturan ini di Taiwan tidak berlaku,” tuturnya.

Senasib, Berlian—bukan nama sebenarnya—pekerja migran asal Lampung Timur yang bekerja di Taiwan juga terlilit utang biaya penempatan kerja. Saat ini, Berlian sedang berada di rumah perlindungan pekerja migran di Taiwan. Ia lari dari rumah majikan lantaran tak tahan diperlakukan kasar dan upahnya sebagai pekerja rumah tangga tergolong kecil.

“Biaya yang harus saya setor itu NT$12.748 atau setara Rp6.200.000 selama lima bulan. Setelah itu, ada lagi NT$6.743 setara Rp3.227.000 selama dua bulan,” katanya, Senin (21/8).

“Sementara gaji pokok saya NT$20.000 atau Rp9.500.000. Kalau dipotong, sisa sedikit gaji saya.”

Bahkan, ia mengaku, hanya mengantongi uang NT$1.500 dari total gajinya yang NT$20.000 karena terpotong utang biaya penempatan dan embel-embel, seperti alien resident certificate (ARC/kartu identitas) dan asuransi kesehatan, dari pihak agensi di Taiwan.

Berlian mulai bekerja di Taiwan pada 18 Februari 2023. Ia menjadi asisten rumah tangga yang merawat manula. Namun, ia diperlakukan mirip budak yang bisa diperintah apa pun, seperti memasak, mengurus anak, mencuci pakaian, mencuci mobil, hingga membersihkan gudang dan area pabrik.

“Saya merasa majikan sudah melanggar aturan pemerintah, jadi saya minta bantuan kepada Ganas Community (Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas), sehingga saya sekarang tinggal dan dibantu pihak shelter,” ucapnya.

“Sampai sekarang, majikan saya belum mau melepas saya. Saya dipaksa oleh Depnaker, jika tidak mau pulang ke rumah majikan, saya akan dipulangkan ke Indonesia.”

Berlian sudah tak bekerja lagi sejak 27 April 2023. Ia sempat pula diperkarakan oleh majikan dan agensi karena dituding merekam tanpa izin percakapan agensi dan majikannya.

“Polisi tidak menganggap saya bersalah karena tidak saya posting di media sosial, tetapi pihak Depnaker sana (Taiwan) malah membela majikan,” tuturnya.

Ia tengah mempersiapkan gugatan untuk menuntut majikan dan agensi yang memeras keringatnya secara tak adil ke pengadilan di Taiwan. “Saya berusaha menuntut hak saya di Taiwan,” kata dia.

Sejumlah WNI antre untuk mendaftar ketika proses repatriasi pekerja migran Indoonesia di Bandar Udara Internasional Colombo, Sri Lanka, Jumat (24/4/2020)./Foto Antara/Lutfi Andaru

Senada dengan pengakuan Ratih, menurut Berlian, banyak pekerja migran Indonesia di Taiwan yang terjebak lingkaran setan biaya penempatan. Akhirnya, berkutat pada masalah utang dan praktik perbudakan.

“Dari PT dan derah yang sama (dengan) saya ada empat orang. Dari daerah dan negara lainnya ada 21 orang. Orang Indonesia-nya 15, dulu sampai 40 orang,” ujarnya.

Persoalan serupa pun dialami pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Narsih—nama samaran—asal Cilacap, Jawa Tengah yang bekerja di Hong Kong mengatakan, beban biaya penempatan tergolong tinggi. Ia harus menerima potongan sebesar 2.533 dollar Hong Kong (HKD) selama lima bulan untuk mengganti biaya penempatan.

“Sementara gaji saya 4.630 dollar Hong Kong. Jadi, setengahnya gaji saya untuk bayar biaya penempatan,” ujar Narsih, Senin (21/8).

Akan tetapi, perempuan yang mulai bekerja di Hong Kong sejak 18 September 2022 itu mengaku beruntung. Ia mendapat majikan yang memahami kondisinya, yang dililit utang biaya penempatan oleh agensi. Sebagian utangnya itu dibayar majikan.

“Sekarang sudah lunas biaya penempatan saya," ucap Narsih.

Meski begitu, ia menuturkan, banyak rekannya yang bernasib malang karena masih mengalami pemotongan yang cukup besar. Apalagi yang mendapat beban kerja terlampau berat dari majikan.

"Masalah buruh migran di sini itu, ya soal biaya penempatan. Padahal harusnya sudah tidak ada," kata Narsih.

Alinea.id sudah berusaha meminta penjelasan mengenai pekerja migran Indonesia yang masih dibebani biaya penempatan kerja di luar negeri kepada Kepala BP2MI Benny Ramdhani. Namun, yang bersangkutan belum bisa memberikan penjelasannya.

Memutus lingkaran setan biaya penempatan

Menurut Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen, praktik biaya penempatan masih terjadi karena negara belum serius menghapusnya, sehingga pihak penyalur tenaga kerja masih mengambil celah menarik biaya. Walau sudah ada UU 18/2017 dan Peraturan BP2MI No.09/2020.

Kendati sudah ada aturan baru, pada praktiknya di lapangan masih mencerminkan aturan lama. Soalnya, kata dia, BP2MI tidak menyertai perjanjian antara dua negara untuk memperkuat kerja sama pemenuhan tenaga kerja.

Karsiwen mengatakan, pemerintah lupa bila lapangan kerja yang tersedia di sebuah negara pasti terbatas. Maka, pekerja migran yang ingin mendapat kerja di luar negeri, akhirnya berusaha menggunakan jasa penyalur kerja, yang imbasnya dikenai biaya penempatan.

“Di undang-undang PPMI (UU 18/2017) itu bisa kontrak mandiri. Tapi kenyataannya, khusus yang Taiwan dan Jepang, kuotanya per tahun cuma 300,” ujarnya, Selasa (22/8).

“Sementara (pekerja) migran yang mau pergi ke sana (jumlahnya) ribuan. Jadi, enggak bisa melalui negara, ya akhirnya orang melalui PT swasta, mereka membayar.”

  Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melepas 503 pekerja migran Indonesia dalam program Government to Government (G to G) Korea Selatan di Hotel El Royale, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (3/4/2023)./Foto humas BP2MI/bp2mi.go.id

Bagi Karsiwen, praktik yang terjadi di perusahaan penyalur tenaga kerja masih mirip jual-beli pekerjaan dan perdagangan orang terselubung. Biaya penempatan persis praktik calo yang mengambil untung dari jerih payah orang lain, bukan uang ganti akomodasi.

“Di Taiwan itu, yang kami temukan, ada yang hampir Rp100 juta biaya penempatannya,” ucap Karsiwen.

“Dua pihak, PT dan agensi, ingin mendapat untung. Jadi, makin banyak yang dibebankan ke pekerja itu, mereka bagi-bagi hasilnya.”

Makin celakanya, BP2MI bukan sigap menghapus biaya penempatan, malah menyusun skema peminjaman lewat kredit usaha rakyat (KUR) perbankan untuk biaya penempatan kerja, seperti yang dirancang melalui Keputusan Kepala BP2MI Nomor 101 Tahun 2022 tentang Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Padahal, menurut Karsiwen, itu sama saja membebani pekerja migran.

“Praktiknya, semisal saya PMI (pekerja migran Indonesai) mau ke Hong Kong. Saya disuruh utang bank. Terus, uang itu tidak saya terima sekali. Tapi, uang itu yang mengambil PT atas nama untuk mengganti pengurusan saya berangkat ke luar negeri,” katanya.

“Itu bukan solusi. Itu sama saja, sebenarnya pemerintah ingin mendapat keuntungan dari peminjaman uang.”

Karsiwen bilang, lebih baik pemerintah memperbarui nota kesepahaman dengan negara penempatan pekerja migran untuk menghapus biaya penempatan. “Misalnya dengan Hong Kong dan Taiwan,” ujarnya.

Terpisah, peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany menjelaskan, persoalan biaya penempatan terjadi karena aturan yang saling tumpang tindih.

Ia melihat, pada aturan UU 18/2017 mengisyaratkan perlunya pembebasan biaya penempatan pekerja migran. Namun, BP2MI malah menerbitkan Peraturan BP2MI Nomor 09/2020, yang mengatur pembayaran biaya penempatan.

“Perlu dikaji dan direvisi ulang UU No.18/2017 dengan Peraturan BP2MI No. 09 Tahun 2020,” ucap Andy, Selasa (22/8).

Andy menduga, biaya penempatan yang mencakup uang akomodasi, administrasi, pemeriksaan kesehatan, dan pelatihan, banyak yang dimainkan pihak swasta, sehingga biaya penempatan membengkak.

"Dalam praktik di lapangan, ada penyimpangan. Pihak pemberi kerja membebankan biaya-biaya tersebut kepada pekerja," ujar Andy.

Sementara, pemerintah daerah yang seharusnya menanggung biaya kompetensi dan sertifikasi juga acuh tak acuh. "Beban ini tidak jarang harus dibayar dulu oleh pekerja," ucapnya.

Andy yakin ada pihak yang tak ingin biaya penempatan dihapus. Sebab, perputaran uangnya sangat fantastis dan menggiurkan.

“Taruhlah biaya penempatan tersebut per PMI Rp32 juta, dengan jumlah PMI 170.000 orang. Angka yang fantastis,” kata Andy.

Senada dengan Karsiwen, Andy berpikir, seharusnya biaya penempatan diteken melalui nota kesepahaman dengan negara penempatan buruh migran. Walau, ia mengakui, nilai tawar pekerja migran Indonesia masih relatif rendah.

Infografik pekerja migran. Alinea/Aisya Kurnia

“Dalam penyusunan nota kesepahaman, misal dengan Taiwan atau Hong Kong, apakah sudah tegas masalah biaya rekrut dari majikan?” tuturnya.

Skema kesepahaman antarpemerintah harus lebih digencarkan untuk menekan pembebasan biaya penempatan. Sebab, hal itu yang paling menentukan.

“Gaji PMI yang bertahun-tahun tidak naik-naik dan agency fee (biaya penempatan) tadi, harus beres pada saat penyusunan nota kesepahaman. Dan diawasi pada saat implementasi di lapangannya,” kata dia.

Upaya itu harus dibarengi dengan pengawasan pemberangkatan pekerja migran di beberapa daerah. Alasannya, masih ada praktik pemberangkatan yang tidak transparan di daerah.

“Akhirnya menyebabkan pengeluaran calon PMI membengkak,” ujar Andy.

Lebih lanjut, ia menekankan, BP2MI juga harus berani bersikap bila majikan di negara penempatan yang semestinya menjamin biaya tersebut. Menurut dia, sikap yang menaikkan nilai tawar itu penting agar prinsip saling membutuhkan bisa tercapai dan tak ada lagi pekerja migran yang terlilit utang atau dibayar murah.

“Prinsip saling membutuhkan harus dikedepankan. Kita bisa menyetop pengiriman PMI,” katanya. “Taiwan sudah berhasil menaikkan gaji PMI yang sudah bertahun-tahun tidak naik-naik, serta pembebasan biaya penempatan untuk sektor domestik.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan