Nestapa peneliti di tengah 'cekaknya' anggaran riset BRIN
Semenjak beralih status menjadi peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada akhir 2021, Poltak Partogi merasa kian sulit untuk "serius" menjalankan riset. Berbeda dengan saat masih bekerja di DPR, menurut Partogi, anggaran yang dialokasikan BRIN terlampau kecil untuk menghasilkan sebuah penelitian yang komprehensif.
"Kalau dulu, kami sudah ada anggaran tiap tahun yang dialokasikan untuk riset-riset mendukung legislasi. Riset kami mengikuti prioritas legislasi nasional. Mana yang lebih mendesak, harus kami lebih dulu utamakan," kata Partogi kepada Alinea.id, Kamis (24/11).
Sejak lama Partogi berpeluh dengan riset-riset yang terkait erat dengan target program legislasi nasional DPR. Ia bercerita banyak hasil risetnya yang menjadi cikal bakal produk-produk legislasi yang disahkan DPR.
Di DPR, menurut Partogi, sokongan dana untuk penelitian terbilang sangat ideal. Ia pun bisa memilih metodologi terbaik untuk riset. Namun, situasinya berubah saat Partogi bekerja di BRIN. Lantaran anggaran riset terbatas, Partogi bahkan kerap harus berpuas dengan perolehan data yang seadanya.
"Semisal, yang semula kami mesti mendatangi tiga tempat, jadi hanya satu tempat saja karena dananya tidak cukup. Data yang kami dapat tidak cukup untuk menghasilkan riset yang berkualitas. Anggaran riset yang diberikan begitu kecil," ujar Partogi.
Tak hanya terbatas, menurut Partogi, anggaran riset yang dialokasikan BRIN juga kerap datang terlambat. Itu membuat skema riset yang direncanakan Partogi terkendala. "Akhirnya, waktu penelitian molor," imbuhnya.
Kendala-kendala itu bikin Partogi berada dalam situasi dilematis. Pasalnya, sebagai peneliti BRIN, Partogi dituntut untuk menghasilkan riset yang harus tayang di jurnal internasional. Kelalaian menunaikan kewajiban itu bisa berdampak buruk terhadap kinerjanya sebagai peneliti.
"Dulu, saya bisa menghasilkan dua hasil penelitian. Tetapi, sekarang dengan anggaran yang tidak memadai, hingga berdampak buruk kepada metodologi, sulit untuk menghasilkan penelitian yang bagus. Kami malu kalau hasilnya tidak optimal, tapi diterbitkan di jurnal internasional," ucap Partogi.
Keluhan serupa diungkapkan Riris Katharina, rekan Partogi di Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN. Tanpa merinci jumlahnya, ia mengaku sulit untuk menjalankan riset yang ideal dengan anggaran yang diberikan BRIN.
"Bayangkan saja arah riset yang semestinya dilakukan ke beberapa daerah, akhirnya dipaksa hanya satu daerah. Tentu tidak akan memperoleh data yang cukup kuat," ucap Riris kepada Alinea.id, Kamis (24/11).
Anggaran riset bagi peneliti, menurut Riris, cenderung dikendalikan pimpinan BRIN secara top-down atau dari atas ke bawah. Proposal riset beserta anggaran yang diajukan lazimnya ditentukan pemimpin BRIN tanpa diskusi dengan peneliti. Anggaran yang dikabulkan kerap tidak sepadan dengan beban riset yang harus dikerjakan peneliti.
Minimnya dana riset, lanjut Riris, bikin para peneliti BRIN terpaksa mengeluarkan duit dari kocek sendiri. "Saya pernah naik pesawat dan penginapan bayar sendiri. Saya sudah tanyakan ke Sestama BRIN (soal reimburse), tapi tidak dapat jawaban yang jelas," kata eks peneliti DPR itu.
Berkaca dari pengalamannya sebagai peneliti di DPR, Riris merasa tata kelola anggaran riset di BRIN sangat semerawut. Dalam kondisi seperti itu, Riris merasa mustahil menghasilkan riset berkualitas.
"Kondisi ini tentu mengancam integritas kami dan reputasi kami sebagai peneliti. Mau meneliti, tapi dana minim. Tetapi, bila penelitian tidak dikerjakan, kami dapat sanksi," ujar Riris.
Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Ekonomi BRIN Maxensius Tri Sambodo membenarkan alokasi anggaran riset berpola top-down menyulitkan periset di BRIN. Karena anggaran ditetapkan sepihak, peneliti seolah terpaksa menyesuaikan arah riset sesuai dengan "selera" pimpinan BRIN.
"Padahal, belum tentu anggaran selaras dengan perhitungan peneliti yang bakal menggarap penelitian itu," kata Maxensius kepada Alinea.id, Kamis (24/11).
Sebelum bergabung dengan BRIN, Maxensius ialah salah satu peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di LIPI, ia bercerita anggaran riset yang digelontorkan terbilang cukup memadai.
Pada 2021, misalnya, Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memperoleh dana riset hingga Rp3,8 miliar. Dana sebesar itu dibagi kepada 45 peneliti. Masing-masing peneliti mendapat sekitar Rp84,4 juta.
Di BRIN, proposal riset yang diajukan kelompok peneliti di salah satu organisasi riset (OR) hanya mendapatkan jatah anggaran sebesar Rp77 juta. Jika dirinci, setiap peneliti rerata hanya mendapat dana sebesar Rp15 juta. "Jadi, memang terasa sekali perubahannya bagi peneliti," kata dia.
Tanpa arah
Tak idealnya dana riset juga dirasakan para peneliti di Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN. Periset senior ORTN BRIN Djarot Wisnubroto mengungkapkan banyak rencana riset yang disusun para peneliti tidak bisa dieksekusi lantaran penyunatan anggaran.
"Kita (para peneliti) harus memilih mana yang prioritas sehingga yang lainnya harus ditunda tahun depan," kata Djarot saat dihubungi Alinea.id, Rabu (30/13).
Sebagian besar peneliti di ORTN BRIN, kata Djarot, kini juga sedang gamang. Pasalnya, anggaran riset yang proposalnya telah disetujui belum juga dicairkan. Padahal, setiap peneliti memiliki kewajiban untuk menjalankan riset membuat laporan kepada BRIN.
"Jadi, semuanya bingung. Siapa yang harus kami tanya. Soalnya, dia akhir tahun kan dia harus buat laporan, buat makalah, sementara riset harus jalan meskipun belum diberi dana," kata mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu.
Menurut Djarot, dana penelitian seharusnya cair maksimal pada Agustus setiap tahun. Dengan begitu, para peneliti mempunyai cukup waktu untuk menggelar riset dan menyusun laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja.
"Kalau tidak Agustus, ya, kita tidak punya waktu lagi untuk melakukan riset. Ini enggak jelas. Akhirnya, agar bisa tetap riset, teman-teman beli sendiri untuk perlengkapan risetnya," ucap Djarot.
Khusus bagi para peneliti ORTN BRIN, Djarot menyebut situasinya bakal bertambah buruk. Pasalnya, seluruh kegiatan riset ORTN BRIN hanya mendapat total dana Rp7 miliar pada 2023.
Dengan asumsi ada 1.000 peneliti di ORTN BRIN, setiap kelompok periset hanya bakal mendapat anggaran Rp35 juta. Jika setiap kelompok periset terdiri dari lima orang, maka masing-masing periset hanya memperoleh dana sebesar Rp7 juta.
Dengan dana sekecil itu, menurut Djarot, mustahil bagi peneliti di ORTN BRIN untuk menghasilkan sebuah penelitian yang berkualitas tinggi. Terlebih, penelitian di bidang teknologi nuklir butuh biaya besar karena bahan-bahan riset yang dibutuhkan harganya tak murah.
"Dana Rp35 juta itu untuk buat beli bahan kimia dan sebagainya saja nanggung. Mereka akhirnya itu tidak melakukan sesuai dengan apa yang direncanakan. Asal tahu saja, mereka melakukan kegiatan yang minimalis yang semampu mereka bisa lakukan supaya kegiatan riset tetap hidup," ucap Djarot.
Situasi semacam itu, ungkap Djarot, tak pernah dialami para peneliti saat masih bernaung di Batan. Dalam sebuah riset gabungan di Bangka Belitung, beberapa tahun lalu, misalnya, Batan menggelontorkan dana hingga Rp150 miliar untuk para peneliti selama tiga tahun.
"Banyak pusat-pusat yang ada sehingga semua terpenuhi. Jadi, misalnya, itu menyangkut sekitar 400 peneliti di situ. Tapi, dikerjakan bersama terdiri dari sekian kelompok. Sehingga satu kelompok itu bisa memanfaatkan anggaran Rp200 atau Rp300 juta. Itu layak," ujar Djarot.
Perbedaan lainnya, lanjut Djarot, ialah soal arah penelitian. Saat masih di Batan, para peneliti umumnya sudah memiliki agenda penelitian yang jelas karena mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJMN) yang dirilis pemerintah. Di BRIN, arah riset semacam itu tak "terlihat".
"Dulu, waktu di BATAN peneliti sudah diarahkan oleh organisasi, semisal kita membantu pemerintah dalam program apa. Kami mengacu RPJMN. Sekarang, 'terserah kamu mau melakukan apa. Pokoknya adanya uangnya segitu'. Adanya Rp35 juta, ya, sudah kita kerjakan," ucap Djarot.
Seretnya dan peliknya mekanisme alokasi angggaran riset BRIN juga diakui oleh Dicky Muslim, seorang dosen Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran. Dicky beberapa kali menggarap penelitian bersama periset BRIN mengenai kegempaan.
"Jadi, tergantung dari sudut pandang mereka (pimpinan BRIN). Ada riset yang memang harus dibiayai full dari yang diajukan seperti riset kimia dan fisika karena mereka harus beli bahan. Tapi, ada juga yang studi literatur di tambah ke lapangan untuk mencari bukti-bukti lapangan. Berapa harus dibiayai, ya, itu ditentukan atas," ujar Dicky kepada Alinea.id, Selasa (29/11).
Secara diplomatis, Dicky berujar, situasi itu mengindikasikan BRIN masih berbenah soal tata kelola anggaran. Namun, ia berpendapat tak seharusnya anggaran riset ditentukan lewat skema top-down tanpa diskusi dengan periset.
"Kalau di kebumian itu, ada memang penelitian yang butuh dana besar. Tetapi, ada juga yang tidak. Sekarang itu top-down. Jadi, dulu itu, satker (satuan kerja) itu megang anggaran. Tapi, sekarang OR itu tidak megang anggaran. Jadi, tidak ada lagi deputi khusus tentang anggaran dan terpisah mana untuk biaya lapangan, mana untuk biaya beli barang," ucap Dicky.
Tak beralasan?
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tidak sependapat bila efisiensi anggaran di BRIN disebut sebagai penyunatan dana riset. Ia menyebut "keluhan-keluhan" soal minimnya anggaran muncul di kalangan peneliti karena tak semua anggaran dalam proposal yang diajukan peneliti BRIN disetujui.
"Dipotong itu kalau sudah dialokasikan tetapi kemudian tidak diberikan sesuai alokasi. Yang terjadi adalah usulan yang diajukan tidak seluruhnya disetujui untuk didanai setelah proses review karena memang sebagian besar dana yang diajukan itu tidak diperlukan. Misalnya, ajuan untuk membeli alat," ucap Handoko kepada Alinea.id, Selasa (29/11).
Handoko mengatakan para peneliti tak perlu lagi mengajukan proposal untuk membeli peralatan lantaran semua peralatan telah disediakan Deputi Infrastruktur BRIN. Ia juga menyebut tak beralasan jika anggaran riset yang tidak dikabulkan menjadi ganjalan bagi para peneliti sehingga memaksa mereka merevisi metodologi.
"Sistem penganggaran riset di BRIN saat ini selalui melalui proses review, tidak seperti dulu yang dikapling per kegiatan. Sehingga isi dan substansi yang akan dilakukan itu dicek betul secara substansi," ujar mantan Kepala LIPI itu.
Lebih jauh, Handoko membantah bila seluruh anggaran riset di BRIN dikendalikan secara penuh oleh pimpinan BRIN. Skema alokasi anggaran top-down, kata dia, hanya berlaku untuk riset berbasis penugasan negara melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan yang dikelola Rumah Program BRIN.
"Tetapi, ada pula anggaran yang sifatnya murni bottom-up dari periset atau grup riset yang dikelola Deputi Fasilitasi secara kompetitif dan terbuka. Sementara anggaran Rumah Program memang top-down dan diatur siapa mengerjakan apa sesuai desain dari organisasi risetnya," ujar Handoko.
Soal biaya akomodasi, Handoko membenarkan anggaran terkait itu kini dipisah dari dana riset. Berbasis pengalamannya saat memimpin LIPI, menurut Handoko, ongkos akomodasi kerap disalahgunakan peneliti untuk menambah pendapatan di luar gaji peneliti.
"Kalau dulu, semua anggaran segala macam hal masuk ke anggaran riset. Jadi, kelihatan besar. Tetapi, akhirnya yang terjadi untuk substansi risetnya sendiri sebenarnya sangat kecil. Sebagian besar habis untuk hal di luar riset, termasuk untuk bayar sewa kapal dan perjalanan. Kalau sampai nombok, menurut saya, enggak mungkin. Tapi memang (uang) yang diberikan dibuat ngepas," ujar dia.
Ihwal sulitnya meminta ganti rugi dana talangan (reimbursement) yang dialami sejumlah peneliti, Handoko berdalih itu terjadi karena tata kelola anggaran di BRIN masih belum rampung dibenahi. Ia menjamin kondisi semacam itu tak bakal terjadi setelah pembenahan tata kelola anggaran tuntas.
"Itu terjadi karena perubahan tata kelola anggaran yang terpusat dan ada sebagian pengelola yang belum siap. Kedua, terkait kedisiplinan pelaksanan perjalanan yang belum menyerahkan pertanggungjawaban perjalanan sebelumnya sehingga tidak diberikan dulu sampai mereka menyelesaikan pertanggungjawaban sebelumnya. Perbaikan dan percepatan proses masih terus dilakukan," ucap Handoko.