Nasib tenaga medis penangan pasien coronavirus baru (Covid-19) bak telur di ujung tanduk. Berada di garda terdepan dalam menolong orang yang terinfeksi SARS-CoV-2, tetapi keselamatannya terancam karena berisiko terpapar.
Karenanya, sebanyak 44 tenaga medis yang bertugas di Ibu Kota―episentrum pandemi Covid-19―tertular hingga Selasa (24/3). Bahkan, enam dokter telah meninggal dunia.
Nestapa kian dalam, mengingat jumlah tenaga medis yang ada jumlahnya terbatas. Padahal, tren kasus di Tanah Air terus meningkat. Sejak kali pertama diumumkan pemerintah, 2 Maret 2020.
Ini seperti pengalaman dokter spesialis penyakit dalam, Alexander Randy. Sempat bekerja seorang diri selama sepekan di rumah sakit (RS). Menyusul rekan seprofesinya berstatus orang dalam pemantauan (ODP).
"Sempat seminggu saya sendiri (menangani pasien Covid-19). Lalu, Dinkes (Dinas Kesehatan) DKI kasih perbantuan, Jadi, yang aktif sekarang dua," ucapnya.
Tempat bekerjanya menjadi salah satu fasilitas kesehatan (faskes) rujukan pasien Covid-19. Berlangsung sekitar dua pekan terakhir.
Alat pelindung diri (APD) langka. Tantangan lainnya saat bertugas. Padahal, virus mudah menyebar. Khususnya, melalui tetesan kecil (droplet) saat batuk ataupun bersin. Dus, RS sempat membatasi maksimal 30 pasangan APD untuk petugas.
"APD itu berlapis. Jadi, sebetulnya kita enggak nyaman. Karena itu, kita batasi perawat lewat jangka waktu kerja dengan shift lebih pendek," tuturnya.
Dengan waktu kerja pendek, maka kebutuhan APD kian banyak. "Kita sempat terkendala," ujar dokter muda ini.
Meski bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah tiba, tetapi belum menjamin keselamatan para tenaga medis. Pangkalnya, kebutuhan praktik masih langka. Terutama yang merawat pasien rawat jalan.
Jika ada di pasar, harganya membubung tinggi. Seperti masker N95 untuk menyaring partikel udara berukuran kecil.
"Sekarang, sudah mahal banget. Kita masih berusaha nyari. Kalau ada yang mau nyumbang dan mau membantu, kita berharap," kata Randy.
Untuk rumah sakit rujukan yang menjadi tempat Randy bertugas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan ada sebanyak 200 tempat tidur yang dikhususkan untuk kasus COVID-19.
Tempatnya bekerja menyediakan 200 ranjang khusus pasien Covid-19. Namun, jumlahnya diprediksi membengkak.
"Kita mau enggak mau akan tetap tinggal di rumah sakit. Kalau misalnya ini menjadi sebuah outbreak yang besar," ungkapnya. Skenario tersebut pernah dilakoni para tenaga medis di Wuhan, China―episentrum awal.
Selama menangani pasien Covid-19, ungkap dia, banyak tenaga medis yang membatasi diri untuk bertemu orang-orang terkasih. Macam keluarga dan sahabat.
"Karena saya dokter dan kerja di rumah sakit. Saya enggak tahu, apakah di badan saya kumannya ada atau enggak. Rata-rata petugas medis, termasuk saya, jadi membatasi diri dengan orang lain," paparnya.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Beberapa tenaga medis RS Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta, ditolak warga tempat tinggalnya saat hendak pulang.
"Bukan hanya perawat. Tapi, ada dokter juga," ucap Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhilah, terpisah.
RSUP Persahabat merupakan faskes rujukan penanganan Covid-19. PPNI hingga kini belum tahu pasti jumlah tenaga medis yang terkendala pulang ke tempat tinggalnya. Baik rumah maupun indekos.
"Sekarang saya sedang coba menghubungi PPNI daerah. Untuk mengadvokasi ini," ujar dia. Penolakan oleh warga sekitar domisili tenaga media terjadi sejak Minggu (22/3).
Kabar tersebut datang dari dokter dan perawat tertolak. Lalu disampaikan melalui organisasi setempat.
"Kita mendengar, ada upaya dari RSUP Persahabatan sedang mencarikan tempat untuk mereka," katanya. Namun, Direktur RSUP Persahabatan, Rita Rogayah, hingga kini belum berkomentar saat dikonfirmasi. (Ant)