New normal di transportasi umum dan ancaman penularan Covid-19
Sore itu, Aji baru saja turun dari jembatan penyeberangan TransJakarta koridor Salemba UI, Jakarta Pusat. Masker menutupi hidung dan mulutnya. Pegawai honorer tersebut kemudian berdiri di pinggir jalan untuk menunggu angkutan kota. Matanya menatap keadaan lalu lintas yang padat.
“Sudah mulai macet. Mungkin karena mulai longgar ya,” kata Aji kepada reporter Alinea.id, Kamis (11/6).
Sepekan ini untuk pergi dan pulang kerja, Aji menggunakan TransJakarta. Meski khawatir, ia tak punya pilihan lain. Ia hanya berpikiran positif jika semua penumpang, sama seperti dirinya, tetap menjaga kebersihan.
"Kembali kepada diri masing-masing saja. Apalagi di TransJakarta disediakan alat pengukur suhu dan hand sanitizer," kata Aji.
Menurut petugas layanan TransJakarta koridor Salemba UI, Danhad, selama seminggu ini penumpang sudah mulai ramai. Ia mengatakan, penumpang wajib mengikuti protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, dicek suhu tubuhnya, dan mencuci tangan sebelum masuk ruang tunggu.
"Diatur juga tempat duduk. Jadi, penumpang duduk bersilangan agar tidak ketemu. Selain itu, jumlah penumpang dibatasi," kata Danhad, Kamis (11/6).
Berbeda dengan Aji, Lydia memilih angkutan umum kereta komuter untuk berangkat kerja ke Bintaro, Jakarta Selatan dari tempat tinggalnya di Salemba, Jakarta Pusat. Sama seperti Aji, pegawai bank swasta ini mengaku tak punya pilihan lain.
"Takut sih tapi mau gimana lagi, kita harus masuk kantor setiap hari," kata Lydia saat berbincang di kediamannya di Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (11/6).
Ia mengatakan, protokol kesehatan sudah diterapkan di stasiun maupun dalam kereta. Kursi hanya boleh diduduki empat penumpang.
Selain itu, penumpang wajib mengenakan masker, dicek suhu tubuhnya, dan mencuci tangan sebelum masuk ke dalam kereta. Meski begitu, ia merasa risiko penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19) masih tinggi karena penumpang makin banyak.
"Sudah mulai desak-desakan. Apalagi kalau pulang kerja," katanya.
Peraturan new normal transportasi
Sepekan ini Jakarta riuh kembali. Kendaraan menumpuk di jam-jam berangkat dan pulang kerja. Pada 4 Juni 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan Ibu Kota masuk ke dalam masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi menuju new normal atau kenormalan baru.
Aktivitas sosial dan ekonomi pun dilonggarkan perlahan. Operasional transportasi massal, seperti TransJakarta, Moda Raya Terpadu (MRT), dan Lintas Raya Terpadu (LRT) mulai hidup kembali pada 8 Juni 2020. Begitu pula dengan ojek daring yang diizinkan membawa penumpang.
Anies juga merilis Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.
Sehari setelah pengumuman PSBB transisi, Dinas Perhubungan Pemprov DKI juga menerbitkan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2020 tentang Pengendalian Sektor Transportasi untuk Pencegahan Covid-19 pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.
Pemerintah pusat pun bersiap menata sektor perhubungan, seiring kenormalan baru. Menurut Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Djoko Sasono, untuk menghadapi new normal, pihaknya sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permenhub 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Mencegah Penyebaran Covid-19.
“Untuk mengatur mobilitas masyarakat di bidang transportasi, yang secara teknis dijabarkan ke dalam empat surat edaran Menteri Perhubungan,” kata Djoko saat dihubungi, Selasa (9/6).
Surat edaran itu, kata Djoko, adalah surat edaran nomor 11 untuk transportasi darat, nomor 12 untuk transportasi laut, nomor 13 untuk transportasi udara, dan nomor 14 untuk transportasi kereta api.
"Surat Edaran tersebut antara lain mengatur tentang pembatasan penumpang," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan, dalam mengatur pembatasan mobilitas warga di angkutan umum di masa adaptasi baru, pihaknya akan menjalankan secara bertahap, melalui tiga fase.
Fase pertama, pembatasan bersyarat yang dimulai pada 9-30 Juni 2020. Fase kedua, masa pemulihan atau penyebaran terkendali yang dimulai pada 1-31 Juli 2020.
"Dan fase ketiga yang merupakan normal baru, dari tanggal 1 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2020," ucapnya saat dihubungi, Rabu (10/6).
Untuk melakukan pembatasan penumpang pada masa adaptasi, Budi mengatakan, pihaknya bakal menyesuaikan dengan status masing-masing wilayah terdampak Covid-19.
"Artinya, penyelenggaraannya bakal berbeda di setiap zona. Baik zona merah yang pertanda virus sulit terkendali, zona oranye yang berisiko sedang atau masih ada potensi virus tidak terkendali, dan zona kuning serta hijau yang cenderung aman," katanya.
Budi menuturkan, setiap fase dan zona akan menentukan ambang batas jumlah penumpang di semua jenis transportasi darat. Misalnya, kata dia, pada fase satu di zona oranye angkutan umum diizinkan mengangkut penumpang maksimal 70%
"Dan baru diperbolehkan mengangkut penumpang maksimal 85% pada fase ketiga. Begitu pun untuk zona kuning dan hijau," ucapnya.
Sementara untuk transportasi berbasis daring, ia mengatakan, perusahaan aplikasi wajib menyediakan pos kesehatan di beberapa tempat, dengan kelengkapan berupa disinfektan, penyanitasi tangan, dan alat pengukur suhu tubuh.
Perusahaan aplikasi juga disarankan menyediakan penyekat antara penumpang dan pengemudi. Penumpang pun diimbau membawa helm sendiri dan melakukan protokol kesehatan.
"Begitu pula pengemudi juga harus mengenakan masker, sarung tangan, jaket lengan panjang, dan hand sanitizer," ujarnya.
Budi mengatakan, pengawasan aktivitas warga di transportasi darat selama masa adaptasi kebiasaan baru akan dilakukan aparat gabungan dari Polri, TNI, instansi terkait di bidang transportasi darat, serta pemerintah daerah.
Berisiko tinggi
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif maklum dengan aktivitas warga yang mulai ramai pascatransportasi umum kembali dibuka.
"Di satu sisi memang masyarakat sudah capek. Kedua, mungkin juga mereka yang pendapatannya terhenti, saya kira berusaha survive dalam situasi begini,” ujar Syahrizal saat dihubungi, Jumat (12/6).
Di sisi lain, menurut Syahrizal, kebijakan Pemprov DKI membuka kembali transportasi umum di tengah pandemi berisiko tinggi. Ia menjelaskan, penularan virus terjadi karena jumlah kontak persatuan waktu dari orang yang sakit dengan orang yang sehat.
"Secara prinsip, setiap ada pelonggaran pergerakan itu sudah pasti meningkatkan risiko," katanya.
Risiko penularan yang tinggi, menurut Syahrizal, bisa dilihat dalam data mingguan, bukan harian. Dalam pekan ini, kata dia, angka penularan di Jakarta mencapai yang tertinggi, di atas 100 orang.
"Artinya, enggak ada data yang menyatakan bahwa DKI itu wabahnya sudah turun. Datanya menunjukkan DKI mencapai angka tertinggi," ujar dia.
Bila operasional transportasi dibuka, Syahrizal menyarankan harus ada penerapan protokol kesehatan yang ketat. Ia pun menyarankan agar warga yang melanggar protokol kesehatan diberi sanksi.
"Kalau enggak pakai masker didenda aja. Jaga jarak tetap diatur, kemudian cuci tangan. Sama tingkatkan rapid test, swab, dan telusuri kontak," tuturnya.
Di dalam Keputusan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2020 disebutkan perkara sanksi untuk para pelanggar berupa denda Rp100.000-Rp500.000, kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum, dan penderekan kendaraan.
Dihubungi terpisah, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menilai, keputusan Pemprov DKI Jakarta membuka operasional transportasi umum belum tepat.
Ia memandang, pembukaan operasional transportasi umum terkait transisi menuju new normal sangat kental kepentingan politik dan bisnis daripada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Djoko pun menyoroti diizinkannya ojek daring mengangkut penumpang per 8 Juni 2020. Ia menilai, hal itu menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap kesehatan bagi pengemudi dan penumpang. Meski ada penyekat antara pengemudi dan penumpang, tetapi Djoko mengatakan, hal tersebut belum menjamin bisa memutus rantai penularan virus.
"Belum ada uji coba dari instansi yang berwenang mengenai penyekat itu. Terlebih penyekat itu belum mendapatkan sertifikat standar nasional Indonesia (SNI)," ucapnya ketika dihubungi, Selasa (9/6).
Selain itu, sejauh ini belum ada instansi atau pakar kesehatan yang merekomendasikan protokol kesehatan pada ojek daring. Diizinkannya ojek daring beroperasi membawa penumpang, kata Djoko, sarat kepentingan bisnis pihak aplikator.
“Pihak aplikator sengaja memainkan narasi soal kehidupan ekonomi dan menurunnya pendapatan pengemudi sebagai dalih beroperasi kembali,” tuturnya.
Djoko menyarankan Pemprov DKI mencari cara untuk mengatur intensitas kegiatan warga dengan membagi mobilitas lewat pengaturan jam kerja. Tujuannya, menghindari penumpukan warga di waktu tertentu.
Hal itu, katanya, bisa dimulai dari jajaran pegawai Pemprov DKI maupun BUMD DKI. Setelah itu, secara perlahan diterapkan di sektor swasta.
"Sehingga mobilitas masyarakat Jakarta terdistribusi secara baik dan tidak bertumpuk seperti saat sebelum pandemi," ucapnya.
Solusi lainnya, menurut Djoko, Pemprov DKI bisa menambah fasilitas antar dan jemput karyawan agar tumpukan di angkutan umum bisa dikurangi, sekaligus menjamin physical distancing. Upaya ini pun bisa diterapkan pada karyawan swasta.
"Kalau busnya enggak ada, kerja sama saja dengan perusahaan bus. Itu juga bisa membantu bisnis perusahaan transportasi umum yang sedang di titik nadir," ujarnya.
Usaha lainnya, menurut Djoko, konsep bekerja dari rumah tidak dihilangkan hanya alasan new normal untuk menghindari penumpukan di transportasi umum saat jam kantor. Pemprov DKI dan pemerintah pusat, sebut Djoko, juga tetap harus membuat kebijakan yang berfokus pengurangan mobilitas.
"Sebab sumber permasalahan bukan terletak pada sektor transportasinya, namun pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya," ujar dia.