New normal KPK: OTT berantakan, internal rutin berkonflik
Setelah puasa selama lebih dari tiga bulan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar operasi tangkap tangan (OTT), Rabu (20/5) lalu. Dalam operasi senyap itu, KPK menangkap Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dwi Achmad Noor (DAN) yang diduga menyuap pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
OTT itu digelar setelah KPK mendapat laporan dari Itjen Kemendikbud. Dari DAN, KPK mengamankan barang bukti berupa uang sebesar Rp 27,5 juta dan US$ 1.200 yang rencananya bakal diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud sebagai tunjangan hari raya (THR).
Dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Deputi Bidang Penindakan KPK Karyoto menyebut duit itu dikumpulkan DAN dari setoran semua fakultas yang ada di UNJ. DAN, kata Karyoto, diperintahkan oleh Rektor UNJ Komaruddin.
Sehari setelah DAN ditangkap, KPK memeriksa Komaruddin dan enam saksi lainnya. Tak lama setelah pemeriksaan usai, KPK mengumumkan tidak ada penyelenggara negara dalam kasus itu. Kecele, KPK pun melimpahkan kasusnya ke Polres Jakarta Selatan, Jumat (22/5).
Polres Jakarta Selatan tentu saja menolak menggarap kasus tersebut. Pasalnya, tempat kejadian perkara bukan berada di wilayah mereka. Kemendikbud masuk wilayah Jakarta Pusat, sedangkan UNJ ada di kawasan Jakarta Timur.
Selain terkesan berantakan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai OTT pejabat UNJ itu juga dipenuhi kejanggalan. Salah satunya ialah peran sentral Karyoto dalam kegiatan OTT tersebut.
Rilis OTT, kata Boyamin, seharusnya diumumkan komisioner KPK atau juru bicara KPK. Karyoto selaku Deputi Penindakan KPK tidak berhak memberikan pernyataan di depan publik terkait itu. Karyoto juga dianggap menyalahi aturan dengan menyebut nama lengkap para saksi dan tersangka dalam OTT tersebut.
"Cara penanganan perkaranya belepotan betul. Selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan OTT selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT. Jelas hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK," kata dia.
Boyamin juga mempertanyakan kegagalan KPK menemukan penyelenggara negara dalam OTT tersebut, pengalihan perkara ke kepolisian, dan keengganan KPK menyelidiki lebih jauh dugaan keterlibatan Rektor UNJ. Padahal, Karyoto telah menyebut DAN diperintahkan oleh Komaruddin.
"Saat saya konfirmasi ke orang-orang yang bertugas di KPK, seperti Antasari Azhar, hal ini dianggap aneh. Enggak mungkin kalau sudah OTT enggak dapet penyelenggara negaranya. Proses OTT itu panjang dan berdarah-darah perdebatannya. Semestinya KPK tak berhenti di situ (DAN), tapi menyelidiki lebih dalam soal dugaan keterlibatan rektor," kata dia.
Ia menduga OTT yang dilakukan KPK tidak tertib administrasi dan tidak memenuhi syarat-syarat resmi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). DAN, misalnya, sempat diperiksa di UNJ sebelum diperbolehkan pulang.
KPK justru menangkap DAN di rumahnya setelah pemeriksaan perdana. Setelah ditangkap dan kasusnya dilimpahkan, tersangka malah diperbolehkan pulang. "Betul-betul serampangan. Sekelas KPK bawa orang ke Polres Jakarta Selatan terus boleh pulang. Jadi, kelihatan main-main," ucap Boyamin.
Saat ini, MAKI telah melaporkan Karyoto karena diduga melanggar kode etik ke Dewan Pengawas KPK. Meskipun hanya mengadukan tindak-tanduk Karyoto, Boyamin menegaskan, pimpinan KPK juga mesti turut bertanggung jawab.
"Jadi, bila ada kesalahan itu bukan hanya terletak pada Karyoto semata, tapi juga pimpinan. Saya tahu persis sebelum OTT ada eksposisi untuk menentukan jadi tidaknya OTT," imbuh dia.
Kritik keras juga datang dari anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto. Menurut Didik, tidak ditemukannya calon tersangka dari kalangan penyelenggara dalam operasi senyap KPK merupakan peristiwa yang sangat langka.
"Setiap upaya OTT yang dilakukan KPK, secara subtansi, selalu membuahkan hasil penangkapan terhadap para koruptor, termasuk para penyelenggara negara. Tapi, kok kali ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan? Tentu ini menimbulkan tanda tanya besar," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (2/6).
Menurut Didik, berantakannya OTT UNJ menambah buruk rapor kinerja KPK saat ini. Apalagi, hingga kini masih banyak buronan KPK yang belum berhasil ditangkap. "Memang KPK sedang jadi sorotan publik karena belum berhasil menangkap delapan buronan, termasuk Harun Masiku," kata dia.
Harun yang dimaksud Didik ialah politikus PDI-P yang diduga menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Hingga kini, Harun tidak diketahui keberadaannya. Kasus suap komisioner KPU itu digadang-gadang melibatkan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Sebagaimana OTT UNJ, operasi senyap yang digelar KPK pada Januari itu juga terkesan berantakan, mulai dari gagalnya upaya menangkap Harun, polemik izin penggeledahan kantor DPP PDI-P, hingga rencana penggeledahan yang diumumkan ke publik.
Lebih jauh, Didik juga mengkritik langkah KPK melimpahkan kasus suap UNJ ke tangan Polri. "Tentu menjadikan beban yang tidak mudah bagi Polri untuk merekonstruksi tindak pidana yang ada mengingat bahwa KPK yang sejak awal merencanakan dan melakukan OTT," ujarnya.
Kinerja KPK di bidang penindakan memburuk
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut KPK mencoba berkilah dalam kasus OTT pejabat tinggi UNJ. Pasalnya, sejak awal kasus tersebut mencuat, KPK sudah mengumumkan bahwa pengumpulan THR untuk pejabat Kemendikbud merupakan instruksi Rektor UNJ.
Berdasarkan Undang-Undang 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN), rektor termasuk ke dalam golongan penyelenggara negara yang wajib melaporkan harta kekayaannya.
Tindakan Rektor UNJ, lanjut Kurnia, juga melanggar pasal terkait pemerasan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). "Apa dasar rektor meminta dana kepada fakultas dan lembaga penelitian untuk memberikan THR ke Kemendikbud?" ucapnya.
Menurut Kurnia, pelimpahan kasus dari KPK ke Polri juga terkesan janggal. Berbasis UU Tipikor terkait pemerasan dan Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan, Kurnia mengatakan, seharusnya kasus tersebut bisa ditangani KPK.
Pada Pasal 55 KUHP dijelaskan bahwa pelaku tindak pidana bukan saja orang yang benar-benar melakukan, tetapi juga mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana. "Jadi, alasan pelimpahan itu, ya, mengada-ada saja," imbuh Kurnia.
Lebih jauh Kurnia mengatakan, kinerja KPK di bawah pimpinan Firli Bahuri dan empat komisioner baru lainnya terus menurun. Di bidang penindakan khususnya, Kurnia menegaskan, OTT KPK kerap terlihat serampangan dan berpolemik.
"KPK di bawah mereka berlima sudah tidak profesional lagi. Jadi, kemungkinan bakal paceklik di bidang penindakan. Praktis belum ada perkara yang diungkap KPK saat ini yang dimulai dari penyelidikan yang benar-benar dilakukan di rezim Firli. Semua penindakan adalah alih penanganan dari rezim KPK sebelumnya," tutur dia.
Selain bidang penindakan, ICW pun mencatat ada penurunan kinerja dalam hal pengelolaan lembaga. Menurut Kurnia, masih ada bara dalam sekam di internal KPK yang sewaktu-waktu bisa meledak memecah-belah penggawa KPK.
"Contohnya kasus yang menimpa Kompol Rossa (Purbo Bekti) yang dipaksa keluar dari KPK. Padahal, sudah ada surat dari Polri yang menegaskan bahwa Kompol Rossa tetap bekerja di KPK," ucap Kurnia.
Agar tak semakin memburuk, Kurnia berharap Dewas KPK aktif merespons dinamika yang terjadi di internal lembaga antirasuah itu. Menurut dia, hingga kini belum ada gebrakan dari Dewas KPK dalam mengawasi kinerja lembaga tersebut.
"Mereka hanya mempublikasi evaluasi. Itu pun tidak jelas evaluasi sektor penindakan yang mana yang mereka soroti. Harusnya berdasarkan Pasal 5 UU KPK terkait keterbukaan, mereka bisa lebih terbuka apa saja yang menjadi sorotan Dewas KPK," ujar dia.
Kepada Alinea.id, juru bicara KPK Ali Fikri, membantah OTT pejabat UNJ merupakan inisiatif penyidik. Menurut dia, KPK hanya bertugas mendampingi Inspektorat Jenderal Kemendikbud yang mendapat informasi adanya dugaan suap oleh petinggi UNJ.
"KPK itu bergerak harus ada dugaan penyelenggara negara dulu. Enggak bisa kalau enggak ada. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan oleh KPK, ternyata perbuatannya belum ditemukan saat itu. Adanya Kabag Kepegawaian," ucapnya.
Dari hasil pemeriksaan terhadap para saksi, Ali mengatakan, KPK ternyata tidak menemukan keterlibatan penyelenggara negara dalam kasus tersebut. Walhasil, KPK terpaksa melimpahkan kasus tersebut ke kepolisian.
Langkah itu, lanjut Ali, sesuai dengan bunyi Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Disebutkan pada pasal itu, jika tidak menemukan penyelenggara negara, KPK disebutkan wajib melimpahkan kasus-kasus yang ditangani KPK kepada kepolisian dan kejaksaan.
"Beberapa kasus terdahulu juga pernah (pelimpahan). Awalnya ada dugaan penyelenggara, tapi setelah ditangkap, diperiksa, dan dimintai keterangan, ternyata tidak ada unsur perbuatan penyelenggara negaranya," jelas Ali.
Soal anggapan KPK hanya melanjutkan kasus-kasus peninggalan pimpinan periode sebelumnya, Ali berkilah, argumentasi semacam itu keliru. Menurut dia, kinerja pimpinan periode baru dengan pimpinan sebelumnya memang tidak bisa dipisahkan.
"Misal OTT komisioner KPU sama Bupati Sidoarjo. Banyak pihak yang mengatakan, 'Oh, itu bukan kerja pimpinan sekarang.' Lho, bagaimana bukan kinerja KPK yang sekarang? Siapa yang menetapkan tersangka? Pimpinan sekarang. Apa, itu disebut tidak bekerja? Ya, keliru," kata dia.
Ekses negatif UU KPK yang baru
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai buruknya kinerja KPK di bidang penindakan merupakan ekses nyata dari berlakunya UU KPK yang baru. Menurut dia, pasal-pasal di dalam UU KPK anyar telah membuat taji KPK tumpul.
"Mengamati peristiwa-peristiwa yang menimpa KPK dalam lima enam bulan terakhir ini, sangat mungkin dan sangat berdasar jika sinyalemen dugaan bahwa KPK new normal ini bentuk baru hasil kebiri sistemik persekongkolan Presiden dengan anggota DPR yang melalui UU Nomor 19 Tahun 2019," ucapnya kepada Alinea.id.
Menurut Fickar, revisi UU KPK telah nyata mengubah esensi keberadaan lembaga antirasuah tersebut. Lewat UU tersebut, KPK diposisikan sebagai bagian dari kekuatan eksekutif dan diisi oleh aparatur sipil negara (ASN). Padahal, KPK pada awalnya didirikan sebagai lembaga penegak hukum yang independen.
"Maka, sebenarnya secara substantif KPK sudah dibubarkan karena KPK menjadi sama dengan kepolisian dan kejaksaan. KPK didirikan untuk menindak secara hukum. Jadi, jika hanya konsentrasi pada pencegahan itu menyalahi fitrah didirikannya," kata Fickar.
Lebih jauh, Fickar menilai, tumpulnya taji KPK di bidang penindakan juga terkait dengan keberadaan Dewas KPK. Menurut dia, penyidikan KPK jadi lebih mudah diintervensi karena keberadaan organ baru itu. "Bahkan dengan kewenangannya, (Dewas KPK) berpotensi menjadi alat (sarang) dan lokasi korupsi baru," kata dia.
Jika diawasi sebuah lembaga pengawasan, menurut Fickar, KPK seharusnya diposisikan sebagai sebagai penegak hukum independen dan bukan bagian dari kekuatan eksekutif.
"Jadi, memang dari sini saja sudah keliru. Langkah ini sebenarnya indikasi bahwa pemerintah tidak serius dan tidak punya integritas dalam memberantas korupsi," terang Fickar.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga (Unair) Iqbal Felisiano mengatakan, pelimpahan kasus perkara korupsi sebenarnya bukan hal yang diharamkan setelah UU KPK yang baru diberlakukan.
Yang menjadi persoalan, kata Iqbal, ialah buruknya persiapan KPK saat menggelar OTT. "Selama ini, KPK selalu melakukan dengan persiapan yang cukup matang, mulai dari siapa yang menyetorkan, berapa jumlah uangnya, targetnya siapa, dan di mana tempatnya. Itu sudah terpantau sejak awal," ucapnya.
Iqbal juga sepakat KPK menurun performanya di bidang penindakan. Menurut dia, ada dua faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama, berlakunya pasal-pasal kontraproduktif di dalam UU KPK baru. Kedua, tidak cakapnya personel KPK dalam menggarap kasus.
"Dalam beberapa konteks perkara, KPK mengalami penurunan performa, seperti kasus Harus Masiku dan lain sebagainya. Kelihatannya memang ada sesuatu yang harus diperbaiki di tubuh KPK," ujar dia.
Lebih jauh, Iqbal mengatakan, tidak tepat jika KPK mengutamakan bidang pencegahan saat ini. Pasalnya, laporan-laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat masih terus mengalir ke Gedung KPK.
"Bila mereka bilang pada fokus pencegahan, itu keliru. Sebab, pencegahan yang baik adalah penindakan yang baik juga. Soalnya, bila laporan-laporan tidak ditindaklanjuti, pihak-pihak yang melakukan korupsi bisa merasa di atas angin," ucapnya.