Lagi, eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia di Arab Saudi menimpa Zaini Misrin, setelah sebelumnya hal senada terjadi pada Yanti Iriyanti, Ruyati, Siti Zaenab, dan Karni. Namun sayangnya, pemerintah Indonesia melalui KBRI Jeddah baru mengetahui pada 2008, setelah vonis hukuman mati dijatuhkan padanya, atas tuduhan membunuh majikan sendiri.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid menjelaskan, upaya maksimal telah dilakukan pemerintah Indonesia, untuk menangani kasus yang menimpa Zaini. Upaya tersebut telah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Joko Widodo. pemerintah telah total melakukan pembelaan, bahkan setelah adanya informasi mengenai eksekusi, tim juga langsung di berkunjung ke Madura.
Upaya mengusahakan pembebasan Zaini juga dilakukan pada Januari 2017, saat Presiden Jokowi menyampaikan surat kepada Raja Saudi. Isi surat itu adalah meminta penundaan eksekusi dan pemberian kesempatan kepada pengacara untuk mencari bukti-bukti baru. Pada Mei 2017, surat Jokowi ditanggapi Raja Arab dengan menunda eksekusi selama enam bulan.
Lalu, pada September 2017, Presiden kembali mengirimkan surat kepada Raja Arab dan menyampaikan, tim pembela Zaini menemukan sejumlah novum atau alat bukti baru. Salah satunya adalah kesaksian dari penerjemah yang meringankan dakwaan Zaini. Hasil novum itulah yang dijadikan alat untuk meminta Raja Arab melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus tersebut.
Nusron menceritakan, saat proses penyidikan dan interogerasi, Zaini didampingi tiga penerjemah. Akan tetapi, satu dari tiga penerjemah atas nama Abdul Aziz menolak untuk menandatangani BAP, karena menurutnya terdapat ketidaksesuaian antara apa yang diterjemahkannya dengan apa yang tertuang di dalam BAP. Mengetahui informasi tersebut, akhirnya KJRI Jeddah mengajukan banding, meskipun dalam sidang banding dan kasasi, justru pengadilan menguatkan keputusan sebelumnya.
“Pada 20 Februari 2017, diterima nota diplomatik resmi dari Kemlu Saudi yang intinya menyampaikan persetujuan Jaksa Agung Arab Saudi untuk dilakukan PK atas kasus ini, khususnya untuk mendengarkan kesaksian penerjemah di Pengadilan Makkah,” jelasnya.
Hingga akhirnya, pada 18 Maret 2018, sekitar pukul 10.00 waktu Arab Saudi, pemerintah mendapatkan kabar, Zaini akan dieksekusi. Dengan sigap, pemerintah meminta pengacara untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kabar tersebut.
Sayang, setiba di penjara Mekkah sekitar pukul 10.30, seluruh jalan menuju penjara sudah diblokade. Eksekusi mati sendiri diduga dilakukan pada pukul 11.30 waktu setempat.
Ihtiar pembebasan Zaini telah ditempuh hingga puluhan kali dan berujung nihil. Nusron menguraikan pihaknya telah menjalankan 40 kali kunjungan ke penjara, dua kali penunjukan pengacara yaitu pada 2011-2015 dan 2016 sampai saat ini. Kemudian, dua kali memfasilitasi Zaini untuk bertemu dengan keluarga korban pada 2015 dan 2017. Pendampingan pun telah dilakukan sebanyak 16 kali di mahkamah, lembaga pengampunan, dan kepolisian.
Selain itu, pemerintah juga telah mengirimkan nota diplomatik dan surat Dubes atau Konjen RI kepada Kemlu Saudi dan pejabat tinggi Arab Saudi lainnya sebanyak 42 kali. Bahkan kasus itu sudah tiga kali diangkat dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi; satu kali diangkat dalam pembicaraan Menlu dengan Raja Salman; tiga kali diangkat dalam pembicaraan Menlu RI dengan Menlu Arab Saudi; dan tiga kali pertemuan Dubes/Konjen dengan Gubernur Makkah.
“Sejak kasus itu, pemerintah yang melalui Presiden langsung dalam upaya pembelaan adalah satu kali surat Presiden SBY, dan dua kali surat Presiden Jokowi kepada Raja Saudi,” terang Nusron dalam rilis yang diterima Alinea.
Melihat upaya yang telah ditempuh, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal dalam jumpa persnya Senin (19/3) menyayangkan putusan Arab Saudi. Terlebih eksekusi dilangsungkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Indonesia.
Karena itulah, Kemenlu Indonesia memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama Mohammed Al-Shuaibi, untuk meminta keterangan resmi mengenai eksekusi Zaini.
Pemerintah melalui Duta Besar RI di Riyadh juga akan menyampaikan nota diplomatiknya terhadap kemenlu. Meskipun Zaini menyatakan, peraturan nasional Arab Saudi tidak berkewajiban memberikan pemberitahuan konsuler pelaksanaan hukuman mati. Namun mengingat hubungan baik di antara dua negara, ketiadaan notifikasi sangat disayangkan.
Protes deras organisasi HAM dan buruh migran
Migrant Care bersama organisasi-organisasi yang bekerja untuk pembelaan HAM dan buruh migran di antaranya Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jaringan Buruh Migran (JBM), Human Right Working Group (HRWG), dan Komisi Migran Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menyatakan sikapnya terhadap tindakan otoritas Arab Saudi.
Pertama, mengecam dan mengutuk eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin. Eksekusi tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM yang paling dasar, yaitu hak atas hidup.
Kedua, menuntut pemerintahan Indonesia untuk mengeluarkan nota proses diplomatik kepada Kerajaan Saudi Arabi dan melakukan persona non grata atau mengusir duta besar Arab Saudi untuk Indonesia.
Ketiga, mendesak pemerintah Indonesia mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk mengupayakan pembebasan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Pun mendesak pembuatan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sebagai komitmen moral menentang hukuman mati terhadap siapapun.
Tidak hanya itu, para aktivis tersebut juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan rencananya melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi pada Mei mendatang. Hal ini perlu dilakukan, sebagai ungkapan protes pemerintah Indonesia atas hukuman mati yang kembali dilakukan otoritas Arab Saudi.
Rencananya, hari ini Selasa (20/3) organisasi-organisasi tersebut, juga akan melakukan aksi di depan kedutaan besar Arab Saudi, demi menyampaikan protes pada negeri penghasil minyak itu.