Kuasa Hukum korban First Travel Luthfi Yazin mempertanyakan kemana perginya aset-aset First Travel yang berpindah tangan secara sepihak. Tim kuasa hukum beralasan, selama ini tidak ada transparansi berkenaan aset-aset yang dimiliki perusahaan penyedia jasa Umroh tersebut.
"Semestinya diklarifikasi dalam sebuah persidangan, bukan hanya sepihak. Kalau itu berpindah ke orang lain itu namanya ilegal, karena dilakukan secara sepihak, tidak (disebutkan) dalam persidangan," katanya.
Luthfi menyayangkan, duo suami istri itu memiliki sejumlah aset, yakni kendaraan mewah, kantor, rumah mewah, yang sebelumnya sudah disita. Bagaimana, imbuhnya, proses selanjutnya, termasuk penjelasan kemana barang- barang itu masih nihil hingga kini.
"Kalau sepihak (tanpa penjelasan) itu namanya ada sesuatu di balik udang," selorohnya.
Dia menceritakan, pada sidang perdana, pengacara pertama First Travel mengungkapkan, ada aset sebesar Rp200 miliar yang dimiliki First Travel. Kemudian oleh First Travel, aset itu diminta untuk dijual dan dibagikan pada jamaah.
"Dijual dan dibagikan kepada jamaah, suratnya pun kita punya, tapi kenyataannya tidak ada. Raibnya kemana, dimakan tuyul?" katanya lagi.
Berdasarkan hitungan korban, setidaknya total kerugian mencapai Rp25 miliar. Namun, majelis hakim dalam amar putusan pengadilan kali ini, tidak menyebutkan penggantian atau pengembalian uang jamaah.
"Iya dong, tidak cukup. Kalau ibu ini (Annisa Hasibuan. Red) menerima akan digugat, dituntut, dan lain sebagainya. kecuali dia memikirkan dirinya sendiri," katanya.
Maka dari itu, pihaknya akan mempertimbangkan untuk meminta perlindungan hukum kepada Polri serta Jaksa Agung. Mereka juga mendesak agar dibentuknya pansus di DPR RI, agar kasus tersebut dibongkar sampai tuntas.
"Jadi dibongkar dong, sudah susah hidup jamaah ini dari jual gorengan, sisa hasil pensiunan dikumpulkan sudah bertahun-tahun. Kok, seperti ini," keluhnya.
Secara sederhana, para korban hanya menuntut keadilan, agar uang yang mereka setorkan bisa kembali utuh
Salah satu saksi dan juga agen travel Dewi Agustiana menyatakan alasannya menolak aset yang diberikan, karena tidak ada transparansi atas aset yang dilimpahkan kepadanya. Selain itu aset itu hanya sebagian kecil dari yang dahulu telah dilakukan penyitaan oleh pengadilan. Ia juga enggan ikut terseret menjadi tergugat karena pembagian yang tidak sesuai.
"Jadi, jika (aset) itu kami terima, konsekuensinya sangat besar. Kami tidak bisa mendapatkan aset yang sudah disita. Kami juga kesulitan dalam membaginya kepada jamaah," ungkapnya.
Telebih lagi, aset yang diberikan bukanlah uang tunai, melainkan berupa aset yang mengalami penyusutan begitu tinggi, seperti kacamata, ikan pinggang, gaun, dan lainnya.
"Kami memang pengurus, kami sudah berkorban, kami melakukan kegiatan ini untuk membantu kegiatan jamaah. Jangan lagi dong kami dijadikan korban dengan sistem seperti ini. Setahu kami, ada 11 mobil mewah termasuk sertifikat di radar AURI. Namun tidak masuk ke dalam aset yang dilimpahkan ke kami. Kami hanya terima lima mobil murah," katanya.