Normalisasi sungai di Jakarta mandek?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, awal musim hujan terjadi pada Oktober, November, dan Desember 2018. Sedangkan puncak musim hujan akan terjadi pada Januari hingga Februari 2019.
Sebanyak 129 kelurahan di Jakarta pun terancam kebanjiran, akibat meluapnya sungai. Salah satu sungai di Jakarta yang akan meluap bila musim hujan tiba adalah Sungai Ciliwung.
Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, yang berasal dari hulu Sungai Ciliwung, biasa dipakai untuk “pemandu” banjir di wilayah Jakarta. Dari pantauan reporter Alinea.id, Jumat (4/1) kondisinya masih normal.
Salah seorang operator pintu air yang dibangun pada masa kolonial itu, Fajar Zuli mengatakan, kondisi normal ini karena tak ada peningkatan debit air di Bendungan Katulampa, Bogor.
Menurut Fajar, tingkat siaga di Pintu Air Manggarai dibagi menjadi empat. Pertama, siaga empat, yaitu kondisi ketika air mencapai ketinggian 750 di pelskal (garis ketinggian air).
“Siaga tiga, air ada di ketinggian 750-850, dua 850-950, dan siaga satu kalau sudah lebih 950,” kata Fajar saat ditemui, Jumat (4/1).
Tinggi air di pelskal berada di bawah 600, siaga empat. Tiga pintu air yang mengarah ke Kanal Banjir Barat dibuka operator Pintu Air Manggarai.
Berdasarkan pantauan, hanya sedikit tumpukan sampah yang ada di pintu air. Fajar mengatakan, Suku Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta ikut berperan dalam pembersihan sampah yang ada di pintu air.
“Biasanya kalau ada peningkatan ketinggian muka air, dia bawa sampah ke Pintu Air Manggarai ini. Jenis sampahnya itu biasanya sampah rumah tangga, ujar Fajar.
Terkendala lahan
Salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta adalah normalisasi Sungai Ciliwung. Normalisasi sungai dilakukan dengan tujuan mengembalikan lebar atau galian sungai, dari 10-20 meter menjadi kondisi normal, yakni 35-50 meter. Dengan begitu, kapasitas tampung alir, dari sebelumnya 200 m3 per detik bisa meningkat menjadi 570 m3 per detik.
Normalisasi ini akan memfungsikan sempadan sebagai jalan inspeksi di sepanjang sisi Sungai Ciliwung, dengan lebar 6-8 meter.
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWS Cilicis) Bambang Hidayah, proyek normalisasi Sungai Ciliwung mulai dikerjakan pada 2013 hingga 2017. Pada 2018 proyek ini dihentikan dan tidak masuk dalam APBN, karena masalah ketersediaan lahan.
Dari data BBWS Cilicis, Sungai Ciliwung melewati delapan kecamatan dan 15 kelurahan di DKI Jakarta. Delapan kecamatan yang dilewati aliran Sungai Ciliwung, antara lain Tebet, Pancoran, Pasar Minggu, Jagakarsa, Matraman, Jatinegara, Kramatjati, dan Pasar Rebo. Dari target 33 kilometer panjang sungai yang akan ditanggul, baru sepanjang 16 kilometer yang selesai.
Proyek normalisasi ini terbentang dari kawasan jembatan Jalan T.B Simatupang hingga Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Proyek ini juga terbagi atas empat ruas. Ruas I (Pintu Air Manggarai–Jembatan Casablanca), Ruas II (Jembatan Casablanca–Jembatan Kalibata), Ruas III (Jembatan Kalibata–Jembatan Condet), dan Ruas IV (Jembatan Condet–Jembatan Tol TB Simatupang).
Bambang mengatakan, pemerintah pusat melalui BBWS Cilicis sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp1,83 triliun untuk proyek multiyears contract (kontrak tahun jamak) tersebut. Pada akhir 2017 anggaran yang sudah terserap mencapai Rp842,8 miliar.
“Ya, tahun 2018 dan 2019 tidak ada proyek ini. Tidak masuk anggaran. Karena kami masih menunggu ketersediaan lahan. Kalau sudah ada laporannya baru bisa kami ajukan untuk dilanjutkan kembali,” kata Bambang saat dihubungi, Jumat (4/12).
Bambang mengatakan, pihaknya masih menunggu laporan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Sumber Daya Air, serta Pemprov DKI Jakarta mengenai progres pembebasan lahan. Pertemuan terakhir antarpihak tersebut sudah dilakukan pada Desember 2018.
“Dalam pertemuan itu, salah satunya dibahas masalah pembebasan lahan. (Pemprov) DKI Jakarta memang kesulitan, karena banyak warga yang tidak mau menerima uang ganti rugi lahan. Mereka maunya direlokasi, sehingga harus menyiapkan rusun pengganti,” ujar dia.
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, jika normalisasi ini sudah selesai, secara teknis akan banyak masalah yang terpecahkan di Jakarta. Pertama, banjir bisa dicegah, karena sungai lebih besar menampung air. Kedua, ketersediaan air baku yang bersih juga akan meningkat. Ketiga, inspeksi sungai-sungai menjadi lebih mudah.
Selain itu, nantinya kawasan yang dilintasi Sungai Ciliwung akan lebih bersih. Bahkan, seperti mimpi Presiden Joko Widodo, sungai ini bisa menjadi daya tarik wisata bagi penduduk.
“Akan lebih banyak ruang terbuka publik yang tersedia di sekitaran aliran sungai,” kata dia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, awal musim hujan terjadi pada Oktober, November, dan Desember 2018. Sedangkan puncak musim hujan akan terjadi pada Januari hingga Februari 2019.
Sebanyak 129 kelurahan di Jakarta pun terancam kebanjiran, akibat meluapnya sungai. Salah satu sungai di Jakarta yang akan meluap bila musim hujan tiba adalah Sungai Ciliwung.
Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, yang berasal dari hulu Sungai Ciliwung, biasa dipakai untuk “pemandu” banjir di wilayah Jakarta. Dari pantauan reporter Alinea.id, Jumat (4/1) kondisinya masih normal.
Salah seorang operator pintu air yang dibangun pada masa kolonial itu, Fajar Zuli mengatakan, kondisi normal ini karena tak ada peningkatan debit air di Bendungan Katulampa, Bogor.
Menurut Fajar, tingkat siaga di Pintu Air Manggarai dibagi menjadi empat. Pertama, siaga empat, yaitu kondisi ketika air mencapai ketinggian 750 di pelskal (garis ketinggian air).
“Siaga tiga, air ada di ketinggian 750-850, dua 850-950, dan siaga satu kalau sudah lebih 950,” kata Fajar saat ditemui, Jumat (4/1).
Tinggi air di pelskal berada di bawah 600, siaga empat. Tiga pintu air yang mengarah ke Kanal Banjir Barat dibuka operator Pintu Air Manggarai.
Berdasarkan pantauan, hanya sedikit tumpukan sampah yang ada di pintu air. Fajar mengatakan, Suku Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta ikut berperan dalam pembersihan sampah yang ada di pintu air.
“Biasanya kalau ada peningkatan ketinggian muka air, dia bawa sampah ke Pintu Air Manggarai ini. Jenis sampahnya itu biasanya sampah rumah tangga, ujar Fajar.
Terkendala lahan
Salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta adalah normalisasi Sungai Ciliwung. Normalisasi sungai dilakukan dengan tujuan mengembalikan lebar atau galian sungai, dari 10-20 meter menjadi kondisi normal, yakni 35-50 meter. Dengan begitu, kapasitas tampung alir, dari sebelumnya 200 m3 per detik bisa meningkat menjadi 570 m3 per detik.
Normalisasi ini akan memfungsikan sempadan sebagai jalan inspeksi di sepanjang sisi Sungai Ciliwung, dengan lebar 6-8 meter.
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWS Cilicis) Bambang Hidayah, proyek normalisasi Sungai Ciliwung mulai dikerjakan pada 2013 hingga 2017. Pada 2018 proyek ini dihentikan dan tidak masuk dalam APBN, karena masalah ketersediaan lahan.
Dari data BBWS Cilicis, Sungai Ciliwung melewati delapan kecamatan dan 15 kelurahan di DKI Jakarta. Delapan kecamatan yang dilewati aliran Sungai Ciliwung, antara lain Tebet, Pancoran, Pasar Minggu, Jagakarsa, Matraman, Jatinegara, Kramatjati, dan Pasar Rebo. Dari target 33 kilometer panjang sungai yang akan ditanggul, baru sepanjang 16 kilometer yang selesai.
Proyek normalisasi ini terbentang dari kawasan jembatan Jalan T.B Simatupang hingga Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Proyek ini juga terbagi atas empat ruas. Ruas I (Pintu Air Manggarai–Jembatan Casablanca), Ruas II (Jembatan Casablanca–Jembatan Kalibata), Ruas III (Jembatan Kalibata–Jembatan Condet), dan Ruas IV (Jembatan Condet–Jembatan Tol TB Simatupang).
Bambang mengatakan, pemerintah pusat melalui BBWS Cilicis sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp1,83 triliun untuk proyek multiyears contract (kontrak tahun jamak) tersebut. Pada akhir 2017 anggaran yang sudah terserap mencapai Rp842,8 miliar.
“Ya, tahun 2018 dan 2019 tidak ada proyek ini. Tidak masuk anggaran. Karena kami masih menunggu ketersediaan lahan. Kalau sudah ada laporannya baru bisa kami ajukan untuk dilanjutkan kembali,” kata Bambang saat dihubungi, Jumat (4/12).
Bambang mengatakan, pihaknya masih menunggu laporan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Sumber Daya Air, serta Pemprov DKI Jakarta mengenai progres pembebasan lahan. Pertemuan terakhir antarpihak tersebut sudah dilakukan pada Desember 2018.
“Dalam pertemuan itu, salah satunya dibahas masalah pembebasan lahan. (Pemprov) DKI Jakarta memang kesulitan, karena banyak warga yang tidak mau menerima uang ganti rugi lahan. Mereka maunya direlokasi, sehingga harus menyiapkan rusun pengganti,” ujar dia.
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, jika normalisasi ini sudah selesai, secara teknis akan banyak masalah yang terpecahkan di Jakarta. Pertama, banjir bisa dicegah, karena sungai lebih besar menampung air. Kedua, ketersediaan air baku yang bersih juga akan meningkat. Ketiga, inspeksi sungai-sungai menjadi lebih mudah.
Selain itu, nantinya kawasan yang dilintasi Sungai Ciliwung akan lebih bersih. Bahkan, seperti mimpi Presiden Joko Widodo, sungai ini bisa menjadi daya tarik wisata bagi penduduk.
“Akan lebih banyak ruang terbuka publik yang tersedia di sekitaran aliran sungai,” kata dia.
Jalan terus
Berbeda dengan pernyataan Bambang, Kepala Dinas Sumber Daya Air Pemprov DKI Jakarta Teguh Hendarwan justru mengatakan, program pengendalian banjir dengan menormalisasi sungai tetap berjalan. Bahkan, program ini masuk ke dalam kegiatan strategis daerah, selain program pengolahan air bersih dan limbah di ibu kota.
Teguh menuturkan, pada 2018 pihaknya sudah menggelontorkan Rp900 miliar untuk pembebasan lahan ratusan bidang tanah di bantaran Sungai Pesanggrahan, Sunter, Ciliwung, dan Cipinang.
"Itu merupakan program strategis nasional yang sudah ditunggu-tunggu Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)," katanya kepada reporter Alinea.id, Jumat (4/1).\
Pintu Air Manggarai, Jakarta, masih normal. (Alinea.id/Annisa Saumi).
Pada 2018, Teguh menyampaikan, pihaknya juga sudah menuntaskan pembebasan lahan di Krematorium Cilincing, Kalibaru, Jakarta Utara untuk pembangunan tanggul laut, dengan mekanisme bagi hasil. Kesepakatan antara pemerintah dengan pemilik lahan menghabiskan dana sebesar Rp27 miliar.
"Saya sudah bersurat kepada Kemen PUPR supaya di tahun ini (2019) segera dibangunkan polder untuk proses penanganan banjir selanjutnya," ujar Teguh.
Tahun ini, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta menganggarkan Rp850 miliar untuk menangani masalah banjir. Perinciannya, Rp500 miliar untuk menuntaskan program normalisasi dan Rp350 miliar untuk naturalisasi di waduk, situ, dan embung.
Selanjutnya, Tegus menjelaskan, Rp500 miliar itu akan dikeluarkan untuk melanjutkan normalisasi di empat sungai yang sudah dikerjakan sejak 2018. Anggaran itu juga dialokasikan untuk membebaskan 16 bidang tanah di Cipinang Melayu, Jakarta Timur.
“(Pembebasan lahan itu) sesuai perintah langsung Gubernur Anies Baswedan saat meninjau banjir di kawasan tersebut beberapa waktu lalu,” kata Teguh.
Normalisasi, kata Teguh, akan dikejar terus pada 2019. Dia mengaku, pekerjaan ini tak mudah, karena lahan yang akan dibebaskan bukan hamparan tanah yang bisa langsung dibayar. Namun, ada persoalannya, seperti kelengkapan surat-surat, dan lain sebagainya.