Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, membantah telah menekan Miryam S Haryani, tersangka pemberi keterangan palsu terkait kasus pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau KTP-el.
Demikian kesaksian Novel disampaikan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor pada Rabu, (9/10). Menurut Novel, pemeriksaan terhadap bekas politikus Partai Hanura dalam kasus KTP-el telah berjalan sebagaimana mestinya. Sama seperti pemeriksaan kepada para tersangka lainnya.
“Saya kira (pemeriksaan berjalan) seperti biasa. Ketika saksi hadir, penyidik yang melakukan pemeriksaan, mengklarifikasi, menanyakan hal yang ingin ditanyakan kepada Ibu Miryam,” kata Novel saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (9/10).
Tak hanya itu, Novel juga menyangkal telah menekan Miryam sejak pemeriksaan pertama. Novel menjelaskan, dalam mengusut kasus korupsi KTP-el, dirinya hanya bertindak sebagai koordinator tim penyidik. Sebagai korrdinator, saat pemeriksaan pertama kali, ia tak ikut serta.
"Pertama kali yang periksa (Miryam) bukan saya, yang meriksa seinget saya itu tim saya. Seingat saya, pemeriksaan yang keempat, baru saya yang memeriksa Ibu Miryam. Sebelumnya bukan saya," ucap Novel.
Seperti diberitakan sebelumnya, Miryam mengaku mendapat tekanan dari Novel Baswedan saat menjalani pemeriksaan pertama terkait kasus KTP-el. “Seingat saya waktu saya dipanggil pertama kali, saya disebut 'Bu Yani mau ditangkap' itu sekitar tahun 2010. Itu buat saya tekanan pak," ujar Miryam.
Miryam diketahui merupakan terpidana kasus pemberian keterangan palsu terkait perkara pengadaan KTP-el. Majelis hakim memvonis Miryam selama lima tahun penjara serta denda sebesar Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Disinyalir, Markus Nari yang memesan agar Miryam dapat memberikan keterangan palsu dalam kasus tersebut. Hal itu sesuai dengan dakwaan Markus, yang dianggap telah merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi proyek KTP-el.
Markus dianggap sengaja mencegah atau merintangi pemeriksaan Miryam S Haryani, yang saat itu berstatus saksi dalam persidangan untuk terdakwa Sugiharto. Tak hanya itu, Markus juga didakwa memperkaya diri sendiri dengan nilai US$1.400.000 dari proyek KTP-el. Selain itu, dia juga didakwa telah memperkaya orang lain dam koorporasi.
Atas perbuatannya Markus dianggap melanggar Pasal 21 atau Pasal 22 Jo. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.