Obral istilah pembatasan dan berharap hasil berbeda, apa waras?
Pandemi Covid-19 sudah menghajar sendi-sendi kehidupan negeri ini selama setahun empat bulan. Berbagai jurus diracik pemerintah. Harapannya, penularan Covid-19 berangsur-angsur bisa dijinakkan.
Harapan itu masih jauh dari tercapai. Sejak awal Juli 2021, penambahan kasus positif terus menanjak. Seperti penggalan syair lagu 'Naik-naik ke Puncak Gunung', kasus positif karena virus Sars-Cov-2 terus meninggi. Varian Delta mengamuk seantero negeri.
Pada 15 Juli lalu, tambahan kasus positif baru per hari mencapai 56.757 orang. Rekor baru kasus positif terus bertumbangan. 'Prestasi' ini membuat Indonesia berubah menjadi episentrum penularan Covid-19 di Asia, menggeser posisi India.
Kunci mengendalikan penyakit akibat jasad renik ini, seperti disampaikan banyak epidemiolog adalah membatasi mobilitas warga. Pada saat yang sama, seperti diserukan epidemiolog UI Pandu Riono, dilakukan jurus 3T: testing, tracing, dan treatment.
Tidak tinggal diam, pemerintah amat aktif membatasi mobilitas warga. Salah satu bukti keaktifan itu adalah pemerintah selalu gonta-ganti istilah dalam kebijakan pembatasan mobilitas manusia.
Dari PSBB hingga PPKM
Pertama kali kasus positif diumumkan pada 2 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo, bulan berikutnya pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Istilah ini dicomot dari UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Lewat Permenkes Nomor 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, bekerja dari kantor (work from office/WFO) berlaku untuk industri esensial. Mal hanya dibuka untuk pembelian kebutuhan pokok warga.
Pengetatan dan pengenduran dilakukan seirama naik-turun kasus Covid-19. Di Jakarta misalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menarik tuas rem keras-keras dengan memperketat PSBB setelah Covid kian merajalela, 14 September 2020.
Sebagian besar perkantoran wajib kembali menerapkan bekerja dari rumah (work from home/WFH).
"Mulai Senin, 14 September kegiatan perkantoran yang non-esensial diharuskan melaksanakan bekerja dari rumah," kata Anies dalam siaran langsung Pemprov DKI Jakarta, 9 September 2020.
Hanya 11 bidang usaha esensial yang diperkenankan bekerja dari kantor. Antara lain usaha bahan pangan, energi, telekomunikasi dan teknologi informatika, keuangan, logistik, industri strategis, pelayanan dasar, dan kebutuhan sehari-hari.
Sejak awal tahun ini, pemerintah ogah memakai istilah PSBB. Sebagai gantinya, dikenalkan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pertama kali berlaku, Februari 2021, digulirkan PPKM berbasis skala mikro.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Airlangga Hartarto menjelaskan, tujuan utama PPKM Mikro adalah untuk menekan kasus positif dan melandaikan kurva sebagai prasyarat utama keberhasilan dalam penanganan Covid-19.
PSBB dan PPKM mikro berbeda dari pembedaan zona. Misal, WFH 75% di zona merah, WFH 50% di zona lainnya. Sedangkan pusat belanja/mal/pusat perdagangan boleh buka dengan jam operasional sampai pukul 20.00. Pengunjung maksimal 25% kapasitas.
Akhir Juni 2021, kasus Covid-19 terus menanjak dan terus melaju pada Juli. Varian Delta yang lebih menular membuat pemerintah kembali menarik tuas rem lebih keras: membelakukan PPKM Darurat.
Presiden Jokowi menjelaskan, keputusan ini diambil setelah mendapatkan masukan dari para menteri, ahli kesehatan, dan kepala daerah. "Saya memutuskan memberlakukan PPKM darurat 3-20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali," kata Jokowi, Kamis (1/7).
Karena Covid-19 tak kunjung melandai, pemerintah memperpanjang PPKM darurat hingga 25 Juli 2021. "Jika tren kasus terus menurun, maka 26 Juli 2021, pemerintah akan melakukan pembukaan bertahap," ujar Jokowi di akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (20/7).
Obral istilah
Seperti yang sudah-sudah, yang diotak-atik adalah sektor usaha yang boleh beroperasi dan tidak. Bedanya hanya pada durasi dan kapasitas. Misalnya, warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan dan sejenisnya yang tempat usahanya di ruang terbuka diizinkan buka dengan protokol kesehatan ketat sampai pukul 21.00 dan maksimum waktu makan untuk setiap pengunjung 30 menit.
Selanjutnya, pasar tradisional yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari diizinkan buka sampai pukul 20.00 dengan kapasitas pengunjung 50%. Juga penerapan protokol kesehatan yang ketat yang pengaturannya ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Karena yang diotak-atik adalah istilah, ekonom Faisal Basri menjuluki pemerintah tengah mengobral istilah. Lewat cuitan twitternya, @FaisalBasri, ia menulis: "Kok tak kapok-kapok obral istilah?"
Kok tak kapok-kapok obral istilah? Terus saja melakukan hal yg serupa berulang-ulang mendambakan hasil yang berbeda. Kata Einstein itu wujud ketidakwarasan.https://t.co/bFJozWB5Rg
— Faisal Basri (@FaisalBasri) July 21, 2021
Di sisi lain, lewat obral istilah itu pemerintah berharap bakal menghasilkan hal berbeda. Padahal, apa yang dilakukan pemerintah -- lewat obral istilah -- itu hal yang serupa.
"Terus saja melakukan hal yg serupa berulang-ulang mendambakan hasil yang berbeda. Kata Einstein itu wujud ketidakwarasan," tulis Faisal Basri.
Di sisi lain, Pandu Riono menyarankan agar Presiden Jokowi menggunakan kriteria yang berbasis data akurat dan sains dalam menetapkan kebijakan pengetatan dan pelonggaran.
"Pandemi harus dikendalikan dengan manajemen pemerintahan yang andal. Pemerintak tak punya National Pandemic Response. KPC-PEN sudah gagal, bubarkan saja," tulis 'Juru Wabah' asal Universitas Indonesia itu lewat akun twitternya, @drpriono1.
Seharusnya pak @jokowi menggunakan kriteria yg berbasis akurat dan sains dalam menetapkan kebijakan pengetatan dan pelonggaran. Pandemi harus dikendalikan dg manajemen pemerintahan yg andal. Pemerintak tak punya National Pandemic Response. KPC-PEN sudah gagal, bubarkan saja. pic.twitter.com/EMRX0DHoIb
— Juru Wabah ???????? (@drpriono1) July 21, 2021
Menurut Pandu, PPKM darurat gagal pasti ada penyebabnya. Ia menunjuk pada intervensi yang terlambat dan kurang fokus pada upaya menutup keran kasus yang terus mengalir tak terbendung. Akibatnya, layanan rumah sakit terancam kolaps.
Karena virus varian Delta sudah menyebar luas di berbagai provinsi, Pandu kembali meminta agar pemerintah mewajibkan rakyat memakai masker. Edukasi dan memastikan ketersediaan masker.
"Genjot vaksinasi, gunakan semua vaksin yang tersedia. Jangan malu minta vaksin yang berlebih yang dimiliki negara lain. Fokus untuk Stop banjir kasus dengan tes-lacak-isolasi," tulis dia.