Ombudsman RI menemukan adanya dugaan maladministrasi dalam penanggulangan dan pengendalian penyakit mulut dan kuku (PMK) yang dilakukan Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan). Hal tersebut disampaikan anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Kamis (14/7).
"Ombudsman berpandangan terdapat dugaan sangat kuat maladministrasi yang dilakukan Badan Karantina dalam bentuk kelalaian dan pengabaian kewajiban dalam melakukan tindakan pencegahan setelah mengetahui adanya dugaan kuat telah terjadi infeksi PMK di beberapa daerah di Indonesia," kata Yeka.
Yeka mengungkapkan, Badan Karantina tidak kompeten dalam menahan penyebaran PMK. Hal ini didasarkan pada terjadinya penyebaran PMK di lima provinsi baru dalam kurun waktu 13 Juni-13 Juli 2022.
Adapun kelima provinsi baru yang terdampak PMK tersebut yakni Bali, Sulawesi Selatan, Kepuluan Riau, DKI Jakarta, dan Bengkulu.
"Ombudsman menilai, dengan adanya penyebaran PMK di 5 propinsi baru ini dalam satu bulan terakhir, menandakan Badan Karantina jelas-jelas gagal dan tidak kompeten dalam menahan penyebaran PMK," ujar Yeka.
Yeka mengungkapkan, Badan Karantina melalui unit Pusat Karantina Hewan bertugas mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular. Namun, fungsi pengawasan Badan Karantina dalam hal ini dinilai lemah.
Hal ini terlihat dari munculnya beberapa kasus wabah penyakit ternak di Indonesia. Sejak akhir 2019 hingga Mei 2022, ada tiga jenis penyakit eksotik yang menyebar di dalam negeri yakni wabah demam babi (ASF), wabah penyakit kulit berbenjol (LSD), dan wabah PMK.
"Ketiga penyakit hewan menular tersebut yaitu ASF, LSD dan PMK adalah penyakit yang sangat merugikan industri peternakan di Indonesia. Dalam waktu cepat sejak ditetapkannya wabah oleh menteri, penyakit tersebut menyebar ke provinsi dan pulau-pulau lainnya," ungkap Yeka.
Selain itu, Yeka menyayangkan inkompetensi Badan Karantina dalam menjalankan tugas dan fungsinya mencegah penyebaran penyakit menular hewan. Terlebih, kata Yeka, lembaga ini menyerap anggaran yang tidak sedikit.
"Setiap tahunnya Badan Karantina Pertanian menghabiskan anggaran kurang lebih Rp1 triliun. Tidak sedikit uang rakyat digunakan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Badan Karantina, namun demikian lembaga tersebut gagal dalam membendung pelbagai penyakit eksotik di wilayah Indonesia," terangnya.
Untuk itu, Yeka menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kinerja instansi Badan Karantina Pertanian, khususnya Karantina Hewan. Terlebih, mitigasi dan penanganan ke depan perlu lebih ditingkatkan mengingat potensi nilai kerugian akibat PMK terus meningkat setiap harinya.