Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan sejumlah permasalahan dalam sidang secara daring oleh pengadilan di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19). Terbatasnya ruang sidang dengan perlengkapan memadai, misalnya, sehingga berdampak pada lamanya jadwal karena harus bergantian.
"Efeknya timbul potensi malaadministrasi terkait penundaan berlarut atau ketidakjelasan waktu jalannya persidangan," ujar Anggota ORI, Adrianus Meilala, melalui keterangan pers di Kantor ORI, Jakarta, Selasa (9/6).
Masalah berikutnya terkait tidak stabilnya jaringan internet. Terkadang terhenti sementara dan persidangan tak berjalan optimal.
Kualitas audio yang buruk juga berpotensi mengganggu proses persidangan. Tak ayal, proses permintaan dan pemberian keterangan dari berbagai pihak kerapkali tidak terdengar jelas.
Adrianus melanjutkan, sidang bisa terpaksa dihentikan karena gedung pengadilan tidak memiliki genset untuk mengantisipasi terputusnya arus listrik.
Karenanya, ORI meminta Mahkamah Agung (MA) menambah tenaga teknologi informasi (TI) di setiap pengadilan. Pasalnya, minimnya petugas menyumbang potensi malaadministrasi.
"Tenaga yang terbatas menyebabkan persiapan persidangan virtual menjadi lamban, terlebih jika terdapat kendala teknis di tengah persidangan," jelasnya.
MA pun diminta membentuk tim khusus untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan persidangan daring. Apalagi, terkait penerapan protokol kesehatan di lingkungan pengadilan.
Selanjutnya, MA dituntut mengoptimalkan koordinasi antarinstansi hukum dalam penyelenggaran persidangan. Dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen PAS Kemenkumham), khususnya.
ORI turut menyarankan MA menyusun standarisasi sarana dan prasarana (sapras) demi meningkatkan kualitas penyelenggaraan persidangan.
"Kendala teknis ditemukan, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antarpihak yang kurang baik, penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tidak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta," tutur Adrianus.
Dirinya menerangkan, kajian cepat mengenai penyelenggaraan persidangan daring ini dilakukan dengan metode pengambilan data melalui diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD), wawancara, survei, dan observasi.
Ruang lingkup kajian mencakup 16 pengadilan negari (PN). PN Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan Manokwari.
MA diketahui menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas SEMA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Berdasarkan kajian Ombudsman, nyaris semua protokol kesehatan pencegahan Covid-19 telah dilaksanakan. Sebanyak 15 dari 16 PN (94%) menyiapkan tempat cuci tangan, hand sanitizer, dan mewajibkan pemakaian masker. Namun, sebesar 13 PN (81%) belum menyediakan bilik disinfektan.
Kemudian, Sebanyak 11 PN (69%) menerapkan kebijakan pembatasan jumlah pengunjung; 13 PN (87%) memberlakukan sistem piket; 15 PN (94%) tetap membuka pelayanan terpadu satu pintu (PTSP); sembilan PN (56%) tetap menghadirkan saksi dalam persidangan perkara pidana; dan enam PN (37%) memberlakukan pembatasan pendaftaran perkara perdata.