Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) bersama keluarga korban gagal ginjal akut mendesak Ombudsman RI (ORI) mengeluarkan rekomendasi atas praktik malaadministrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam kasus obat sirop beracun.
Dalam kasus ini, TANDUK dan keluarga korban gagal ginjal akut menilai, Kemenkes dan BPOM tidak kompeten dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal tersebut disampaikan saat menyambangi Ombudsman untuk beraudiensi terkait kasus gagal ginjal akut, Jumat (23/12).
"Tim bersama keluarga korban menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban pelayanan publik di bidang kesehatan," kata anggota tim advokasi, Siti Habiba, dalam audiensi.
Kegagalan tersebut terlihat dari lolosnya izin peredaran obat sirop mengandung cemaran senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Hal ini disinyalir mengakibatkan lebih dari 200 anak meninggal dunia dan ratusan anak lainnya menderita gangguan ginjal akut serta penyakit penyerta lainnya.
Habiba menyebut, penyelenggaraan pelayanan publik harus dilakukan berdasarkan asas kepentingan umum, kepastian hukum, dan akuntabilitas. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Sementara itu, BPOM terindikasi tak menjalankan kewenangan pengawasan obat sebelum diedarkan (pre-market) dan saat diedarkan (post-market) dengan baik. Salah satunya adalah soal tidak adanya penetapan standar khusus pengujian kandungan EG/DEG dalam obat sirup.
"Tidak ditetapkannya suatu standar pengujian tersebut yang mengakibatkan obat sirup yang mengandung zat beracun EG dan DEG bisa lolos di pasaran dan dikonsumsi," ujar dia.
Disampaikan Habiba, Kemenkes dan BPOM dinilai gagal mengutamakan kepentingan umum dan akuntabililitas dalam pelayanan publik. Ini dinilai menyimpang dari Pasal 15 UU 25/2009 yang mengamanatkan penyelenggara pelayanan publik memberikan pelayanan berkualitas sesuai asas penyelenggaraan pelayanan publik.
"Termasuk gagal melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan dan memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan," tutur Habiba.
Habiba menambahkan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, adanya tindakan negara yang menyebabkan bencana keracunan dan kematian massal dapat disimpulkan sebagai tindakan malaadministrasi. Atas dasar tersebut, TANDUK meminta Ombudsman segera mengambil langkah serius dengan mengedepankan kepentingan korban.