close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon penumpang pesawat mengikuti tes cepat antigen di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (22/12/2020)/Foto Antara Fauzan.
icon caption
Calon penumpang pesawat mengikuti tes cepat antigen di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (22/12/2020)/Foto Antara Fauzan.
Nasional
Rabu, 30 Juni 2021 11:18

Ombudsman DKI minta Kemenkes evaluasi harga rapid test antigen yang mahal

Mahalnya tarif picu masyarakat enggan jalani tes antigen, padahal dibutuhkan untuk mendeteksi penularan Covid-19.
swipe

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Jakarta Raya meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengevaluasi batasan tarif tertinggi tes antigen, sebagaimana tertuang di Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor: HK.02.02/1/4611/2020.

Menurut Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, harga rapid test antigen masih kemahalan karena di kisaran Rp250 ribu untuk Pulau Jawa dan Rp275 ribu luar Pulau Jawa. Harga yang mahal ini memicu masyarakat tidak melakukan tes. Padahal, tes antigen dibutuhkan sebagai alat mendeteksi penularan Covid-19, bukan hanya syarat perjalanan.

“Di gelombang dua ini banyak keluarga suspect Covid-19 yang kemudian tidak di-testing dan di-tracking apalagi di-treatment (3T) sebagaimana yang tercantum di dalam Buku Saku Pelacakan Kontak Kasus Covid-19 Kemenkes RI oleh pihak penyedia layanan kesehatan terdekat karena keterbatasan personel,” ujar Teguh lewat pernyataan tertulis, Selasa (29/6).

Ombudsman, imbuh Teguh, banyak menemukan suspect Covid-19 yang hasil tes usapnya positif harus melakukan Polymerase Chain Reaction (PCR) sendiri karena lambatnya penanganan tracing dan tracking. Kondisi itu disebabkan personel yang terbatas.

“Personel yang terbatas membuat masih banyak suspect Covid-19 yang kemudian harus melakukan swab mandiri bagi anggota keluarga lainnya dan test PCR mandiri,” lanjutnya.

Menurut Teguh, bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, pilihan melakukan tes usap mandiri menjadi berat saat menunggu penanganan dari Puskesmas atau tracer setempat karena antigen masih mahal. Sementara personel yang terbatas, membuat tracer mengutamakan keluarga yang diduga sudah pasti positif.

Di sisi lain, tingginya antusiasme warga mempergunakan GeNose sebagai alat deteksi Covid-19 untuk perjalanan disebabkan harga yang murah, bukan tingkat akurasinya.

“Jika kita asumsikan alat GeNose digratiskan saja dan biaya Rp30 ribu itu hanya untuk biaya APD, personel, administrasi dan keuntungan, kenapa rapid swab antigen tidak bisa lebih murah dari harga yang ada sekarang jika keempat komponen tersebut bisa sebesar biaya komponen GeNose?” tanya Teguh.

Selain penetapan harga antigen yang lebih wajar, Ombudsman Jakarta Raya juga minta Kemenkes memberikan subsidi, bahkan pembebasan biaya bagi warga yang keluarganya suspect positif Covid-19 untuk melakukan swab di fasilitas kesehatan manapun. Tujuannya, mempercepat proses 3T (testing, tracing, treatment). 

“Hal ini untuk mengantisipasi lambatnya swab yang dilakukan Puskesmas atau rumah sakit rujukan karena membludaknya suspect Covid-19 dan minimnya personel yang mereka miliki,” tutup Teguh.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan