Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah segera mengajak para pengusaha dan serikat pekerja untuk duduk bersama mencari solusi terbaik, khususnya terkait fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi.
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pemerintah perlu mengefektifkan peran pengawas ketenagakerjaan untuk mencermati situasi di lapangan dan mengumpulkan data sebagai bahan pengambilan kebijakan.
"Kami meminta agar pemerintah segera duduk bersama dengan pelaku usaha dan pekerja untuk mencari jalan terbaik yang mengakomodir kepentingan para pihak," kata Robert dalam keterangan pers daring, dikutip Jumat (2/12).
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), tercatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK hingga Oktober 2022 mencapai 11.626 pekerja. Sedangkan berdasarkan data dari Asosiasi Persepatuan dan Alas Kaki Indonesia, sejak Pandemi Covid-19 hingga saat ini telah terjadi PHK terhadap 25.700 pekerja pada bidang usaha persepatuan dan alas kaki.
Menurut Robert, PHK ini tidak berjalan secara serta merta, namun melalui berbagai proses. Sehingga, jika pemerintah dapat merespons dengan cepat, maka PHK massal dapat diantisipasi.
Robert menilai, fenomena PHK massal ini diduga sebagai buntut dari penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2023 yang baru ditetapkan pemerintah.
"Informasi yang kami peroleh, dalam penetapan kebijakan UMP ini pelibatan para pihak terkait masih minim, seperti unsur pemberi kerja, serikat pekerja hingga Dewan Pengupahan. Apabila pada prosesnya ada partisipasi-bermakna dari pihak terkait, maka kebijakan yang diambil juga akan didukung semua pihak," ujar dia.
Di samping itu, imbuh Robert, pihaknya berpendapat ada dualisme regulasi terkait fenomena ini yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Regulasi yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan UMP Tahun 2023.
"Pemerintah perlu bertindak cermat dalam memberikan kepastian hukum dan hierarki norma kebijakan, untuk menghindari benturan kepentingan antara pengusaha dan pekerja," terang Robert.
Apabila PHK tidak terhindarkan, Robert mengingatkan kepada pemberi pekerja untuk tetap memperhatikan hak-hak pekerja. Di antaranya, pengusaha wajib memperhatikan alasan dan prosedur dalam melakukan PHK.
Terkait hal ini, Kemnaker dan dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota harus memastikan hasil audit perusahaan yang dilakukan oleh akuntan publik sesuai dengan kondisi riil perusahaan. Selain itu, kedua instansi tersebut harus mengawasi kontrak kerja, perjanjian kerja bersama (PKB) dan peraturan perusahaan.
Robert menegaskan, pihak perusahaan wajib memenuhi hak-hak pekerja usai melakukan PHK. Misalnya, terkait pesangon dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima.
Kemudian, pemberi kerja juga harus memastikan hak-hak perlindungan masoh diterima para pekerja, baik berupa jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan.
"Ombudsman banyak menemukan para pekerja yang terkena PHK langsung terputus dari BPJS Kesehatan. Baik perusahaan maupun BPJS Kesehatan perlu merespons cepat dengan mengalihkan skema kepesertaannya dari pekerja menjadi penerima bantuan iuran BPJS," jelas Robert.
Disampaikan Robert, Ombudsman siap menerima aduan baik dari pemberi kerja maupun serikat pekerja yang ingin melaporkan pelayanan publik bidang ketenagakerjaan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Di samping itu, Ombudsman juga akan melakukan mitigasi pencegahan dengan membangun komunikasi dan koordinasi dengan Kemnaker, Kemensos, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan instansi terkait.