Ombudsman Republik Indonesia mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian segera mengusulkan naskah Peraturan Pemerintah (PP) terkait Penjabat (Pj) kepala daerah. Dari sisi substantif, penerbitan PP tentang Pj kepala daerah merupakan mandat Pasal 86 ayat 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal itu menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota diatur dalam peraturan pemerintah.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, regulasi tersebut perlu mengatur seluruh mekanisme atau prosedur terkait Pj kepala daerah mulai dari pengangkatan hingga pemberhentian.
"Materi muatan yang kita harapkan dari PP ini bukan sekedar soal pengisian jabatan atau pengangkatan, tetapi juga soal batas dan lingkup kewenangan ketika dia sudah duduk, kemudian evaluasi kinerja selama tiga bulanan, kemudian nanti sampai kepada pemberhentiannya," kata Robert saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (19/12).
Muatan regulasi tersebut harus diatur dengan peraturan setingkat peraturan pemerintah, bukan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) sebagaimana yang saat ini menjadi acuan dalam pengangkatan Pj kepala daerah. Sebab, pengangkatan Pj kepala daerah tidak hanya dilakukan oleh Mendagri.
Dalam hal ini, pengangkatan Pj gubernur dilakukan oleh presiden, sedangkan Pj bupati/wali kota oleh Mendagri.
"Kalau pengangkatan penjabat kepala daerah itu dilakukan oleh presiden, maka level peraturannya minimal selevel presiden, Perpres, atau bahkan PP. Enggak boleh Permendagri kemudian mengatur-ngatur presiden," ujar Robert.
Robert menuturkan, usulan pembentukan PP terkait Pj kepala daerah dapat menjadi momentum untuk mendorong pemerintah menaati mandat peraturan perundang-undangan. Selain itu, peraturan yang digunakan sebagai acuan regulasi dalam pengangkatan Pj kepala daerah perlu diperbaharui dari segi kebutuhan hukum dan pertimbangan sosiologis.
"Perintah Pasal 86 ayat 6 UU Pemerintah Daerah menyebutkan, pemerintah membuat peraturan pemerintah tentang penjabat kepala daerah. Bukan peraturan yang lain, apalagi tidak ada peraturan, itu tentu salah," tutur Robert.
Berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman, Kemendagri terbukti melakukan tiga praktik maladministrasi dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah. Oleh karenanya, Ombudsman memberikan tiga tindakan korektif yang perlu ditindaklanjuti terkait praktik maladministrasi tersebut.
Sebagian dari tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman kepada Mendagri telah dijalankan, seperti menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor (KontraS, ICW dan Perludem), serta tidak ada lagi pengangkatan Pj Kepala Daerah dari unsur prajurit TNI aktif.
Meski sebagian dari tindakan korektif telah ditindaklanjuti, namun hingga saat ini Mendagri masih belum mengusulkan pembentukan PP tentang Pj Kepala Daerah.
Robert menambahkan, nihilnya kerangka regulasi terkait prosedur pengangkatan Pj Kepala Daerah ini ibarat berjalan dalam ruang gelap kekuasaan. Oleh karenanya, ia meminta adanya regulasi yang mengatur mekanisme Pj kepala daerah secara solid.
"Tidak boleh ada ruang gelap kekuasaan di tiap birokrasi pemerintah, tetapi juga tidak boleh ada upaya saling memproteksi satu sama lain atas maladministrasi yang terjadi," ucap Robert.