Ombudsman RI menilai kasus hukum yang menimpa Baiq Nuril dalam penanganannya terjadi malaadministrasi di setiap tahapan. Itu mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan.
Hal tersebut dikemukan setelah Ombudsman mengadakan pleno pada 8 Juli 2019 membahas kajian hukum terhadap kasus yang menimpa mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram tersebut.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, pihaknya akan menelusuri pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya. “Apakah mereka sudah menggunakan Perkap Nomor 10 Tahun 2007 PPA dalam menangani kasus perempuan dan anak?” kata Ninik saat ditemui di Jakarta pada Kamis, (17/7).
Kemudian, lanjut Ninik di tingkat penuntutan pihaknya menduga juga terjadi malaadministrasi. “Apakah jaksa sudah mempertimbangkan SE Nomor 007/A/JA/11/2011 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam kasus Baiq Nuril?” ujarnya.
Terlebih, kata Ninik di tingkat putusan oleh Mahkamah Agung. Dalam memutus perkara Baiq Nuril, Ninik menilai Mahkamah Agung mengabaikan peraturan yang dibuatnya sendiri. “Pada proses di MA, ketika mengadili kasus Baiq Nuril Mahkamah Agung mengabaikan produk hukumnya sendiri, yakni Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan,” kata Ninik.
Menurut Ninik, lembaga penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan, sampai hakim seharusnya bisa menjalankan kebijakan yang berlaku dan dapat menegakkan keadilan, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Dia mengatakan, setiap lembaga hukum perlu mengetahui proses hukum yang berlaku dan kebijakan yang ada.
"Jangan kebijakan tersebut hanya sebagai kertas, kalau kemudian perspektif penegak hukum tidak dilakukan perubahan," ujar Ninik.
Terkait kasus Baiq Nuril, meski pada akhirnya ada upaya untuk memberikan amnesti sebagai hak prerogatif presiden, namun demikian hal tersebut bukanlah sebuah solusi.
"Apa iya pemerintah akan selalu mengeluarkan amnesti sebagai jalan keluar? Meski amnesti dikeluarkan, namun tidak menghilangkan hukuman yang dicantumkan terhadap Baiq Nuril. Nuril tidak menjalani hukumannya tetapi ketukan palu itu tetap ada dan dia tetap dinyatakan bersalah," ujar Ninik.
Karena itu, Ninik meminta agar Mahkamah Agung sebagai palang pintu terakhir keadilan harus melakukan konstruksi pemahaman tentang perpsektif HAM dan gender, termasuk memastikan setiap prosesnya.
"Perempuan bukan kelompok rentan, tetapi sampai dengan saat ini diketahui bahwa perempuan menjadi rentan karena diskriminasi gender," ujar dia.
Oleh sebab itu, hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa, sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya. Melainkan wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi.
"Menurut kami, masih banyak Baiq-Baiq yang lainnya dengan hal yang sama dan tidak mendapat dukungan dari civil society, sehingga dia tetap menjalani hukumannya," kata Ninik.