Ombudsman memandang, penerapan sistem work from home (WFH) tidak efektif untuk menanggulangi polusi udara di wilayah Jakarta. Kebijakan yang diambil instansi pemerintah pusat dan daerah di wilayah DKI Jakarta dianggap sebagai solusi singkat.
Anggota Ombudsman Hery Susanto mengatakan, pemerintah perlu juga menerapkan penanganan secara sistemik. Bila tidak, maka tidak akan memberikan dampak yang signifikan dalam penanganan masalah polusi udara di Jabodetabek.
”WFH ini kan satu solusi singkat terhadap polusi udara di DKI Jakarta, tapi dinilai tidak efektif. Hal itu perlu dilakukan juga penanganan di sektor hulu dan hilir yang memberikan efek dampak panjang terhadap penanganan polusi,” kata Hery dalam keterangan, Sabtu (26/8).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sektor transportasi sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%. Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36% atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76% 5.252 ton per tahun dan industri 1,25% mencapai 3.738 ton per tahun.
Maka dari itu, Hery memberikan sejumlah masukan kepada pemerintah terkait penanggulangan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurutnya, perlunya kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar.
Oleh sebab, jenis ini menyumbang emisi karbon monoksida yang cukup tinggi. Sehingga masyarakat terutama ASN menjadi teladan untuk menggunakan BBM non subsidi maupun kendaraan listrik.
Langkah Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, yang mengimbau para pegawai eselon IV di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) menggunakan sepeda motor listrik patut didukung untuk menekan polusi udara efek dari emisi kendaraan berbasis BBM fosil.
Selain itu terdapat Inpres No 7/2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Inpres tersebut belum ditindaklanjuti secara massif di hampir semua instansi pemerintah pusat dan daerah, terutama di wilayah Jakarta. Pemerintah perlu menuntaskan regulasi teknis dan anggaran untuk implementasi kendaraan listrik, utamanya semua level instansi pemerintah. Di ranah publik perlu ada kebijakan yang mendorong terciptanya ekosistem kendaraan listrik dengan memberikan insentif bagi pengguna kendaraan listrik, selain adanya pembebasan sistem ganjil genap. Perlu literasi ke masyarakat terkait penggunaan kendaraan listrik agar masif.
"Memiliki kendaraan listrik tidak harus membeli, pemerintah perlu menyusun regulasi konversi mesin dari BBM ke mesin listrik termasuk kemudahan pengurusan ganti mesin dalam STNK dan BPKB kendaraan,” ujar Hery.
Hery juga meminta pemerintah menambah jumlah transportasi massal yang menggunakan tenaga listrik. Sehingga tingkat polusi udara dapat diturunkan.
Terkait Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, Hery mengatakan, pemerintah harus menguatkan pengawasan di lapangan. Misalnya saja dengan mengawasi pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penerapan teknologi ramah lingkungan.
”Pengawasan AMDAL dan penerapan teknologi ramah lingkungan harus dilakukan secara holistik dan berkelanjutan, jangan tebang pilih,” tegas Hery.
Ia mengungkapkan, pihaknya akan melakukan sejumlah tinjauan lapangan di sejumlah PLTU di sekitar Jabodetabek untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan AMDAL. Selanjutnya, Ombudsman akan memberikan tindakan korektif kepada Pemerintah terkait penanganan polusi udara khususnya di wilayah Jabodetabek.