Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang berfokus menyiapkan pelaksanaan asesmen nasional (AN) untuk menggantikan ujian nasional (UN).
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, kebijakan pelaksanaan AN pada Maret 2021, sangat tidak bijak dan terkesan tergesa-gesa karena masih banyak kendala PJJ di tengah pandemi Covid-19.
Setidaknya terdapat enam alasan untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (Mendikbud) menunda pelakasanaan AN pada Maret 2021. Pertama, banyak guru, siswa, dan orang yang belum paham format dan esesi kebijakan resmi Kemendikbud ini. Bahkan, banyak guru dan orang tua yang menganggap UN dan AN sama saja.
“Dalam hal waktu, memang terlihat terburu-buru, sekarang sudah Oktober, sedangkan AN dijadwalkan Maret 2021, persiapannya singkat. Dan yang mesti disadari adalah kondisi siswa masih dalam pembelajaran metode pembelajaran jarak jauh (PJJ), yang pelaksanaannya jauh dari kata optimal dalam konteks kualitas pembelajarannya,” ujar Satriwan dalam keterangan tertulis, Selasa (20/10).
Kedua, anggaran program AN sekitar Rp1,49 triliun disebut sangat fantastis. Bahkan, melampaui dana program organisasi penggerak (POP) yang sempat menjadi polemik. P2G, kata dia, lebih menyarankan anggaran jumbo program AN dialokasikan sementara untuk membantu siswa dan guru selama PJJ secara daring atau luring.
Ketiga, PJJ sudah delapan bulan berjalan, tetapi belum ada perbaikan signifikan. Bantuan PJJ luring hanya terkait penayangan pembelajaran TVRI dan RRI. Persoalan siswa dan guru yang tidak memiliki gawai, susah mendapatkan sinyal internet, akses ke rumah siswa yang sulit dijangkau guru, keterbatasan waktu tatap muka, dan biaya ekstra untuk PJJ luring semestinya diperhatikan karena memperlihatkan penurunan kualitas pembelajaran.
“Khususnya di daerah yang melaksanakan PJJ luring. Lebih baik Kemendikbud fokus menyelesaikan ini dulu. Anggarannya dimanfaatkan membenahi PJJ luring, ketimbang memaksakan AN yang berbiaya besar,” tutur Satriwan.
Keempat, program AN terlalu dipaksakan karena tidak sesuai kebutuhan siswa yang masih terkendala PJJ. Kucuran subsidi kuota internet hanya membantu guru dan siswa melakukan PJJ secara daring, bukan luring. Bahkan, masih banyak siswa dan guru yang belum dapat bantuan kuaota pada September.
Kelima, semestinya kebijakan Kemendikbud di tengah pandemi Covid-19 lebih berlandaskan sense of crisis. Kasus pelajar SMA di Dusun Bontote’ne, Desa Bilalang, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Gowa, yang ditemukan bunuh diri dengan cara meminum racun, pada Sabtu (17/10) karena beban tumpukan tugas harus menjadi momentum reflektif untuk mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PJJ selama delapan bulan ini.
“Bagaimana pelaksanaan berbagi macam regulasi termasuk Kurikulum Darurat yang sudah ditelurkan Kemdikbud. Ini sangat mendesak dan penting dilakukan ketimbang AN," harap Satriwan, yang merupakan guru swasta di Jakarta Timur itu.
Itulah sebabnya PJJ harus terlebih dahulu dievaluasi dan diperbaiki agar program AN tidak semakin menambah beban baru bagi sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Pasalnya, program AN akan terlaksana dengan baik jika PJJ berkualitas.
“Bagaimana siswa akan nyaman dan tak terbebani mengisi soal-soal AN, sementara mereka sudah terbebani belajar dengan ragam kendala selama PJJ selama berbulan-bulan, tentu ini sangat tidak adil,” tutur Satriwan.
Keenam, karena pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir, maka program AN perlu ditunda untuk mengurangi beban selama PJJ. “Ada beban yang double. PJJ membebani ditambah AN pula. Cukup siswa di Lebak dan di Goa yang menjadi "korban" PJJ ke depan. Dua nyawa anak Indonesia terlalu berharga,” ujar Satriwan.