Pahit-manis berburu cinta di aplikasi kencan virtual
Ayu Andini, 24 tahun, tak pernah menyangka bakal menemukan calon pasangan hidup dari aplikasi kencan virtual, Bumble. Sejak awal, Ayu main Bumble hanya karena iseng dan penasaran. Aplikasi itu secara tak langsung dikenalkan oleh mantan kekasihnya.
“Mantan saya dulu memutuskan hubungan karena memilih perempuan yang baru dikenal dari Bumble juga. Jadi, saya penasaran Bumble itu apa, gimana orang-orangnya, ya. Akhirnya, saya memutuskan main Bumble,” ujar Ayu saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (29/10).
Ayu putus hubungan dengan mantan kekasihnya pada Januari 2021. Di tengah kegalauan akibat patah hati, Maret lalu, ia meng-install aplikasi Bumble di telepon selulernya. Foto diri yang paling menarik ia pajang di profil akunnya.
Banyak pengguna Bumble yang menekan tombol geser kanan (swipe right) pada profilnya. Di Bumble, jika seseorang tertarik dengan orang lain, ia dapat menggeser ke kanan. Jika tidak suka, ia dapat menggeser ke kiri. Ketika kedua pengguna saling menyukai, terjadi kecocokan (match).
Dari hasil seleksi, Ayu memilih Andri Bagus Syaeful--kini jadi kekasih barunya--sebagai teman ngobrol. Merasa cocok, keduanya kemudian bertukar nomor ponsel. Komunikasi dua sejoli itu berlanjut via WhatsApp dan "telepon-telponan".
“Hanya tiga hari komunikasi, dia ngajak ketemu. Saya bilang, 'Kalau memang beneran mau ketemu, datang aja ke rumah. Eh, dia datang loh. Padahal, rumah dia jauh banget di Bekasi. Saya di Ciganjur. Ujung ke ujunglah,” tutur karyawan sebuah perusahaan swasta itu.
Setelah pertemuan itu, Ayu dan Andri sepakat berpacaran. Sebulan setelah resmi berpacaran, Andri menyatakan keseriusannya untuk meminang Ayu. Yakin pilihannya tidak akan salah, Ayu menerima pinangan itu.
"Ya, saya senang. Dia juga bilang ke orang tua saya kalau benar-benar mau serius. Akhirnya, setelah tujuh bulan kenal, dia dateng dengan keluarga besarnya ke rumah dan lamar saya. Bulan depan, kita mau nikah,” ujar Ayu.
Tak semanis pengalaman Ayu, Muhammad Iqbal Taufaqy justru apes saat mencari teman kencan di jagat maya. Pria yang berprofesi sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta itu pernah punya pengalaman menyeramkan ketika "bertemu" seorang wanita yang dikenal dari aplikasi kencan virtual, Anonymous Chat Telegram.
Iqbal pertama kali berbincang dengan perempuan itu pada pertengahan Oktober lalu. Pada mulanya mereka hanya berbasa-basi soal pekerjaan dan tempat tinggal. Merasa tak ada yang aneh, Iqbal kemudian meminta nomor ponsel teman virtualnya itu.
“Tetapi, selanjutnya agak aneh. Tiba-tiba dia ngajak telepon karena katanya lagi sedih. Ditanya sedih kenapa, enggak dijawab. Tetapi, bilangnya mau bunuh diri terus. Enggak dijelasin apa penyebabnya,” kata Iqbal kepada Alinea.id, Jumat (29/10).
Karena merasa takut bakal ketiban masalah, Iqbal tak berani mengangkat telepon dari perempuan itu. Tak lama setelah ponselnya tak lagi berdering, Iqbal mendapati kontaknya telah diblokir oleh perempuan tersebut.
Meski punya pengalaman aneh semacam itu, Iqbal tak patah arang. Ia menyatakan akan terus mencoba peruntungannya di aplikasi kencan virtual lainnya. Bagi Iqbal, dating apps jadi salah satu opsi paling memungkinkan untuk bertemu teman baru saat pandemi Covid-19.
“PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) kan masih berlaku, ya. Mau pergi ke mana-mana juga sepi. Ketemu lawan jenis untuk kenalan juga susah. Akhirnya, milih dating apps. Tujuan saya juga buat nyari teman buat ngobrol. Untung kalau dapat pacar. Ibaratnya, iseng-iseng berhadiah,” cetus Iqbal.
Berbeda dengan Iqbal, Nuraini Agustin, 19 tahun, mengaku tak lagi berminat mencari pasangan atau teman baru via aplikasi kencan virtual. Sikap itu diambil Nuraini setelah berulangkali jadi sasaran pria hidung belang yang ia kenal secara virtual atau bahkan sama sekali tak ia kenal.
Pada Juli lalu, misalnya, Nuraini pernah tiba-tiba mendapat pesan dari seorang pria yang tidak ia kenal via aplikasi WeChat. Tanpa basa-basi, dalam pesan itu, sang pria tiba-tiba mengajak Nuraini menemani dia menginap di sebuah hotel.
"Katanya, ‘Nanti aku bayar deh Rp500 ribu untuk satu malam.' Saya kayak langsung, 'Wah, ini orang enggak benar.' Ada lagi kemarin sempat kenal cowok. Awal kenal, baik. Tetapi, makin ke sini malah mengirim foto atau video yang plus-plus,” tutur Nuraini kepada Alinea.id, Jumat (28/10).
Pengalaman-pengalaman buruk itu bikin Nuraini ogah menggunakan aplikasi kencan virtual untuk mencari pasangan. "Daripada nanti kecewa lagi. Bagus kan nyari yang pasti, ya. Yang ada di real life aja,” ucap dia.
Ngetren saat pandemi
Di tengah pandemi, aplikasi kencan online memang kian ngetren. Secara global, jumlah penggunanya tumbuh signifikan saat larangan beraktivitas di luar rumah diberlakukan di berbagai negara. Pada 2020, Tinder, Bumble, dan OkCupid, misalnya, mencatatkan kenaikan jumlah pengguna hingga belasan persen.
Hasil survei yang dirilis Rakuten Insight pada September 2020 menunjukkan Tinder sebagai aplikasi daring paling banyak digunakan di Indonesia. Dari ribuan responden, sebanyak 57,6% menyatakan sebagai pengguna Tinder. Di urutan kedua, ada Tantan yang digunakan 33,9% responden.
Survei bertajuk "Internet Mediated Life and Its Implication on the Interpersonal Relationship and Romance in Young People, Case Study of Indonesia and the Netherlands" yang dilakoni peneliti Universitas Indonesia (UI) menjabarkan beragam motif para pengguna aplikasi kencan virtual di tanah air.
Melibatkan 1.650 responden, survei itu menemukan kebanyakan pengguna menggunakan aplikasi virtual untuk mencari teman baru (79%), menjalin hubungan romantis (53%), dan mencari jodoh (15%). Selain itu, ada pula sebanyak 28% responden yang menyatakan menggunakan aplikasi kencan virtual untuk mencari pasangan seks.
Rika Rosvianti, founder @__peREMPUan__, mewanti-wanti agar para pengguna aplikasi kencan virtual berhati-hati. Seiring kian intensnya publik menggunakan internet, menurut dia, kekerasan seksual di jagat maya tumbuh subur saat pandemi Covid-19.
"Kekerasan seksual yang biasa terjadi secara offline pindah ke ranah online ke ranah ruang publik juga, misalnya, ke sekolah online, kuliah online, webinar, Instagram live, game streaming,” terang perempuan yang akrab disapa Neqy itu saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (30/10).
Pernyataan Neqy itu setidaknya dibenarkan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Pada periode Maret-Juni 2020, Safenet mencatat jumlah kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat hingga 400% dengan total 169 laporan. Padahal, Safenet hanya menerima 45 aduan pada 2019.
Meskipun tanpa kontak fisik, menurut Neqy, kekerasan seksual yang dialami di jagat maya bisa berdampak buruk terhadap korban. Salah satunya menyebabkan tonic immobility, yakni reaksi biologis yang menyebabkan tubuh lumpuh karena stres dan depresi yang lazim terjadi pada korban kekerasan seksual.
"Dampak lanjutan itu trauma, bisa jangka pendek atau jangka panjang, dan itu membutuhkan penanganan concern psikologis. Setidaknya untuk mengurangi traumanya. Jadi, jelas ada dampaknya. Apa pun bentuk kekerasan seksualnya,” terang Neqy.
Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria sepakat perlu ada pengawasan terhadap aplikasi kencan virtual supaya tidak dijadikan medium untuk melakukan kekerasan seksual. Ia terutama khawatir aplikasi kencan yang relatif bisa diunduh secara bebas itu digunakan anak-anak.
“Kalau ada anak SMP, SD atau anak usia di bawah pernikahan yang menggunakan itu harus dihapus akunnya atau dilaporkan akunnya. Ketika terjadi kejahatan di situ, ya, harus dilaporkan,” ujar Heriqo, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (29/10).
Heriqo berharap agar penyedia aplikasi kencan virtual juga memperketat proses pendaftaran akun-akun. Salah satunya dengan menerapkan proses verifikasi ganda untuk memastikan para pengguna tidak berniat memakai aplikasi itu untuk kejahatan.
“Kemudian, setelah pengguna punya akun, sebaiknya ada masa profilling, ya. Jadi, dia tidak langsung memakainya. Kemudian mulailah interaksi, tetapi dalam interaksi itu harus saling berupaya memperkenalkan diri secara jujur. Foto yang digunakan memang foto asli bukan palsu. Percakapan di situ juga tidak berbohong,” kata dia.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Kasandra A Putranto menyarankan agar para pengguna aplikasi kencan tidak sembarangan mempercayai orang yang hanya baru dikenal di jagat maya.
Menurut dia, penampilan dan ucapan seseorang di aplikasi kencan belum tentu sesuai dengan kenyataan. "Harus tetap berhati-hati. Jangan kita sampai kehilangan kendali dan kehilangan nalar diri,” kata Kasandra.