Pajak penjajah penggerak para pemberontak
Di tengah kelangkaan minyak goreng, ekonomi yang belum sepenuhnya pulih karena pandemi, dan naiknya harga kebutuhan pokok saat Ramadan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% pada awal April 2022. Ada kekhawatiran, kenaikan PPN bakal menjadi pemicu naiknya harga barang dan jasa yang terkait.
Di masa silam, selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20, aturan pajak kolonial menjadi faktor utama kerusuhan dan protes yang sering kali terjadi. Bahkan, memantik pemberontakan bersenjata.
Berbagai pajak penjajah
Dalam buku Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2019), sejarawan Ong Hok Ham menulis Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa Thomas Stamford Raffles (1811-1816), merupakan penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial.
“Konsep pajak dilahirkan olehnya,” tulis Ong.
Sebelumnya, dari zaman raja-raja, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda, memang telah ada berbagai pengutan pajak. Menurut profesor sejarah Universitas Amsterdam dan peneliti senior KITLV, Peter Boomgaard, hingga tahun 1800 pemerintah kolonial menerapkan rupa-rupa pajak, seperti pajak bumi yang dibayar berupa padi; pajak pasar; pajak hasil pekarangan; pajak bangunan yang disebut grabag, petek, atau plawang; pajak penjualan; serta pajak tidak tetap yang harus dibayar untuk pesta.
Namun, aturan pajak itu belum ajek, hanya bersifat lokal, dan dipungut berupa barang.
“Raffles memandang, sistem VOC untuk kerja bakti, pajak melalui para bupati (jatah padi), dan monopoli, sebagai hal yang sangat dibenci,” tulis Bomgaard dalam buku Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa, 1795-1880 (2004).
Pajak yang diberlakukan Raffles adalah pajak tanah (landrent). Sistem pajak ini mulai berlaku pada 1813. Menurut Bomgaard, Raffles mengadaptasi sistem Raiyatwari—sebuah sistem yang sama diterapkan di India—yang pertama kali diperkenalkan di Madras setelah 1792.
“Ini merupakan usaha untuk mengurus pajak bumi secara langsung dengan meneliti tanah-tanah garapan dari masing-masing pemilik tanah,” tulis Bomgaard.
“Dengan menaksir pajak bumi berdasarkan setiap tanah milik, dan dengan mengumpulkan pajak bumi secara langsung dari para tuan tanah.”
Ong menyebut, teori Raffles menyatakan karena Inggris menjadi pengganti raja-raja Jawa yang punya semua tanah, maka petani yang mengerjakan atau memiliki tanah harus membayar pajak tanah.
“Pajak tanah Raffles adalah atas petani individual, dan bukan atas desa atau wilayah—dan berupa uang,” kata Ong.
Bomgaard merinci pedoman pemungutan pajak yang diterbitkan Raffles pada Februari 1814. Ada dua kategori besar yang terkena pajak, yakni sawah dan tegal (ladang/huma).
Sawah kelas I mesti mengeluarkan pajak setengah dari hasilnya. Sawah kelas II, dua perlima dari hasil sebagai pajak. Dan, sawah kelas III, sepertiga dari hasil sebagai pajak. Sementara tegal kelas I, dua perlima dari hasil sebagai pajak. Tegal kelas II, sepertiga dari hasil sebagai pajak. Dan, tegal kelas III, seperempat dari hasil sebagai pajak.
Usai Perang Napoleon pada 1816, kendali kekuasaan koloni Nusantara diserahkan kembali oleh Inggris ke Belanda. Pemerintah kolonial mempertahankan pajak tanah yang dicetuskan Raffles, dengan istilah landrente.
Namun, kesulitan keuangan memaksa pemerintah kolonial mengambil kebijakan eksploitasi lain. Negara induk, Belanda, jatuh miskin akibat rangkaian peperangan di Eropa. Di Jawa, kas ludes karena Perang Diponegoro (1825-1830).
Maka, menurut Ong, Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Petani diwajibkan menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan ekspor dan tenaganya untuk produksi.
“Kerja petani di perkebunan tidak dibayar, tapi sebagai gantinya, mereka tak perlu membayar pajak tanah,” tulis Ong.
Pada 1870, sistem tanam paksa dihapus. Kemudian, sistem perpajakan dimodernisasi. Selain pajak tanah, ada macam-macam pajak, seperti pajak perorangan dan pajak usaha. Dengan begitu, menurut Ong, pajak tak hanya ditarik dari pribumi, tetapi juga orang Eropa dan golongan Timur Asing.
Ong menulis, penduduk pribumi menjadi sumber sebagian besar hasil pajak tanah, sekitar 60%, hingga dasawarsa pertama abad ke-20. Pajak tanah yang menjadi sebagian besar penghasilan penjajah ini, menimbulkan banyak pemberontakan petani.
“Dari 1830 sampai 1908 terjadi lebih dari 100 pemberontakan petani di Jawa—hampir satu kali setiap tahun,” tulis Ong.
Pemberontak pajak
Pajak yang mencekik, merupakan penyebab pemberontakan di Banten pada 1800-an, selain konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit, dan bencana alam. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (2015), pengutipan pajak pasar pada 1878 merupakan salah satu yang memberatkan penduduk.
Di Cilegon, ungkap Sartono, penerapan itu dilakukan sangat ketat. Keberatan dari orang-orang yang hanya terkadang berjualan di pasar, tak dihiraukan Residen Banten.
“Setiap orang yang berjualan di pasar harus membayar sekurang-kurangnya satu gulden. Orang yang tidak membayar pajak itu diancam dengan hukuman kurungan atau denda sebesar 15 gulden,” tulis Sartono.
Sartono menyebut, kegusaran penduduk terhadap pungutan pajak menjadi bertambah karena langkanya uang dan rendahnya harga hasil pertanian. Salah satu riak pemberontakan terjadi pada akhir 1825. Orang yang menghasut pemberontakan itu adalah Tumenggung Mohamad, seorang demang dari Menes, Pandeglang, Banten.
“Ia dan pengikutnya menolak untuk membayar pajak, dan gerakan itu kemudian berkembang menjadi huru-hara yang ditujukan terhadap pemungut-pemungut pajak,” tulis Sartono.
Di Karesidenan Madiun, tepatnya daerah Ponorogo, terjadi perlawanan petani yang dikenal sebagai Peristiwa Pulungan pada awal November 1885. Pusat pemberontakan ada di Desa Patik, Kewedanan Pulung, Ponorogo.
Ong Hok Ham di buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX (2019) menulis, para pemberontak ingin membantai orang-orang Belanda yang dituduh bersalah atas tingginya pungutan pajak tanah.
Pimpinan pemberontakan ini adalah Raden Martodimejo dan anaknya Martodipuro—keduanya keturunan Bupati Ponoroho R.T. Brotowiryo. Keduanya adalah mantan pejabat.
Perencana pemberontakan juga berasal dari keluarga berpengaruh di Desa Patik, dua di antaranya priyayi. Didukung dua orang kepala desa. Berdasarkan latar belakang pemimpin pemberontak, Belanda menyimpulkan pemberontakan bukan disebabkan karena kemiskinan dan beban pajak.
“Belanda melihat penyebabnya adalah rasa frustasi karena ambisi dan harapan akan kejayaan, meskipun selama pemberontakan akan terlihat bahwa masalah pajak memegang peranan penting,” tulis Ong.
Bahkan, menurut dosen sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Wahid dalam buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia: Antara Eksploitasi dan Resistensi (2021), pemberontakan komunis di Banten pada 1926 yang dirancang sebagai perlawanan antikolonial skala nasional juga berasal dari isu pajak.
“Para pemimpinnya mengusung masalah perpajakan yang berlebihan dalam propaganda mereka secara khusus untuk menarik dukungan para petani dan sentimen antipemerintah,” tulis Wahid.
Tak hanya di Jawa, pemberontakan yang disulut dari pajak juga terjadi di distrik-distrik China sekitar Pontianak, Kalimantan Barat pada 1914. Di sana, sebut Wahid, orang-orang China penambang emas dan orang Dayak angkat senjata, memprotes pungutan pajak.
Di Sumatera Barat pada 1908, orang Minangkabau melawan pemerintah kolonial pula karena pajak. Pusat pemberontakan ada di Kamang, sebuah nagari sekitar 16 kilometer dari Bukittinggi. Penulis Deddy Arsya dalam buku Mendisiplinkan Kawula Jajahan: Politik Penjara Hindia Belanda Abad XIX dan XX (2017) menulis, perlawanan dipicu oleh rencana pemerintah menghentikan penanaman kopi dan diganti pajak langsung.
Belanda juga menarik pajak sebesar 2% dari setiap hewan ternak yang disembelih untuk upacara adat dan hari raya agama. Ada pula pajak penghasilan dari hasil kekayaan sawah dan ladang.
“Orang Minangkabau merasa, kewajiban membayar pajak langsung itu sebagai perkosaan atas Plakat Panjang—perjanjian antara Belanda dan Minangkabau untuk mengakhiri Perang Padri (1833),” tulis Deddy.
“Salah satu butir kesepakatannya adalah Belanda tidak akan mengenakan pajak langsung kepada orang Minangkabau.”
Selain di Kamang, pemberontakan yang dipimpin guru agama maupun pemimpin adat itu meletus juga di Nanggalo, Lubuak Aluang, Parik Malintang, Kayu Tanam, Batusangka, Lintau, Manggopoh, dan Ulakan.
Peristiwa di Kamang menyebabkan nyaris 100 orang mati ditembak. Dari pihak Belanda, setidaknya 12 orang tewas dan 20 lainnya luka-luka.
“Di Minangkabau, penumpasan terhadap pemberontakan semacam itu, membangkitkan kesadaran politik dan nasionalisme salah seorang proklamator, yakni Mohammad Hatta,” tulis Ong dalam buku Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara (2009).
Ketika pemberontakan Kamang pecah, Hatta baru berusia enam tahun. Ia merekam memori itu, saat melihat sekitar selusin serdadu Marsose (Korps Marechaussee te Voet) berjaga di jembatan dekat rumahnya di Bukittinggi, selama beberapa minggu. Serdadu bersenjata senapan dan bayonet itu, menodong dan menggeledah setiap orang yang masuk atau keluar kota.
“Waktu kutanyakan kepada pamanku, apa sebab orang-orang yang lewat diperlakukan seperti itu. Ia ceritakan peristiwa pajak, Plakat Panjang, dan Perang Kamang,” tulis Hatta dalam buku autobiografinya, Memoir (1979).
“Tak banyak yang bisa kutangkap dari apa yang diceritakannya itu. Yang teringat bagiku hanya katanya ‘Belanda tidak bisa dipercaya. Ia melanggar janji.’ Dalam jiwaku tertanam perasaan Belanda jahat.”