Pak Anies, kenapa enggak tugu kucing atau burung saja?
Dua pekerja tampak sibuk menata keramik di bagian dasar Tugu Sepeda berbentuk cakram berukuran raksasa di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (14/4) siang itu. Di luar lokasi proyek itu, sejumlah sepeda lipat berjejer rapi.
"Sebentar lagi rampung. Hari ini, kami tinggal memasang keramik di bagian pijakan cakram," kata seorang pekerja saat berbincang dengan Alinea.id.
Tugu Sepeda itu terletak di pertigaan Jalan Jenderal Sudirman menuju Jalan Setiabudi Raya, tak jauh dari Stasiun MRT Setiabudi. Di dalam lingkaran besar tugu itu, terdapat tujuh lingkaran dengan ukuran bervariasi.
Pada lingkaran-lingkaran kecil, terdapat simbol-simbol beragam tugu di DKI Jakarta, semisal Monumen Nasional (Monas), Tugu Pancoran, dan Tugu Tani. "Kerangka cakramnya dari baja," ujar pekerja yang enggan membeberkan namanya itu.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan, pembangunan Tugu Sepeda didanai corporate social responsibility (CSR) yang diterima Pemerintah Provinsi DKI.
Dari Rp28 miliar yang terkumpul, sebanyak Rp800 juga dialokasikan untuk pembangunan tugu tersebut. "Tugu Sepeda ini dapat anggaran dari kewajiban pihak swasta, pihak ketiga," ujar Riza kepada wartawan di Balai Kota, Kamis (8/4).
Riza menampik tudingan Tugu Sepeda dibangun sebagai bentuk keberpihakan Pemprov DKI Jakarta kepada pesepeda. Menurut dia, tugu sepeda dibangun untuk mempercantik wajah Ibu Kota, termasuk memberi ruang bagi para pelaku seni untuk berkreasi.
Pakar tata kota Yayat Supriyatna menilai Tugu Sepeda memiliki makna simbolis untuk mendorong warga menggunakan sepeda sebagai moda transportasi di Ibu Kota. Ia optimististis jika bersepeda jadi budaya warga, maka kemacetan bakal bisa diatasi.
"Tugu Sepeda adalah makna simbolis untuk mendorong dan menggairahkan warga Jakarta untuk menggunakan sepeda. Sepeda kita ini rata-rata masih dipakai untuk olahraga dan rekreasi," kata Yayat kepada Alinea.id.
Asalkan ditata dengan baik, menurut Yayat, Tugu Sepeda juga bisa menjadi ikon baru di DKI, yakni sebagai tempat berkumpul, berolahraga, berekreasi, atau bahkan berswafoto ria.
"Jadi, posisinya bisa menjadi landmark atau identitas penciri lokasi. Nanti orang mengatakan, 'Di mana kita janjian?' 'Eh, Tugu Sepeda aja'," jelas Yayat.
Lebih jauh, Yayat mengatakan, Tugu Sepeda bakal menyemarakkan kawasan Sudirman-Tahmrin yang posisinya merupakan "panggung" kota.
"Kalau Thamrin-Sudirman itu sebagai ruang pejalan kaki, disinergikan dengan ruang seninya kota, jadi akan menarik. Orang akan jalan kaki dari poin ke poin itu. Dia akan punya titik tujuan. Jadi, itu lebih ramai, katanya.
Tuai kritik
Kendati demikian, pembangunan Tugu Sepeda ini justru dinilai berlebihan oleh komunitas pesepeda. Ketua Umum Sepeda Lipat Selatan Jakarta (Selsel) Ismail Mardjuki menilai pembangunan Tugu Sepeda di tengah masa pandemi Covid-19 tidak tepat.
"Kalau hanya butuh sebuah tugu untuk momentum saja, kan sebenarnya Taman Sepeda sudah ada di Melawai," kata Ismail kepada Alinea.id, Senin (12/4).
Ketimbang membangun tugu seremonial, Ismail menyarankan Pemprov DKI memenuhi kebutuhan pesepeda yang lebih mendesak, semisal jalur sepeda yang lebih banyak dan solusi supaya pengendara mobil dan sepeda motor tidak masuk ke jalur sepeda.
"Selain itu, membuat sarana rental sepeda gratis di area perkantoran. Kalau di jam pergi dan pulang kantor, rebutan jalan (dengan mobil dan motor) itu berasa banget," jelas Ismail.
Meskipun berasal dari dana CSR, anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak mengatakan Pemprov DKI tak boleh seenaknya menggunakan anggaran. Pasalnya, Tugu Sepeda bukanlah program prioritas dalam penataan kawasan Ibu Kota.
"Itu (dana CSR) kan sebenarnya (dana) milik rakyat. Jadi, tidak sepantasnya digunakan untuk kepentingan untuk satu hal yang bukan prioritas," kata Gilbert saat dihubungi Alinea.id, Senin (13/3).
Terkait pengelolaan dana CSR, Gilbert membandingkan kinerja Anies dengan mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tak seperti Anies, menurut dia, Ahok mampu memanfaatkan dana CSR untuk proyek-proyek besar seperti Simpang Susun Semanggi dan relokasi warga DKI ke rumah susun.
Ia mencontohkan jalan layang sepanjang 1,6 km yang mengelilingi Bundaran Semanggi ini dibangun pada masa Ahok. Pembangunan Simpang Susun Semanggi menelan anggaran hingga Rp360 miliar yang seluruhnya dibiayai dari CSR.
"Zaman Pak Ahok dulu semua CSR dikelola dengan baik, sehingga ketika dana APBD tidak cair, karena berbenturan dengan DPRD waktu itu, lalu Ahok menggunakan dana CSR untuk membangun. Ternyata bisa se-DKI dia bangun. Gedung-gedung, seperti rumah susun itu, kan dari CSR," jelas dia.
Lebih jauh, Gilbert mengatakan proyek Tugu Sepeda hanya cara Anies untuk "cari muka". Dengan membangunnya di jalan protokol, Gilbert menduga tugu itu bakal dijadikan warisan pembangunan yang ditinggalkan Anies sebagai gubernur.
"Jadi, menjadi aneh kalau kemudian ada keinginan untuk memberikan semacam legacy (warisan), tetapi legacy itu bukan legacy yang benar. Malah menjadi bahan cemoohan orang," kata politikus PDI-Perjuangan tersebut.
Sekadar pencitraan?
Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno menilai wajar apabila publik mengkritik pembangunan Tugu Sepeda. Selain tak ada urgensinya, Adi menilai simbol-simbol budaya di DKI Jakarta sudah cukup banyak.
"Kenapa sepeda? Kenapa enggak kucing? Gitu, lho. Kenapa enggak burung? Kan itu pertanyaan orang. Burung, kucing juga mengandung nilai estetika. Itu pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sebenarnya membuat mengapa Tugu Sepeda itu dikritik," kata Adi kepada Alinea.id.
Ketimbang membangun tugu, menurut Adi, akan lebih baik jika dana CSR yang dikelola Pemprov DKI digunakan untuk penanganan pandemi Covid-19. Pasalnya, hingga kini banyak kebutuhan warga saat pandemi yang belum tersentuh Pemprov DKI.
"Kalau hanya ingin memancing perhatian, saya kira sudah sukses. Karena semua orang mengkritik. Ada juga yang memuji terkait dengan kebijakan ini. Tapi, kan di tengah wabah begini, hal-hal yang berkaitan dengan politik, pencitraan, ya, harusnya ditinggalkan," jelas Adi.
Adi sepakat pembangunan Tugu Sepeda bernuansa pengalihan isu. Menurut dia, Anies saat ini terdesak karena kerap dikritik sebagai gubernur pandai menata kata-kata, tapi minim kinerja. Pasalnya, banyak janji yang dilontarkan Anies pada masa kampanye yang tidak terealisasi, semisal penanganan banjir, penataan kemacetan, dan permukiman warga.
"Jangan sampai Tugu Sepeda ini hanya jadi alat untuk mengalihkan perhatian orang, supaya tidak lagi terus menerus ditagih janji politik Anies yang sampai sekarang enggak kelihatan. Jadi, di tengah-tengah ribut politik dan basis-basis argumen lain, tentu Anies bisa membungkam pengkritiknya dengan pekerjaan yang bisa diukur," kata dia.
Ketua Fraksi PDI-P di DPRD DKI, Gembong Warsono mengatakan hal yang senada. Menurut Gembong, proyek Tugu Sepeda menunjukkan Pemprov DKI di bawah Anies dan Riza tak bisa mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang membelenggu Jakarta.
"Perencanaan pembangunan Tugu Sepeda itu menunjukkan bahwa Pemprov DKI tidak mampu merencanakan dalam program berskala panjang sehingga sifatnya adalah program yang ujug-ujug," ujar Gembong kepada Aliena.id.
Gembong mengatakan, tiga program utama yang dijanjikan Anies pada masa kampanye belum berjalan maksimal, yakni penanganan banjir, program rumah DP nol rupiah dan program One Kecamatan One Center for Entrepreneurship (OK OCE). Tiga program itu merupakan senjata Anies mengalahkan Ahok di Pilkada DKI 2017.
"Enggak ada yang tersentuh. Misalnya, dengan program OK OCE. Program OK OCE kan udah pergi. Di bawah Pak Sandi (eks Wagub DKI Sandiaga Uno) rohnya sehingga, ya, hanya sekedar onggokan kantor OK OCE di kecamatan. Tapi, aktivitas sama sekali enggak ada sampai hari ini," kata Gembong.