Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan uji formil dan uji materiil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti sentuhan terkahir dari perfect crime atau kejahatan yang sempurna. Dia menengarai ada yang dirancang untuk melemahkan lembaga antirasuah.
"MK kemudian menyempurnakan itu semua, melampaui nalar-nalar hukum, moralitas, maupun akal sehat, serta nilai-nilai budaya yang sebenarnya kita yakini harusnya ada dalam konstitusi republik ini," ujarnya dalam jumpa pers virtual, Jumat (7/5).
MK menolak seluruhnya uji formil mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo cs. Terkait itu, Zainal mengatakan, dalam putusannya MK jauh dari kesan kemampuan membaca problem hukum ala negarawan karena dianggap hanya mencari pembenaran, bukan mencari alasan yang benar.
Misalnya, mengenai dalil UU KPK hasil revisi tanpa ada partisipasi publik, aspirasi, dan masuk daftar program legislasi nasional atau Prolegnas. Zainal menyebut, MK hanya menganggap revisi beleid itu sudah masuk Prolegnas di DPR dan orang di parlemen sudah keliling universitas guna meminta masukan.
"Saya enggak tahu kenapa MK bisa senaif itu melihat. Sebenarnya prolegnasnya bermasalah karena tarik ulur. Belum lagi soal aspirasi ke daerah, yang itu seingat saya mendapatkan perlawanan yang cukup kuat. Karena di UGM (Universitas Gadjah Mada) sendiri ditolak," ujar dia yang merupakan dosen UGM.
Sementara mengenai uji materiil, Zainal mengatakan, sebagian memang diterima. Akan tetapi, nyaris tidak memberikan makna penguatan terhadap KPK. Dia pun menyontohkan beberapa putusan, seperti terkait surat perintah penghentian penyidikan atau SP3.
Dalam uji materiil, Zainal menyampaikan, MK menerima gugatan dengan melengkapi bunyi pasal dipersoalkan. Di mana, tolak ukur dua tahun SP3 dapat diterbitkan sejak keluarnya surat perintah dimulainya penyidikan atau SPDP.
"Sebenarnya itu malah membuat konsep SP3 di KPK itu malah menjadi sederhana. Karena seakan-akan tolak ukurnya itu adalah dua tahun semenjak dikeluarkannya SPDP semata. Yang dalam bahasa sederhananya kita bisa bilang bahkan lebih ketat SP3 di KUHAP dibanding di KPK sekarang. Jadi kelihatan sangat melemahkan pemberantasan korupsi," jelasnya.
Hal serupa berlaku juga dalam putusan pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Menurut Zainal, meskipun ada kata perlindungan dalam putusan, tapi tidak konkret karena maksud tak boleh merugikan pegawai tanpa disertai penjelasan batasannya.
Menurut Zainal, rangkaian peristiwa yang terjadi di KPK, mulai perubahan regulasi sampai pengalihan status jadi ASN lewat tes wawasan kebangsaan (TWK), merupakan satu kesatuan dalam pelemahan lembaga antikorupsi. Dia menegaskan, KPK saat ini sedang sekarat.
"Saya yakin kalau 75 (pegawai yang dinyatakan gagal TWK) ini dibuang juga dari KPK, ini sama dengan menarik selang pernapasan terakhir yang bisa memperpanjang napas sekaratnya KPK. Jadi kalau ini juga dihapus (dipecat -red), maka kemudian saya bisa katakan terhadap KPK, Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un," tutupnya.