close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pelatihan Pam Swakarsa. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi pelatihan Pam Swakarsa. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Kamis, 24 September 2020 16:52

Pam Swakarsa ala Polri: Saat satpam berganti seragam

Kapolri dianggap tak punya kuasa mengeluarkan aturan terkait Pam Swakarsa. Versi Polri, aturan itu justru agar Pam Swakarsa tak melenceng.
swipe

Di ujung sambungan telepon, suara Romanus terdengar resah. Beberapa hari belakangan, ia dan rekan-rekan kerjanya rutin membahas kabar bakal ada regulasi baru yang mengatur profesi satuan pengamanan (satpam) yang dikeluarkan Kapolri Idham Azis.   

Sebagai anggota satpam yang tidak tergabung dalam asosiasi mana pun, Romanus pun khawatir. Di tengah pandemi yang menghimpit perekonomian keluarganya, ia takut kehilangan pekerjaannya. Apalagi, anaknya baru saja lulus sekolah menengah atas.

"Sekarang belum lanjut kuliah karena situasi pandemi ini. Saya belum tahu apakah seragam nanti pakai uang pribadi atau tidak," kata pria berusia 46 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Senin (21/9) siang.

Penggantian warna seragam satpam menjadi salah satu isi Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa atau Perpol Pam Swakarsa. Seragam satpam diubah jadi cokelat serupa seragam kepolisian. Semula, satpam berseragam putih untuk dinas pagi dan biru untuk dinas malam. 

Disebutkan dalam Perpol itu, satpam adalah 'satuan atau kelompok profesi pengemban fungsi kepolisian terbatas non yustisial yang dibentuk melalui perekrutan oleh badan usaha jasa pengamanan (BUJP) atau pengguna jasa satpam untuk melaksanakan pengamanan swakarsa di lingkungan kerjanya.'

"Bagaimana itu nanti? Berarti harus ada departemen atau instansinya kan? Nah, yang tanggung jawab siapa? Harus ada atasannya. Kami enggak di bawah asosiasi juga kan? Terus nanti yang mengangkat siapa," kata Romanus.
 
Bekerja sejak 1996 di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta, Romanus baru diangkat menjadi pegawai tetap pada 2002 silam. Tidak ada jenjang karier di kantornya. Selain gaji pokok, perusahaan juga menyediakan uang makan Rp30 ribu per hari. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pun ditanggung.

Romanus mengatakan, saat ini kabar mengenai aturan baru soal profesi satpam itu hanya baru riuh di kalangan rekan-rekannya saja. "Baru dengar-dengar saja. Dari kantor juga belum omong apa-apa," kata pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu. 

Perpol Nomor 4/2020 diteken Kapolri Idham Azis pada 5 Agustus lalu. Selain soal jenjang karier dan pelatihan satpam, Perpol itu juga mengatur soal satuan keamanan lingkungan (satkamling). Dua satuan itu yang kemudian dikategorikan Pam Swakarsa.

Disebutkan dalam perpol itu, para personel Pam Swakarsa juga bisa berasal dari kelompok masyarakat berbasis pranata sosial atau kearifan lokal, semisal pecalang di Bali, kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat, siswa Bhayangkara, dan mahasiswa Bhayangkara.

Pengamat intelijen Soleman B. Ponto mengatakan, Kapolri melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) saat menerbitkan Perpol itu. Menurut dia, Kapolri tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan soal Pam Swakarsa. 

Mengacu UU Polri, Soleman mengatakan, Polri hanya bisa bertindak berbasis aturan yang sudah ada. "Pertanyaan saya, apakah Kapolri mempunyai kewenangan membuat aturan?" kata Soleman kepada Alinea.id, Rabu (23/9).

Sesuai UU Polri, lanjut Soleman, pengemban fungsi kepolisian ialah polisi khusus (polsus), penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan Pam Swakarsa. Dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) UU Polri, para pengemban fungsi kepolisian 'melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.'

Sejauh ini, hanya PPNS yang memiliki dasar hukum untuk menjadi pengemban fungsi kepolisian sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Karena itu, Soleman berpendapat, Perpol Nomor 4/2020 tak punya dasar hukum.

"Nah, kalau undang-undang tentang Pam Swakarsa sudah ada, baru Kapolri mengatur tentang Pam Swakarsa. Baru dia bisa buat perkap atau perpol. Karena perpol itu pengaturan, bukan membuat aturan," ujar mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) itu. 

Karena tidak punya dasar hukum yang kuat, Soleman mengatakan, Perpol itu bisa saja ditolak oleh perusahaan dan organisasi yang menaungi para satpam. "Iya. Tidak bisa (diterapkan) karena itu seharusnya dibuat dalam undang-undang sendiri," imbuhnya.

Prajurit TNI AD menyanyikan yel-yel saat Apel Gelar Kesiapan Latgab di Dermaga Ujung Koarmada II, Kota Surabaya, Jatim, Kamis (5/9/2019). Foto Antara/Moch. Asim

Aroma militerisasi sipil

Pada era 1998, Pam Swakarsa ialah pasukan sipil yang dipersenjatai untuk membendung aksi unjuk rasa mahasiswa dan mendukung sidang istimewa MPR (SI MPR). Pasukan itu dibentuk dan didanai mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen. 

Ketika itu, Pam Swakarsa tercatat berulang kali terlibat bentrok berdarah dengan kelompok mahasiswa. Meskipun bukti-bukti kekerasan oleh Pam Swakarsa bertaburan, tokoh-tokohnya tak pernah diseret ke meja hijau. Usai Soeharto lengser dan era Reformasi bergulir, kelompok itu pun bubar. 

Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menduga Perpol Nomor 4/2020 lahir didasari kompetisi tak sehat antara Polri dan TNI. Sebagai gambaran, ia mencontohkan kehadiran klub sepak bola Bhayangkara FC milik Polri yang direspons TNI dengan membentuk PS TNI. 

"Kita melihatnya sih (Pam Swakarsa) ini sebagai jawaban atas komponen cadangan. Ini rivalitas antara TNI dan Polri," kata Nelson kepada Alinea.id, Selasa (22/9).

Februari lalu, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah membuka pendaftaran untuk warga sipil untuk mengisi komponen cadangan (komcad) militer. Pelatihan personel komcad merupakan mandat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN).

Menurut Nelson, baik komcad maupun Pam Swakarsa merupakan bentuk militerisasi sipil. Ia pun mengaku khawatir rivalitas antara Polri dan TNI itu bakal berujung konflik antara kelompok-kelompok baru yang lahir di masyarakat. 

"Di satu sisi ada komponen cadangan sebagai kelas baru di masyarakat, dan kemudian nanti kelas satpam juga. Kalau semua begini, nanti ada kecenderungan bahwa semua yang gagah adalah militer. Ini bahaya bagi masyarakat. Masyarakat kemudian terbawa arus militer," tutur Nelson.

Pelatihan satpam oleh instruktur dari Polri. Foto Instagram @bhadrikaebanusantara

Sekjen Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Irfan mengkritik penggunaan nama Pam Swakarsa. Menurut dia, istilah Pam Swakarsa masih menimbulkan perasaan trauma di "akar rumput".

"Istilah Pam Swakarsa memberikan kesan menghidupkan kembali sebuah kelompok yang memiliki rekam jejak sebagai bentuk konkret penyalahgunaan wewenang oleh negara," kata dia dalam rilis pers yang diterima Alinea.id. 

Alih-alih meringankan, menurut Andy, kehadiran Pam Swakarsa bakal memperberat beban kerja Polri di bidang pengawasan. Jika berkaca pada masa lalu, sepak terjang Pam Swakarsa rentan memunculkan konflik horizontal, tindakan represif, dan aksi main hakim sendiri. 

"Pengawasan terhadap kerja Pam Swakarsa akan menambah beban (kerja) tersebut dan berdampak pada semakin tidak maksimalnya mekanisme pengawasan oleh Polri," jelas Andy.

Anggota Komisi III DPR RI Supriansah mengatakan beragam kritik terhadap Perpol Nomor 4/2020 sudah dibahas dengan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR, belum lama ini. 

Diakui Supriansah, pembentukan Pam Swakarsa potensial menimbulkan masalah. Secara khusus, ia menyoroti perubahan warna seragam satpam. "Jangan-jangan nanti oknum satpam ini menyalahgunakan identitas dia yang seakan-akan bertindak seperti polisi," kata dia. 

Ilustrasi pelatihan Pam Swakarsa. /Foto Antara

Tak sekadar ganti warna seragam

Dirbinpotmas Korbinmas Baharkam Polri Brigjen Pol Edy Murbowo mengatakan Pam Swakarsa yang diatur lewat Perpol berbeda dengan Pam Swakarsa era 1998. Perpol justru dirilis untuk memastikan keberadaan Pam Swakarsa tidak "melenceng".

"Di situ (Perpol Nomor 4/2020) jelas banget rinciannya (definisi dan tugas Pam Swakarsa). Supaya tidak seperti dulu, makanya diatur seperti itu," kata Edy saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/9) malam.

Soal perubahan warna seragam satpam yang memicu kontroversi, Edy mengungkapkan, banyak faktor yang jadi latar belakang lahirnya aturan itu. Di internal Polri, usulan perubahan warna seragam mencuat lantaran sempat diutarakan Kapolri Jenderal Awaluddin Djamin. 

Awaluddin, kata Edy, sempat berpesan kepada petinggi Polri agar warna seragam satpam disesuaikan dengan warna seragam personel kepolisian. "Nah, pesan beliau kepada generasi penerus bahwa satpam adalah anak kandung Polri," kata dia. 

Faktor lainnya ialah hasil studi banding tim kelompok kerja Kabarharkam ke Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Di negara-negara itu, seragam satpam mirip dengan seragam polisi setempat. 

Perubahan warna seragam, lanjut Edy, juga didorong keinginan Polri untuk membangun relasi yang harmonis dengan satpam dan menciptakan efek gentar bagi pelaku kejahatan. "Masyarakat yang punya niat jahat akan hilang (niatnya) karena (seolah) melihat polisi itu ada di mana-mana," jelas dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Terkait kepangkatan yang diatur dalam Perpol, Edy mengatakan, regulasi itu muncul sebagai upaya Polri mendongkrak martabat para satpam. Menurut Edy, selama ini kerap menjadi profesi terakhir bagi para warga yang kesulitan mendapat pekerjaan. 

"Nah, ini regulasinya kita yang atur, kurikulum termasuk instruktur. Kemudian ujung-ujungnya ke kompensasi. Nah, di situ diatur jenjang golongan dan kepangkatan. Selama ini kan sama mereka, baik satpam yang kerja satu tahun atau kerja sepuluh tahun. Gajinya segitu," katanya.

Ketua Asosiasi Profesi Satpam Indonesia (APSI) Azis Said membenarkan Perpol Nomor 4/2020 lahir didasari keinginan untuk memperbaiki kesejahteraan para satpam. Menurut dia, kini ada lebih dari dua juta orang yang berprofesi sebagai satpam di Indonesia. 

"Misalnya, satpam yang dikelola warga itu kan boleh dikatakan asal jadi saja. Dia dibelikan baju, lalu namanya satpam. Terus bayarannya dari iuran warga di bawah UMP (upah minimun provinsi). Tidak ada status ketenagakerjaan," ujarnya kepada Alinea.id

APSI merupakan salah satu asosiasi satpam yang dilibatkan dalam perumusan Perpol tersebut. Saat perumusan, menurut Azis, APSI juga turut merekomendasikan agar satpam perumahan dibedakan nama dan seragamnya dengan satpam yang dikelola perusahaan atau BUJP. 

Satpam "resmi", kata dia, ialah mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu, semisal tamat SMA, memiliki tinggi badan sesuai ketentuan, dan lulus uji psikotes. Mereka juga harus dilatih dulu sebelum diperbolehkan bertugas. 

Agar hak-haknya terpenuhi, satpam resmi juga harus punya status ketenagakerjaan. "Yang direkrut perumahan tak punya status ketenagakerjaan. Itu namanya satkamling dalam perpol yang baru," kata Azis.

Terkait polemik nama Pam Swakarsa, Azis meminta agar tidak dibesar-besarkan. Dijelaskan dia, fungsi satpam sebagai pengemban fungsi kepolisian sudah diatur dalam Perkapolri Nomor 24 tahun 2007. "Udah sejak 13 tahun lalu itu definisi Pam Swakarsa. Itu sama dengan yang sekarang," ujarnya. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan