Pamer kemewahan, bentuk reformasi kultur Polri yang belum tuntas
Pada 15 November 2019, Mabes Polri mengeluarkan imbauan berupa surat telegram nomor ST/30/XI/HUM.4.3/2019, yang berisi peraturan disiplin anggota Polri, kode etik profesi Polri, dan kepemilikan barang mewah oleh pegawai negeri di Polri. Surat telegram itu diteken Kadiv Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo.
Ada tujuh poin aturan yang melarang pamer kemewahan bagi anggota polisi dan keluarga. Pertama, tidak menunjukkan, memakai, memamerkan barang-barang mewah dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi sosial di kedinasan maupun di area publik.
Kedua, senantiasa menjaga diri, menempatkan diri (dengan) pola hidup sederhana di lingkungan institusi Polri maupun kehidupan bermasyarakat. Ketiga, tidak mengunggah foto atau video pada media sosial, yang menunjukkan gaya hidup yang hedonis karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Keempat, menyesuaikan norma hukum, kepatutan, kepantasan, dengan kondisi lingkungan tempat tinggal. Kelima, menggunakan atribut Polri yang sesuai dengan pembagian untuk penyamarataan.
Keenam, pimpinan, kepala satuan wilayah (kasatwil), perwira dapat memberikan contoh perilaku dan sikap yang baik, tidak memperlihatkan gaya hidup yang hedonis, terutama Bhayangkari dan keluarga besar Polri. Ketujuh, dikenakan sanksi yang tegas bagi anggota Polri yang melanggar.
Bisa timbulkan kecemburuan
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera mengaku, banyak anggota kepolisian yang pamer kemewahan di media sosial.
"Banyak di Facebook. Lihat saja orang-orangnya," kata Frans saat dihubungi Alinea.id, Selasa (26/11).
Frans berpendapat, pamer kemewahan di media sosial bisa menimbulkan kecemburuan di masyarakat. Ia menilai, langkah Kapolri Jenderal Pol Idham Azis mengeluarkan surat imbauan, sudah tepat.
"Yang tidak diinginkan oleh pimpinan Polri adalah jangan sampai melukai hati publik," kata dia.
Menurut Frans, bukan berarti anggota kepolisian tidak boleh hidup mewah. Ia mengatakan, hidup mewah adalah hak siapa pun, hanya yang tak boleh dilakukan, memamerkan kemewahan di depan publik.
“Kalau di media sosial dipamerkan ke orang lain, dia punya Lamborghini, pakai cincin yang harga Rp 400 juta, yang ditekankan itu jangan sampai memamerkan," ucapnya.
Frans mengaku, gaji polisi tak cukup untuk membeli barang-barang mewah, seperti Lamborghini atau cincin ratusan juta. Barang-barang itu, tutur Frans, bisa saja berasal dari temannya, warisan, atau usaha lain.
"Banyak dari anggota polisi yang juga memiliki usaha, seperti peternakan, penyewaan kendaraan, dan yang lainnya. Tetapi, tidak boleh hal-hal yang berkaitan dengan dirinya mesti diekpos keluar," ucap dia.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan, perkembangan teknologi menjadikan pamer gaya hidup mewah tak hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi juga media sosial.
Oleh karenanya, Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Barang yang Tergolong Mewah oleh Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara RI dan surat telegram imbauan, menurut dia, juga berlaku di media sosial.
"Media sosial adalah bagian domain kita untuk dilakukan pengawasan," ujar Asep saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/11).
Menurut Asep, mengunggah barang mewah ke media sosial, dikhawatirkan bisa menimbulkan salah persepsi di masyarakat.
"Misalnya ketika orang berswafoto dengan menggunakan barang mewah, meskipun bukan miliknya, tapi persepsi masyarakat yang timbul adalah itu miliknya, terlebih kalau itu memang miliknya," kata dia.
Bepergian ke luar negeri, kata dia, juga bisa dipersepsikan sebagai gaya hidup mewah. "Dengan menampilkan kita berada di mana, di luar negeri itu kan persepsi dalam sebuah kemewahan juga," kata dia.
Ia mengingatkan, media sosial seringkali menimbulkan salah persepsi. Meski anggota Polri bepergian ke luar negeri untuk tugas atau kepentingan lain, tetapi ketika diunggah di media sosial, otomatis menimbulkan banyak persepsi.
"Jadi, upload atau posting foto juga harus dihindari karena persepsi tentang kemewahan bisa juga dikategorikan seperti itu," ucap Asep.
Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2017 (Perkap 10/2017) dan surat telegram imbauan, kata Asep, berlaku untuk semua personel kepolisian, yang statusnya masih aktif, termasuk anggota keluarga.
"Hidup ya harus proporsional, melihat juga lingkungan sosial seperti apa, sehingga tidak menimbulkan sebuah kecemburuan di masyarakat," tuturnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, surat telegram tersebut adalah bentuk pengingat kembali agar anggota Polri tak memamerkan kemewahan kepada publik, terutama di media sosial.
"Itu kan bentuknya penegasan, hanya mengingatkan kembali, bukan hal yang baru ini," kata Argo ketika dihubungi, Rabu (27/11).
Menurut Argo, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis ingin melakukan revolusi mental dan memberi contoh kepada anggota Polri untuk berlaku sederhana. Apalagi, kata dia, anggota Polri punya latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Hal itu menjadi alasan dikeluarkan imbauan tersebut.
"Polisi itu ada yang dia masuk jadi polisi dengan latar belakang anak pengusaha, ada yang punya tanah, ada yang anak orang kaya, ada yang bekerja, pengusaha, kan ada juga polisi yang bisnis," kata Argo.
Argo menjelaskan, peraturan untuk tak memamerkan barang-barang mewah dan berlaku hedonisme sudah ada di dalam Perkap 10/2017.
Di dalam peraturan itu disebutkan, anggota Polri sah-sah saja memiliki barang mewah dari hasil gaji, usaha, hibah, dan warisan. Disebutkan dalam peraturan tersebut, barang-barang yang tergolong mewah berupa alat transportasi pribadi yang nilainya melebihi Rp450 juta atau tanah dan bangunan pribadi yang nilainya lebih dari Rp1 miliar.
Namun, pegawai negeri dalam lingkungan Polri yang punya barang mewah wajib melaporkan kepada pengemban fungsi Propam.
Lalu, pengemban fungsi Propam melakukan verifikasi dan klarifikasi terkait laporan kepemilikan barang yang tergolong mewah, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggaran negara (LHKPN).
Kemudian, dilakukan pengawasan dengan cara monitoring terhadap perilaku pegawai negeri pada Polri dalam menggunakan barang mewah, menindaklanjuti laporan masyarakat, dan berkoordinasi dengan pengelola laporan hasil kekayaan dan penyelenggara negara.
Bukan sekadar imbauan, jika melanggar aturan di dalam surat telegram itu dan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2017, ada sanksi yang dikenakan. Argo menyebut, sejauh ini sudah ada tiga personel kepolisian yang kena sanksi berupa tindakan disiplin.
"Tiga orang itu pamer kemewahan, berpergian ke luar negeri, kemudian foto-foto dan di-upload di media sosial," katanya.
Akan tetapi, Argo menyebut, penindakan terhadap tiga personel itu dilakukan sebelum keluar surat telegram tadi.
"Mereka ditindak berdasarkan Perkap 2017," kata dia. “Setelah TR (telegram rahasia/surat telegram) itu belum ada (sanksi),” ujarnya.
Tidak efektif
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengapresiasi diterbitkan surat telegram imbauan oleh Kapolri. Namun, menurutnya, surat itu tak cukup.
Neta mengatakan, Propam harus melakukan pendataan dan pengungkapan terhadap anggotanya yang kerap pamer kemewahan, dan punya kekayaan di luar penghasilannya.
Berdasarkan pantauan IPW, menurut Neta, banyak anggota kepolisian, terutama istri jenderal yang suka memamerkan kekayaan dan barang-barang bermerek.
“Jika TR sebagai sebuah imbauan kepada anggota polisi untuk hidup sederhana tidak dipatuhi, maka apakah Polri dapat memberikan sanksi dan melakukan tindakan tegas?” ujarnya saat dihubungi, Selasa (27/11).
Apalagi, kata dia, umumnya perilaku pamer kemewahan banyak dilakukan istri polisi setingkat jenderal.
"Beranikah menindak istri-istri jenderal yang kerap bergaya hidup glamor dengan barang-barang bermerek berharga supermahal?" kata dia.
Bahkan, Neta beranggapan, dikeluarkannya imbauan ini justru akan menimbulkan keresahan di internal kepolisian.
Dihubungi terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, surat imbauan tak akan berjalan efektif untuk mengerem gaya hidup anggota Polri dan keluarganya. Sebenarnya, menurut Bambang, imbauan serupa pernah dilakukan Kapolri sebelum Idham.
Bambang menilai, imbauan surat telegram itu tak lebih sekadar simbol. Keberadaannya tetap didengar, tetapi akan dilupakan.
"Seolah-olah sudah melakukan kebijakan, tetapi sebenarnya belum melakukan apa-apa secara konkret," kata Bambang saat dihubungi, Selasa (26/11).
Kapolri, ujar Bambang, sebaiknya mengeluarkan kebijakan yang lebih konkret. Ia menyarankan, Kaplri mau mewajibkan semua anggotanya untuk mengisi LHKPN. Hal itu bisa menjadi bukti bahwa Kapolri serius dalam menindak personelnya yang bergaya hidup mewah.
"Wajibkan ke semua anggota, terutama bagi yang mau mengisi jabatan strategis untuk isi LHKPN secara berkala. Jadikan syarat untuk sekolah, dan beri sanksi anggota yang tak melaporkan," kata dia.
Menurut dia, LHKPN bisa dijadikan sebagai persyaratan sekolah kepolisian, seperti Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti).
Ia melanjutkan, dengan adanya laporan LHKPN secara berkala, maka Kapolri bisa melihat profil kekayaan anggotanya.
Wujud reformasi kultur
Neta mengatakan, dengan penghasilan yang diterima setiap bulan sebagai anggota polisi, baik di tingkat atas maupun bawah, justru tidak bisa hidup dengan mewah. Akan tetapi, justru banyak anggota polisi yang gaya hidupnya bak selebritas.
“Bahkan, kalau dilihat dari struktur penggajiannya, masih banyak anggota Polri yang gajinya di bawah UMP (upah minimun provinsi) di Bekasi,” ujarnya.
Sementara itu, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menuturkan, banyak anggota polisi yang justru hidup serba kekurangan. Hanya saja, informasi tersebut tertutup dengan adanya sejumlah polisi yang pamer kekayaan di media sosial.
"Kasihan dengan mereka yang kekurangan, tertutup oleh oknum-oknum yang pamer gaya hidup mewah," kata Poengky saat dihubungi, Selasa (26/11).
Menurut Poengky, reformasi kultur masih perlu dibenahi di tubuh Polri. Ia mengatakan, gaya hidup mewah yang ditampilkan di media sosial merupakan bagian dari masalah reformasi kultur yang belum selesai.
Menurut dia, setidaknya ada tiga fokus utama reformasi kepolisian, sejak dipisahkan TNI dan Polri pada 2000, yaitu reformasi struktur, instrumen, dan kultur.
"Reformasi struktur dan instrumen sudah berjalan baik," kata Poengky.
Poengky menjelaskan, reformasi kultur Polri berarti mengubah watak dan perilaku anggota kepolisian menjadi lebih baik. Wujudnya, dengan meningkatkan profesionalitas, menjadikan anggota Polri lebih humanis, tidak melakukan kekerasan yang berlebihan, tidak arogan, dan tidak bergaya hidup mewah.
"Imbauan Kapolri kepada seluruh anggota untuk tidak memamerkan gaya hidup mewah adalah bagian dari upaya Polri melanjutkan reformasi kultur," ujarnya.
Oleh karena itu, Poengky menerangkan, kebijakan itu harus dicontohkan oleh para petinggi Polri. Hal itu sangat penting, agar anggota polisi di bawahnya mengikuti.
"Propam wajib mengawasi, jika ada yg bergaya hidup mewah, harus segera diperiksa. Jangan-jangan kepemilikan barang mewah atau gaya hidup mewah diperoleh dari cara-cara yang bertentangan dengan hukum," tuturnya.