Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, puluhan petani, nelayan, hingga masyarakat adat ditangkap selama pandemi coronavirus baru (Covid-19). Padahal, mereka mencoba mempertahankan haknya dari tindakan represif aparat keamanan.
"Selama pandemi ada 39 petani, nelayan, masyarakat adat yang ditangkap," ujar Sekjen KPA, Dewi Kartika, saat telekonfrensi pada Minggu (4/10).
Dirinya berpendapat, pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menangkal penyebaran Covid-19 hanya berlaku sepihak. Namun, mengurung masyarakat menyuarakan aspirasinya.
"PSBB diikuti secara tertib oleh semua komponen rakyat, baik buruh, petani. Tetapi itu tidak menghentikan cara negara bersama pemilik modal untuk lakukan tindakan represif di lapangan. Terbukti, kita dibatasi ruang demokrasinya, kita dibatasi untuk bergerak dan berjuang, termasuk melawan omnibus law (Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, red)," tutur Dewi.
"Tetapi di lapangan, aparat tetap bergerak merampas tanah, menggusur, menangkapi rakyat yang berjuang," imbuhnya.
Dia mencontohkan dengan tindakan represif aparat terhadap petani di daerah Langkat, Sumatera Utara, yang mencoba mempertahankan ruang hidupnya dan tengah konflik lahan dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.
"Kemudian di Tebo, Jambi, juga dilakukan penggusuran berkonflik dengan PT WKS (Wirakarya Sakti), Sinar Group, yang melakukan monopoli terhadap tanah," terangnya.
Ironisnya, Dewi berkata, DPR dan pemerintah justru ingin mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Itu ditandai dengan kesepatan pembahasan tingkat I pada Sabtu (3/10) malam.
"Tadi malam, bahkan beberapa minggu terakhir ini, anggota DPR RI dan pemerintah tetap bermufakat, tetap berkumpul untuk melakukan pelanggaran konstitusi," tandasnya.