close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kanan) didampingi hakim Konstitusi Anwar Usman menemui Presiden Joko Widodo pada 13/2. /Antara Foto
icon caption
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kanan) didampingi hakim Konstitusi Anwar Usman menemui Presiden Joko Widodo pada 13/2. /Antara Foto
Nasional
Selasa, 27 Maret 2018 10:46

Pantaskah berharap pada Arief Hidayat? Sang ketua tanpa marwah

Kembalinya Arief menjabat Hakim Konstitusi menuai polemik. Pria dengan latar belakang pendidik ini dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik MK.
swipe

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat akan kembali mengucapkan sumpah jabatan sebagai Hakim Konstitusi di Istana Negara. Arief akan menjabat sebagai Hakim Konstitusi dengan masa jabatan 2018 hingga 2023. 

Antara melaporkan, Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan bahwa pengucapan sumpah jabatan rencananya akan dilaksanakan pada pukul 14.00 WIB. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro ini telah berkarir sebagai hakim konstitusi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Kembalinya Arief menjabat sebagai Hakim Konstitusi menuai polemik. Seperti diketahui pria dengan latar belakang pendidik ini dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik MK. Ia mendapat teguran lisan karena terbukti menemui politikus dan anggota DPR pada November 2017 di suatu hotel tanpa adanya undangan resmi sebagai Ketua MK.

Dewan Etik MK juga pernah menjatuhkan sanksi kepada Arief atas dugaan pelanggaran etik karena mengirim katebelece ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono untuk membina salah seorang kerabatnya yang menjadi jaksa di Trenggalek. Atas dua sanksi tersebut sejumlah pihak seperti 76 guru besar di seluruh Indonesia dan 300 civitas akademika Yogyakarta sempat mengirim surat kepada Arief dan mendesak dirinya untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.

Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Eko Riyadi menjelaskan bahwa surat yang dikirim tidak untuk menyudutkan Arief. Namun lebih berupa pesan moral serta mengingatkan dirinya atas etika yang harus dijunjung dan dipegang oleh Arief.

Arief juga dilaporkan oleh seorang pegawai Mahkamah Konstitusi bernama Abdul Ghoffar ke Dewan Etik. Pernyataan Arief di sebuah pemberitaan menyebut bahwa tulisan tersebut dinilai tidak benar, setelah Ghoffar menulis artikel di media nasional berjudul "Ketua Tanpa Marwah".

Warganet tidak ketinggalan meminta Arief untuk mundur setelah dijatuhi sanksi. Petisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi telah ditandatangani 15.518 orang per 27/3. 

Warganet tidak ingin Arief mengikuti jejak seniornya yakni Akil Mochtar yang ditangkap karena suap sejumlah sangketa Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2013. Atau Patrialis Akbar yang pada tahun 2007 diciduk KPK karena menerima suap terkait pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. 

Namun aspirasi sejumlah kalangan sepertinya tidak menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo untuk kembali menjadikan Arief sebagai Hakim Konstitusi. Padahal Hakim Konstitusi adalah hati dalam tubuh MK. 

Mengutip jurnal yang ditulis Danang Hardianto, MK ibarat hati, andaikata hati tersebut baik maka baik pula tubuhnya, begitu juga sebaliknya. Makanya, diperlukan integritas dan kepribadian yang tidak tercela dari seorang pemimpin. Kualitas seseorang juga diukur dari kejujurannya. Seyogyanya tentu masyarakat berharap MK dipimpin oleh kualitas pemimpin yang memang berpengharapan dan jauh dari kebohongan dan dusta. 

Seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegraan. Berikut juga menguasai konstitusi dengan kapabilitas memiliki pengetahuan, keterampilan, terlatih dan profesionalitas di bidang tertentu. 
 

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan